Tak ada negara di dunia ini termasuk negara kita, yang ingin menjadi negara terbelakang. Indonesia mengejar impian menjadi negara dengan perekonomian menjulang, stabilitas politik terpuji di dalam negeri dan keamanan regional yang menjadi andalan negara-negara kawasan. Namun di kalangan masyarakat tradisional Jawa di pulau Jawa muncul impian kembalinya kejayaan kerajaan masa lalu yang dahulu berkuasa di tanah Jawa. Pulau Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 150 juta jiwa menurut proyeksi data Badan Pusat Statistik 2015-2045 yang dirilis tahun 2018 silam.
Dari total keseluruhan penduduk Indonesia yang mencapai 270 jiwa, penduduk di Jawa itu tersebar 49 juta jiwa di Jawa Barat, 39 juta jiwa di Jawa Timur dan 34 juta jiwa di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta hampir 4 juta jiwa. Bagaimana jika 1% saja orang di Jawa atau sekitar 1,5 juta orang percaya pada kejayaan masa lalu akan kembali lagi? Tentu menarik memperhatikan fenomena sosial ini.
Mitos Harta Kerajaan
Bagi Anda yang bergaya hidup modern mungkin sulit membayangkan ada yang sangat mempercayai mitos, cerita rakyat dan klaim-klaim sejarah meski minim bukti arkeologi dan manuskrip. Bagi sejumlah orang sejarah masa lalu adalah petunjuk akan masa depan. Tak heran Ramalan Jayabaya akan sosok Ratu Adil kerap muncul saban pemilu. Harapan kehadiran Sang Ratu Adil itu ternyata bukan satu-satunya yang masih ditunggu penggenapannya. Rupanya ada pula impian kejayaan kerajaan masa lalu yang akan kembali terulang di masa depan.
Tahun 2016 silam, dalam sebuah acara, seseorang yang saya kenal dari dunia maya (Facebook) menceritakan tentang komunitas yang diikutinya. Sebuah komunitas yang percaya akan adanya harta kerajaan-kerajaan masa lalu yang jumlahnya sangat besar dan hingga saat itu belum dipublikasikan untuk masyarakat luas. Pada saatnya nanti harta ini akan digunakan untuk membangun kembali kejayaan kerajaan masa lalu.
Mendengar informasi dana kerajaan, sontak pikiran logis saya menolak mempercayai dan saya mengabaikan orang yang bercerita ini karena sangat tidak masuk akal. Sayangnya, ternyata banyak orang yang tergiur dan akibatnya kehilangan uang belasan hingga puluhan juta rupiah demi memperoleh bagian dari harta kerajaan yang mensyaratkan pemberian dana jutaan lebih dahulu. Salah satu yang muncul dalam pemberitaan adalah UN Swissindo di Pati, Jawa Tengah tahun 2017 yang berhasil menipu banyak orang dengan iming-iming dana kerajaan meski bisa jadi tidak ada hubungannya dengan kisah dana kerajaan yang disampaikan kepada saya yang terkesan bergerak di bawah tanah.
Mitos Kembalinya Sabda Palon dan Nolo Genggong
Seorang kenalan saya, peminat seni dan tradisi yang berdomisili di Malang, Jawa Timur Fardik Rudiyanto menceritakan ada kegairahan pada tradisi di kalangan masyarakat termasuk di kalangan mahasiswa di kotanya. "Ada komunitas namanya Wong Ireng yang berusaha menyakini simbol-simbol masa lalu akan muncul kembali, termasuk kejayaan.” Salah satu keyakinan yang dipercayai adalah kebangkitan Kerajaan Majapahit lima ratus tahun setelah kejatuhannya.
Pendamping spiritual Raja Majapahit terakhir yakni Prabu Brawijaya V yang disebut Sabda Palon dan Nolo Genggong konon sangat marah ketika Prabu Brawijaya V menyerah kepada Demak. Sabda Palon dan Nolo Genggong berjanji akan kembali mengambil alih Jawa setelah 500 tahun dan waktunya diperkirakan antara tahun 2020-2030.
Patut diketahui, dalam kisah sejarah disebutkan Prabu Brawijaya V ini mualaf alias memeluk Islam atas peran Sunan Kalijaga. Kejadian itu terjadi tahun 1478 sehingga 500 tahun setelah tahun 1478 adalah tahun 1978.
