Misteri di Balik Kematian Patrice Lumumba
20 Juni 2025
Selama lebih dari enam puluh tahun, banyak pertanyaan terus menghantui Juliana Lumumba: Siapa yang membunuh ayahnya? Bagaimana Amerika Serikat turut berperan dalam pembunuhan itu? Apa yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa: apakah mereka hanya diam saja, padahal ayahnya berada di bawah perlindungan mereka?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah hal yang mudah dan tentu saja sarat dengan muatan politik. Namun Juliana tidak akan tenang sebelum mendapatkan jawaban-jawaban itu.
"Kau tidak bisa menjadi putri Patrice Lumumba tanpa hidupmu ditentukan oleh hal-hal itu,” katanya dengan tatapan penuh keteguhan. Ia tidak memandang ke kamera, melainkan menatap ke samping, keluar dari jendela rumahnya di Kinshasa, ibu kota Republik Demokratik Kongo, dengan dagu sedikit terangkat.
Pada tanggal 17 Juni lalu, di Brussels, pembahasan ulang atas pembunuhan ayahnya yang terjadi tahun 1961 kembali digelar. Belgia dituding turut bertanggung jawab. Pada tahun 2001, sebuah penyelidikan parlemen Belgia menyatakan bahwa Raja Belgia saat itu, Baudouin, mengetahui rencana pembunuhan tersebut namun tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya.
Namun kisah kelam itu tidak berhenti di sana. François, saudara Juliana yang menjadi penggugat, menuduh negara Belgia bukan hanya melakukan kejahatan perang dan penyiksaan, tetapi juga menjadi bagian dari konspirasi yang bertujuan melenyapkan ayahnya secara politik dan fisik.
Patrice Lumumba berjuang untuk kemerdekaan Kongo
Pada tanggal 30 Juni 1960, ia membebaskan Kongo dari penjajahan Belgia dan menjadi perdana menteri pertama negara itu setelah merdeka. Ia berjanji akan membawa demokrasi, kemakmuran, dan mengakhiri eksploitasi sumber daya alam Kongo oleh kekuatan asing. Namun janji itu tak pernah terwujud.
Karena pihak Barat — terutama Belgia dan Amerika Serikat— tidak menyukai rencana Lumumba untuk menasionalisasi sumber daya Kongo. Apalagi kedekatannya dengan Uni Soviet di tengah perang dingin semakin membuat mereka waspada.
Pada tanggal 17 Januari 1961, enam bulan setelah terpilih menjadi perdana menteri pertama Kongo merdeka, Lumumba diculik oleh separatis Kongo. Belgia dan Amerika ditengarai mengetahui hal itu. Di provinsi Katanga yang bermusuhan, ia dan dua orang kepercayaannya dieksekusi di bawah arahan perwira Belgia. Rincian ini baru terungkap lewat penyelidikan mendalam, termasuk karya sosiolog Belgia, Ludo De Witte, dalam bukunya The Assassination of Lumumba.
Seorang perwira Belgia lainnya, Gérard Soete, dilaporkan memotong-motong mayat Lumumba dan melarutkannya dalam asam. Hanya dua gigi yang tersisa dari Lumumba. Soete menyimpannya sebagai trofi.
Juliana mengetahui hal ini dari sebuah siaran televisi ARD tahun 2000, di mana Soete sendiri menceritakan detail tersebut sambil menunjukkan gigi itu ke kamera. Kenangan mengerikan ini masih membakar kemarahan Juliana hingga kini.
"Bagaimana perasaanmu, jika diberitahu bahwa ayahmu dibunuh, dikubur, digali kembali, dipotong-potong, dan bagian tubuhnya diambil?” tanyanya. "Bagi banyak orang, dia adalah perdana menteri pertama Kongo, pahlawan nasional. Bagi saya, dia adalah ayah saya.”
Juliana Lumumba berjuang demi kebenaran. Bertahun-tahun kemudian, ia menulis surat kepada Raja Belgia, menuntut pengembalian salah satu gigi ayahnya. Tidak ada yang tahu keberadaan gigi satunya.
Soete pernah mengaku melemparkan gigi-gigi itu ke Laut Utara, dan tak lama setelah itu ia meninggal dunia. Namun kemudian, putri Soete memperlihatkan gigi emas itu kepada seorang jurnalis. Ludo De Witte menggugatnya, dan pemerintah Belgia menyita gigi tersebut.
