Kekuatan politik sipil ikut berperan dalam karir perwira tinggi TNI. Peta kekuatan para perwira tinggi yang berkawin-mawin dengan otoritas sipil dapat Anda simak dalam analisa Aris Santoso.
Iklan
Ada mutasi di tubuh TNI yang cukup menarik pada pertengahan September lalu, khususnya menyangkut nama Letjen TNI M. Munir (Sesjen Wantanas, Akmil 1983). Dalam surat keputusan mutasi itu, Letjen M. Munir dinyatakan memasuki masa pensiun. Dengan keputusan itu pupus sudah harapan M. Munir naik jabatan sebagai KSAD. Perjalanan karir Munir menunjukkan pada publik, bahwa tidak semua karir perwira tinggi akan berujung manis.
Munir adalah ajudan (ADC) mantan Presiden SBY pada periode pertama pemerintahannya (2004-2009), bersama tiga koleganya dari matra lain dan kepolisian. Pada tahun 2004 itu, saat nama Munir diumumkan sebagai ajudan presiden, sudah muncul perkiraan, bahwa Munir dan tiga ajudan SBY lainnya, kelak akan menjadi Kepala Staf dan Kapolri. Hari ini terbukti, perkiraan itu meleset semuanya. Kalau SBY sedikit agresif, seharusnya mereka dilantik saat SBY masih berkuasa dulu.
Fenomena Munir ini memperlihatkan betapa pentingnya dukungan politik dalam karir perwira militer maupun polri. Kita tahu, antara SBY dan Megawati terjadi rivalitas politik tak berkesudahan, sehingga bisa dipahami, bila perwira yang dianggap masuk gerbong SBY, seperti Munir, tidak mungkin diberi posisi yang sangat strategis. Megawati adalah "Queen Maker” hari ini.
Kini sudah mulai beredar kabar, bahwa KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna (Call Sign Dragon 08, AAU 1983), sedang disiapkan untuk posisi Panglima TNI. Ini semacam "kompensasi” bagi Megawati, setelah perwira lain yang dianggap dekat dengannya, yaitu Jenderal Pol. Budi Gunawan (Akpol 1983) gagal sebagai Kapolri. Terlebih usia Agus Supriatna pada Januari (2017) nanti, akan memasuki usia 58 tahun (usia pensiun), artinya promosi Agus harus segera diproses.
Hilangnya Palagan
Dalam meniti karir sebagai perwira TNI, memang dibutuhkan dukungan politis otoritas sipil. Namun itu sebatas pada mereka yang menduduki pos bintang tiga atau empat, dan sebagian pos bintang dua. Bagi perwira generasi baru, jangan terlalu berharap banyak pada dukungan politik. Sebab bila terlalu bertumpu pada dukungan politik, akan berpengaruh pada kompetensi perwira bersangkutan. Pengembangan diri perwira tetap yang utama, semisal melalui operasi tempur, atau penugasan lapangan lainnya
Setelah berkurangnya palagan (tempur), seperti Aceh dan Timor Leste, maka perlu dicari "palagan” lain untuk mematangkan kemampuan perwira. Salah satu pilihannya adalah melalui jalur pendidikan. Untuk generasi yang lulus setelah tahun 2000, faktor pengalaman tempur dalam promosi mereka, menjadi kurang relevan lagi, karena palagan untuk itu memang sudah tidak ada. Palagan yang masih ada sifatnya sangat lunak, seperti operasi pamtas (pengamanan perbatasan) dan pasukan perdamaian di bawah PBB. Selepas berakhirnya era operasi tempur, faktor pendidikan (khususnya Seskoad) menjadi pendukung utama peningkatan karir.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
10 foto1 | 10
Bila nasib sedang baik, modalitas Seskoad sudah bisa menghantarkan perwira pertama atau menengah menjadi pati. Namun faktor nasib baik tidak bisa dijadikan pegangan, karena pada promosi berikutnya dia mungkin akan dilewati perwira lain yang sudah mengikuti Sesko TNI atau Kursus Reguler Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional), yang levelnya lebih tinggi ketimbang Seskoad.
Faktor Kekerabatan
Jalan lain untuk mencapai karir tinggi dalam militer, adalah melalui jalur kekerabatan. Fenomena asal-usul keluarga dalam menggapai karir puncak, adalah warisan Orde Baru yang masih berlangsung hingga kini, dan tidak ada yang tahu kapan akan berakhir.
Setidaknya ada empat nama yang acapkali menjadi perbincangan, yaitu Mayjen. Andika Perkasa (Pangdam XII/Tanjungpura, Akmil 1987, menantu Hendro Priyono), Kol. Inf. Kunto Arief Wibowo (Danrem Palembang, Akmil 1992, putera Try Sutrisno), dan Kol. Inf. Maruli Simanjuntak (Danrem Solo, Akmil 1992, menantu Luhut B. Panjaitan).