Meski periode waktu 500 tahun sudah terlampaui keyakinan Sabda Palon dan Nolo Genggong yang akan kembali ini pada kurun 2020-2030 dipercaya betulan dan sebagai bentuk keseriusan sejumlah orang aktif menjadi penggiat seni dan tradisi di desa-desa karena dipercaya desa yang masih berpegang pada tradisi. Bahkan secara ekonomi, Badan Usaha Desa dipercaya menjadi faktor kebangkitan desa.
Sejauh ini Fardik Rudiyanto menyebutkan ada dua tipe kelompok dalam masyarakat, yang pertama yang menelan mitos tanpa motif apapun dan yang kedua adalah yang mengaitkan mitos dengan politik. Namun sebagai penggiat seni dan tradisi Fardik Rudiyanto melihat impian kembalinya Sabda Palon dan Nolo Genggong sebagai awal kejayaan kerajaan masa lalu sebagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap radikalisme yang marak belakangan ini.
Mitos Cakra Manggala Nusantara
Impian kembalinya kejayaan kerajaan masa lalu, bukan hanya terbatas pada bentuk pemerintahan tetapi juga dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Indonesia sebagaimana nusantara dahulu. Suroso, seorang pewaris tari topeng Malangan bahkan mengimpikan kembalinya kejayaan Kerajaan Singosari, yang lebih dahulu ada dibandingkan dengan Kerajaan Majapahit.
"Kami di Malang sudah membangun pelestari budaya adat Singosari, belajar pakai ikat kepala, nama-nama juga sudah mulai pakai nusantara.” Suroso beralasan nusantara itu lebih luas daripada Indonesia, karena Kerajaan Singosari sampai di Thailand, Malaysia dan Kepulauan Solomon di Samudera Pasifik.
Jika sebagian orang merujuk pada Sumpah Amukti Palapa, Suroso merujuk pada Cakra Manggala nusantara yang lebih duluan muncul daripada Sumpah Palapa. Uniknya Suroso tak sendiri. Ia mengaku yang sejalan dengan pemikirannya cukup banyak seperti para sultan, keturunan raja, majelis cendekiawan keraton, barisan adat dan kelompok-kelompok yang menjadi embrio kejayaan nusantara. "Omong bukan Indonesia tapi nusantara.”
Mitos Mengubah Nama Indonesia Menjadi Nusantara
Bagi saya ketiga contoh di atas hanyalah mitos yang bebas dipercayai oleh siapapun yang menghendakinya. Tetapi bagaimana jika saran pengubahan nama itu datang dari lulusan metafisika (ilmu tentang hal yang tak terlihat) dari Amerika Serikat? Tertulis dalam situsnya, Arkand Bodhana Zeshaprajna mengaku selama 32 tahun menggeluti Kode Rahasia Nama-Nama dan ia menghitung kebaikan-keburukan sebuah nama melalui aplikasi yang ia desain "Secret Codes Series” atau "Arkand Series”.
Dari penghitungannya tersebut, nama Indonesia berstruktur negatif dan berpotensi besar hancur pada tahun 2020 saat polaritas negatif terbentuk. Polaritas negatif ini berlangsung hingga tahun 2023 jika nama Indonesia tidak diubah. Nama yang positif untuk Indonesia menurut konsultan metafisika ini adalah nusantara.
Meski saran perubahan nama dari Indonesia menjadi nusantara itu sudah digaungkan Arkand sejak tahun 2014 tampaknya tidak ada yang peduli dengan imbauan Arkand meski ia sempat tampil di sebuah acara bincang-bincang populer sebuah stasiun TV di Indonesia. Tak ada pula yang mengaitkan ide Arkand itu dengan situasi politik di dalam negeri. Namun berhubung sekarang sudah menjelang tahun 2020 dan nama Indonesia masih dipertahankan, benarkan perhitungan Arkand Series terkait Indonesia hancur gegara nama pada tahun 2020?
Apakah Arkand yang benar atau pujangga Inggris William Shakespeare yang benar. Shakespeare mempopulerkan ungkapan, "Apalah arti sebuah nama. Jika Anda memberikan nama lain untuk mawar, ia tetap akan berbau harum.” Jika Indonesia dibangun dengan cinta oleh pemimpin dan rakyatnya dengan sepenuh jiwa dan raga, Indonesia akan jaya tanpa mitos kejayaan nusantara di masa lalu.
Biarlah sejarah nusantara menjadi nostalgia indah untuk anak cucu kita dan menjadi tugas kita semua untuk menjaga dan mempertahankan Indonesia sebagai bangsa yang eksis, bukan cuma sekadar mempertahankan nama Indonesia agar tetap digunakan demi melawan "ramalan” seorang konsultan metafisika.
@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.