1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Misi NATO di Afghanistan

29 November 2006

Tema utama yang menguasai KTT NATO di Riga adalah situasi di Afghanistan

Kanselir Jerman Merkel bersama Presiden AS Bush di Riga
Kanselir Jerman Merkel bersama Presiden AS Bush di RigaFoto: AP

Amerika Serikat dan Inggris ingin agar negara-negara Eropa lain lebih terlibat dalam pertempuran dengan Taliban. Tapi Italia, Prancis dan terutama Jerman menolak terlibat pertempuran dan lebih mengutamakan upaya pembangunan kembali di kawasan utara yang lebih aman daripada kawasan selatan.

Mengenai pembagian kerja pasukan NATO di Afghanistan, harian New York Times berkomentar:

"Jika para anggota NATO tidak menyediakan lebih banyak tentara dan sumber daya, Afghanistan bisa mengikuti jejak Irak. Banyak negara yang menyatakan keberatan memperluas kontribusinya. Ini membuat jauh lebih sulit menghadapi musuh. Ini juga pembagian kerja yang tidak adil. Pasukan Kanada, Belanda, Amerika Serikat dan Inggris bekerja keras di Afghanistan Selatan, sementara pasukan Prancis, Jerman dan Italia berpatroli di utara yang relatif lebih aman. Seharusnya semua anggota NATO sadar, perang di Afghanistan adalah perang menghadapi kelompok ekstrim dan teroris yang jadi kepentingan semua negara.“

Hal senada ditulis harian Inggris The Times yang terbit di London.

“Sayangnya di Eropa terdapat terlalu banyak negara yang lebih senang melakukan kritik daripada memberikan kontribusi. Mereka menyatakan siap membantu stabilisasi Afghanistan, tetapi mereka tidak mau bertindak melawan opini publik dan mendukung operasi Amerika Serikat. Jadi ada banyak alasan yang akan disampaikan. Karena posisi Presiden Bush secara politis lebih lemah, perubahan sikap sekutunya di Eropa yang ragu-ragu tentu tidak cepat berubah.”

Mengenai sikap menahan diri Eropa, harian Austria Die Presse yang terbit di Wina menulis:

"Terkecuali di Inggris, di Eropa memang ada keengganan besar untuk mengerahkan militer di berbagai bagian dunia di sisi Amerika Serikat. Penolakan ini semakin kuat setelah bencana yang disebabkan intervensi militer Amerika Serikat di Irak. Jika lebih banyak serdadu yang tewas pulang dari Afghanistan ke negaranya dalam peti mati, dukungan publik terhadap misi NATO makin sirna. Jadi pertemuan puncak NATO tidak akan menghasilkan terobosan besar. Juga tidak akan ada keputusan untuk memperluas misi NATO di Afghanistan. Dalam beberapa tahun ke depan, NATO tidak akan berubah, setidaknya sampai di Gedung Putih ada pergantian pimpinan.”

Mengenai misi NATO di Afghnaistan, harian Prancis Le Figaro yang terbit di Paris menulis:

“Masa depan NATO ditentukan di Afghanistan. Sejak pasukan NATO memperluas operasinya tahun ini, situasi di sana semakin buruk. Sehubungan dengan ancaman gagalnya misi terbesar yang pernah dilaksanakan oleh NATO, pertemuan puncak di Riga hendaknya membahas perubahan strategi di Afghanistan. Sayangnya, perbedaan doktrin para anggota aliansi ini bisa membuat keputusan sulit dicapai. Sebagian kalangan di Washington punya gagasan memperluas aliansi transatlantik ini menjadi aliansi golbal dengan mengikutsertakan Jepang dan Australia. Tapi yang sebenarnya paling penting adalah memikirkan strategi menyelamatkan situasi di Afghanistan. Hanya dengan keberhasilan misi di Afghanistan NATO bisa mempertahankan legitimasi keberadaannya.“