Daftar ini masih bisa diperpanjang lagi. Misalnya dengan memasukkan nama Mayor Inf Agus Harimurti Yudhoyono (Danyon Mekanis 203/Arya Kemuning, Akmil 2000, putra SBY), sebelum dia mengundurkan diri sebagai perwira TNI, dan terjun langsung ke dunia politik praktis. Empat nama itu sudah cukup menggambarkan, bagaimana nepotisme dalam promosi perwira masih terus berlangsung.
Kopassus Dalam Pusaran Sejarah
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.
Foto: Getty Images/AFP/A.Berry
8 foto1 | 8
Tentu saja ada kritik terhadap sistem seperti itu, bahkan sejak Orde Baru dulu. Namun semua kritik yang ada, ibarat berteriak di padang pasir, sia-sia belaka. Elite militer adalah komunitas yang eksklusif dan cenderung tertutup, jarang sekali bersedia mendengar masukan dari luar lingkarannya. Dengan kata lain program reformasi TNI yang mulai dicoba sejak tahun 2000-an, mengalami kemandegan.
Wiranto diikuti nasib baik?
Sebagaimana disebut di awal tulisan ini, bagaimana otoritas sipil acapkali mengintervensi posisi strategis TNI, khususnya pada posisi bintang tiga dan empat. Fenomena itu sudah terjadi sejak lama, bahkan sejak di era Soekarno, dan terus berlangsung hingga hari ini.
Karena intervensi itu pula, masyarakat terheran-heran ketika nama Wiranto muncul kembali sebagai Menkopolhukam. Memang ini jabatan sipil, namun secara tradisional posisi Menkopolhukam selalu dipegang posisi purnawirawan jenderal.
Publik mengira karir politik Wiranto sudah selesai, karena faktor usia, ternyata masih bisa masuk orbit kekuasaan lagi. Dan kini Wiranto memiliki "tandem” seorang perwira yang sebenarnya bermasalah juga, yaitu Mayjen Yayat Sudrajat (Akmil 1982). Mayjen. Yayat baru saja ditetapkan sebagai Sekretaris Menko Polhukam, setelah sebelumnya menjabat Kepala BAIS. Saat masih berpangkat Letkol, Yayat diduga melakukan pelanggaran HAM, saat pasca jajak pendapat di Timor Leste tahun 1999.
Pengganti Yayat sebagai Kabais juga bermasalah, yaitu Mayjen. Hartomo (Akmil 1986), yang saat menjabat Komandan Satgas Tribuana di Papua, diduga terlibat dalam kasus tewasnya Theys Eluay (Ketua Dewan Adat Papua), pada November 2001 di Jayapura. Tampilnya nama Wiranto, Yayat Sudrajat, dan Hartomo, merupakan penanda bahwa rezim Jokowi kurang sensitif terkait isu penegakan HAM. Atau bisa juga Jokowi belum sanggup mengendalikan TNI, terkait posisinya sebagai Panglima Tertinggi.
Misteri Ediwan Prabowo
Dalam pengamatan saya pribadi, nasib Wiranto sangat beruntung dari waktu ke waktu. Karena otoritas sipil selalu memberinya jalan pada kekuasaan. Pertama di masa Orde Baru, saat Wiranto bersiap memegangn jabatan Pangkostrad, jabatan ini tiba-tiba dijadikan pos bintang tiga (letjen), dengan demikian Wiranto dipacu karirnya. Dan keberuntungan itu masih terus berlanjut hingga hari ini.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Kasus yang sedikit berbeda terjadi pada Letjen. Ediwan Prabowo (lulusan terbaik Akmil 1984). Sejak melepas jabatan Sesjen Kemenhan setahun lalu, sampai sekarang Ediwan belum memperoleh jabatan definitif. Untuk perwira tinggi sekelas Ediwan, menjalani hari-hari tanpa jabatan yang pasti, sungguh merupakan keanehan.
Apa yang dialami Ediwan hari ini, bisa jadi juga merupakan dampak dari intervensi otoritas sipil. Hanya intervensi kali ini, bukan menghasilkan kepastian, namun sejumlah teka-teki.
Kalau kita runut ke belakang, yang mengorbitkan Ediwan adalah mantan Presiden SBY, sebagai sesama pemegang Adi Makayasa di Akademi Militer Magelang. Pangkat brigjen Ediwan diperoleh ketika dia diangkat sebagai Sekretaris Pribadi Presiden SBY, setelah itu karir Ediwan lancar. Ketika menjabat Sesjen Kemenhan, sementara Menhan dijabat oleh Jenderal (Purn) Ryamizard, baru timbul persoalan.
Rupanya Ryamizard masih menyimpan "sakit hati” pada SBY, terkait dibatalkannya surat keputusan Presiden Megawati (2004), yang berisi pengangkatan Ryamizard sebagai Panglima TNI. Kemudian muncul anggapan, Ediwan sebagai bagian dari gerbong SBY, dan karenanya harus rela menerima nasib seperti itu. Artinya intervensi otoritas sipil ibarat pedang bermata dua, bisa berbuah kejayaan, atau justru sebaliknya.