Pada tahun 2022, Perdana Menteri Belgia saat itu, Alexander de Croo, mengembalikan gigi itu kepada anak-anak Lumumba dalam sebuah upacara di Brussels dan meminta maaf — berbeda dengan Raja Philippe, keturunan langsung Raja Baudouin, yang rupanya belum bisa mengucapkan permintaan maaf secara resmi. Ia hanya menyampaikan "penyesalan terdalam” atas kekerasan yang dialami Kongo di bawah penjajahan Belgia.
Namun bagi Juliana, permintaan maaf saja tidak cukup. "Ini bukan soal permintaan maaf. Ini soal kebenaran, la vérité,” katanya.
Anak-anak yang tumbuh dalam pengasingan
Ketika ayahnya dibunuh, Juliana baru berusia lima tahun. Ia mengetahuinya saat berada di pengasingan di Mesir.
Beberapa bulan sebelum pembunuhan Lumumba, ia dan saudara-saudaranya diselundupkan keluar dari rumah mereka di Kongo, di mana ayahnya sudah dalam tahanan rumah, dibawa ke Kairo dengan paspor palsu. Patrice Lumumba tahu bahwa ia akan mati, kata Juliana. Ia bahkan menulisnya dalam surat terakhir untuk istrinya.
Di Kairo, anak-anak Lumumba dibesarkan oleh Mohamed Abdel Aziz Ishak, seorang diplomat yang bersahabat, bersama istri dan anak-anak mereka. Juliana memanggil mereka Papa Abdel Aziz dan Mama Zizi. Ia mengenang masa kecil yang penuh cinta dan empati: "Kami tumbuh dalam kasih sayang yang melimpah.”
Namun, anak-anak Lumumba tak bisa lepas dari politik. "Kami adalah keluarga politik. Kami datang ke Mesir karena alasan politik, sebagai tamu Presiden Nasser.
Politik adalah inti kehidupan kami, mau atau tidak,” ujarnya. Tak heran jika anak-anaknya kemudian terjun ke dunia politik juga. Juliana pernah menduduki beberapa jabatan menteri, sementara saudara laki-lakinya François memimpin partai nasionalis Kongo — partai yang didirikan ayah mereka.
Sejak kecil, Juliana sudah sadar bahwa pembunuhan ayahnya bermotif politik. Ia mengetahuinya dari Mama Zizi saat di Kairo, yang awalnya bercerita kepada François, lalu pada semua anak. Mama Zizi dan Papa Abdel Aziz pula yang mengenalkan sejarah keluarga mereka.
Berita kematian Lumumba menyebar cepat di Kairo. "Mereka membakar perpustakaan Universitas Amerika dan merampok kedutaan Belgia. Di jalanan, orang-orang meneriakkan ‘Lumumba, Lumumba',” kenang Juliana.
Tanggung jawab, pengakuan, dan warisan kolonial
Baru pada tahun 1994, saat rezim diktator Mobutu mulai goyah, Juliana kembali ke Kongo setelah bertahun-tahun mengasingkan diri. Ayahnya pernah berpesan kepada anak-anaknya: "Dia berkata, apapun yang terjadi, kalian harus kembali pulang. Saat situasi sudah aman, kami pulang ke rumah, tempat kami sebenarnya.”
Kini Juliana sudah tidak terlalu aktif di dunia politik Kongo. Ia enggan berbicara tentang kondisi terkini di Kongo, konflik antara tentara dan kelompok pemberontak M23, atau eksploitasi sumber daya alam yang masih terus berlangsung oleh Barat, Cina, Rwanda, dan kekuatan asing lainnya. Ia juga enggan mengulas proses hukum yang masih berlangsung di Brussels.
Ia hanya mengatakan, "Sepuluh tahun terakhir tidak ada perkembangan. Sebelas dari dua belas terdakwa sudah meninggal.” Ketidakberdayaan sistem peradilan Belgia sangat terasa, menurut Juliana.
Harapan besar agar ada yang bertanggung jawab atas pembunuhan ayahnya sudah hampir pupus. Terdakwa terakhir kini berusia 92 tahun, tak lain adalah Étienne Davignon, seorang pengusaha dan politisi Belgia sekaligus mantan wakil presiden Komisi Eropa.
Bagi Juliana, ini pengalaman yang sulit dan mengecewakan: "Tak seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban. Tidak Belgia, tidak Eropa, tidak Kongo. Tidak putih, tidak hitam. Semua sepakat bahwa pembunuhan itu terjadi. Tapi tak seorang pun mau mengaku melakukannya.”
Pada tanggal 2 Juli 2025, Patrice Lumumba akan genap seratus tahun usianya, jika saja ia masih hidup.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Hendra Pasuhuk