Dosa Tentara di Serambi Mekah
Bertahun-tahun rakyat Aceh menanggung kebiadaban TNI selama operasi militer menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Serupa kasus 65, darah yang membalur Serambi Mekah adalah dosa yang selamanya menghantui militer Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/S. Ananda
Perintah dari Istana
Pada 19 Mei 2003, pemerintahan Megawati melancarkan operasi militer di Aceh dengan mengirimkan lebih dari 30.000 serdadu dan 12.000 polisi. Sebelumnya Gerakan Aceh Merdeka menolak status otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah. Perang yang dikobarkan Megawati berlangsung selama setahun.
Foto: Getty Images/AFP/Raka
Senjata Gelap TNI
GAM sudah berperang demi kemerdekaan Aceh sejak tahun 1976. Kegigihan gerakan separatis itu menyulut perang berkepanjangan dengan TNI. Ironisnya GAM banyak membeli senjata secara gelap dari TNI. Tahun 2000 silam Polda Metro Jaya menggerebek sebuah rumah dan menemukan bukti pembelian senjata TNI oleh GAM dengan nilai sebesar tiga miliar Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/H. Simanjuntak
Berpaling Simpati
Perang pemberontakan Aceh 1990-1998 termasuk yang paling rentan pelanggaran HAM. Selama delapan tahun sekitar 12.000 nyawa menghilang, kebanyakan adalah warga sipil Aceh. Kebiadaban TNI selama itu diyakini justru menambah simpati rakyat Aceh terhadap gerakan separatis.
Foto: Getty Images/AFP/Inoong
Kejahatan Demi NKRI?
Tahun 2013 silam Komnas HAM menyelidiki lima kasus kejahatan perang selama DOM 1990-1998, yakni tempat penyiksaan Rumoh Geudong di Pidie, pembantaian massal di Bumi Flora, Aceh Timur dan Simpang KKA di Aceh Utara, serta kasus penghilangan paksa dan kuburan massal di Bener Meriah.
Foto: Getty Images/AFP/C. Youn-Kong
Intimidasi Demi Informasi
TNI berikrar akan lebih hati-hati selama operasi militer di Aceh 2003. Tapi serupa di Timor Leste, tentara dilaporkan sering mengintimidasi penduduk desa untuk mengungkap tempat persembunyian pemberontak. Human Rights Watch mencatat berbagai kasus penculikan dan penganiayaan anggota keluarga terduga gerilayawan. Desember 2003 Polri memerintahkan "menembak mati" siapapun yang "membawa bendera GAM."
Foto: Getty Images/AFP/Inoong
Pondok Kelabu
Pada 17 Mei 2003 tiga truk tentara mendatangi desa Jambo Keupok, Aceh Selatan. Di sana mereka menginterogasi penduduk desa ihwal persembunyian GAM. Hasilnya 16 penduduk tewas. Sebagian ditembak, ada yang disiksa atau bahkan dibakar hidup-hidup, tulis Komisi untuk Orang Hilang, Kontras. Insiden tersebut kemudian dikenal dengan istilah Tragedi Jambo Keupok.
Foto: Getty Images/AFP/C. Youn-Kong
Media Propaganda
Berbeda dengan DOM 1990-1998, TNI menggandeng media untuk menguasai pemberitaan ihwal perang di Aceh. Wartawan misalnya dilarang mengutip sumber dari GAM. "Saya berharap wartawan menulis dalam kerangka NKRI. Kalau saya terkesan keras, harap dimaklumi," tutur penguasa darurat militer Aceh saat itu, Mayjen Endang Suwarya.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Adu Klaim Soal Korban
Selama satu tahun antara Mei 2003 hingga 2004, sebanyak 2000 orang tewas dalam pertempuran. TNI mengklaim semuanya adalah gerilayawan GAM. Namun berbagai LSM dan termasuk Komnas HAM membantah klaim tersebut. Sebagian besar korban ternyata warga sipil biasa.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Pagar Manusia
Salah satu strategi TNI adalah membangun "pagar betis" yang terdiri dari warga sipil. Mereka diperintahkan untuk menyisir sebuah kawasan yang diduga dijadikan tempat persembunyian GAM. Dengan cara itu, TNI berharap GAM tidak akan menembak dan mau keluar dari sarangnya. Strategi serupa sering diterapkan saat Operasi Seroja di Timor Leste.
Foto: Getty Images/AFP/H. Simanjuntak
Tanpa Keadilan
Berbagai penyelidikan yang dilakukan LSM Kemanusiaan dan Komnas HAM terkait kejahatan perang di Aceh gagal membuahkan keadilan buat korban. Hingga kini sebagian rakyat Aceh masih hidup dengan trauma perang.
Foto: Getty Images/AFP/S. Ananda
10 foto1 | 10
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai staf administrasi pada lembaga yang bergerak di bidang HAM (Kontras). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.