Mitos Indonesia Raih Special Mention Berlinale 2014
Andy Budiman16 Februari 2014
Film pendek Indonesia tentang ritual unik menghentikan hujan mencuri perhatian dalam Festival Film Berlin 2014. Aditya Ahmad, menjadi sutradara termuda dan meraih Special Mention kategori Crystal Bears.
Iklan
Rombongan murid sekolah dasar sejak pagi mengantri di Haus der Kulturen der Welt Berlin. Pagi itu, enam film pendek yang lolos seleksi Crystal Bears, Festival Film Berlin diputar, salah satunya dari Indonesia.
Gedung bioskop berkapasitas 1.040 kursi pagi itu penuh oleh sebagian besar anak yang tak bisa menahan antusiasme, bicara keras satu sama lain sambil tak henti bertepuk tangan.
Keriuhan baru mereda ketika film mulai diputar.
Berat dan gelap
“My Personal Moose“ adalah film animasi Rusia karya Leonid Shmelkov, bercerita tentang hubungan seorang anak desa bernama Misha dengan bapaknya yang pendiam tapi sangat menyayanginya – dibumbui obsesi Misha terhadap rusa, dan bagaimana pertemuan tak terduga antara dia dengan hewan itu ketika dewasa.
Sesekali anak-anak tertawa, meski saya menduga mereka tak terlalu faham dengan film yang memang agak terlalu “dalam“ bagi anak sekolah dasar ini.
Film kedua mengangkat kisah gelap buruh anak di Pakistan berjudul „Out of This World“ karya Viktor Nordenskioeld dari Swedia. Mohammad adalah anak yang bekerja membersihkan tangki minyak yang beracun dan bisa menyebabkan kanker, hanya demi pendapatan sekitar Rp 15.000 per hari.
Sebuah film yang tentunya cukup mengejutkan bagi anak-anak Jerman yang mungkin untuk pertama kalinya melihat dunia lain yang kotor, dan anak seusia mereka terpaksa bekerja demi bertahan hidup.
“The Dam Keeper” tentang penolakan. Seekor babi kecil bekerja melakukan segalanya untuk menyelamatkan kota dari bencana polusi, tapi tak ada seorangpun ang berterimakasih, bahkan masyarakat mengolok-oloknya. Di sekolah ia di bully, hingga datanglah seekor rubah kecil yang cantik. Sebuah film gelap karya Robert Kondo dan Dice Tsutsumi dari Amerika.
Sutradara Selandia Baru, Abigail Greenwood menampilkan ”Eleven”, tentang bagaimana usia sebelas tahun menandai perubahan dalam diri manusia yang awalnya polos menjadi makhluk yang lebih “politis”.
Film sutradara asal Singapura Laura Mohai berjudul ”Pigs”. Berkisah tentang hubungan seorang anak down syndrome dengan ibunya berlatar peternakan babi milik mereka.
Film Indonesia menonjol
Terakhir adalah film Indonesia “Sepatu Baru”, karya Aditya Ahmad, 25 tahun dari Makassar. Sebuah film pendek yang membawa nuansa lain. Film yang merupakan tugas akhir sang sutradara di bangku kuliah ini secara mengejutkan digarap dengan sangat baik.
Bercerita tentang “perburuan” celana dalam oleh seorang anak perempuan. Berkeliling kampung kumuh di sela hujan, mencuri pakaian dalam untuk dilempar ke atap agar hujan berhenti, supaya ia bisa segera memakai sepatu barunya.
Dengan detail gambar yang indah dan kesederhanaan tema, film ini mencuri perhatian. Dalam pemutaran premier, film ini paling banyak dihujani pertanyaan, dalam pemutaran kedua sejumlah pertanyaan polos meluncur dari anak-anak, misalnya: ”Apakah di Indonesia memang sering banjir?”.
“Di sekeliling saya memang masih banyak yang percaya bahwa melempar celana dalam bisa menghentikan hujan,” kata Aditya Ahmad atau Adit kepada DeutscheWelle.
DW:Darimana datangnya ide film ini?
Adit:Ide ini datangnya dari sekeliling saya karena ada banyak yang percaya bahwa membuang celana dalam ke atap bisa menghentikan hujan. Sampai teman-teman di kampus kalau bikin acara masih manggil pawang hujan…
DW:Apa bagian paling sulit dalam pembuatan film ini ?
Adit:Karena kita harus menunggu hujan baru bisa shooting, dan waktu itu meski musim hujan bulan Februari, tapi hujan datang hanya sebentar. Dua jam hujan lalu kemudian panas lagi sekitar empat jam. Kita sempat berpikir untuk memanggil pawang hujan agar mengirimkan hujan ke tempat kita. Tapi kebetulan sebelum kita menelepon, tiba-tiba mendung dan hujan. Jadi kita langsung shooting. Stand by terus dari pagi sampai sore menunggu hujan. Jadi waktu hujan langsung semangat, lompat semua langsung keluar…
Adit, adalah sutradara termuda yang lolos seleksi untuk bersaing memperebutkan penghargaan Crystal Bears, untuk film pendek di Berlinale 2014.
Adit meraih semacam penghargaan kedua yakni "Special Mention" untuk kategori Crystal Bears. Sementara pemenang utamanya adalah film "Sprout" karya Ga-eun Yoon dari Korea Selatan.
Para juri menyebut “Sepatu Baru” menampilkan cerita yang menyentuh tentang seorang gadis kecil yang dengan sepenuh hati berkeinginan untuk menghentikan hujan. Melalui gambar-gambar menakjubkan, kata para juri, film ini memberikan pemahaman akan tradisi dari negeri nun jauh di sana.
Berlinale untuk Anak-Anak
Di sini semua hampir sama seperti Berlinale bagi orang dewasa. Bahkan banyak hal yang lebih seru. Ada perlombaan, pemutaran perdana, penonton yang senang dan film dari banyak kebudayaan.
Foto: Berlinale 2012/Max Kullmann
Berlinale Untuk Generasi Penerus
Mereka mungkin penonton yang paling menikmati Berlinale. Anak-anak gemetar bersama para jagoan di layar, bertepuk tangan karena senang dan bisa tertawa setengah mati, jika melihat hal lucu. Sejak 1978 Berlinale memiliki kategori tersendiri bagi anak-anak. Itu tidak ada dalam festival-festival internasional lainnya.
Foto: Berlinale
Sejarah Kesuksesan Yang Tak Ada Akhirnya
Kategori untuk anak-anak disebut "Generation" atau generasi, dan mencakup dua program: "Kplus" untuk anak-anak hingga 13 tahun, dan "14plus" untuk kaum remaja. Hingga 60.000 orang datang ke lima tempat pertunjukan. Yang mereka saksikan adalah seni film berstandar paling tinggi.
Foto: Ákos Kovács
Animasi Makin Maju
Tahun ini "Kplus" dibuka dengan film animasi dari Perancis: "Loulou, rahasia luar biasa" yang dibuat pelukis buku bergambar, Grégoire Solotareff. Ceritanya tentang persahabatan yang bermakna dalam, dengan dua protagonis hebat, yakni Tom, seekor kelinci yang agak penakut dan Loulou, serigala yang beradab dan hidup vegan.
Foto: 2013 Prima Linea Productions/France 3 Cinéma/ Belvision
Hasil Pilihan Yang Bagus
Marianne Redpath bekerja sejak 1993 bagi "Kinderfilmfest" atau festival film anak-anak. Begitu sebutannya dulu. Sejak 2008 ia pimpin proses pemilihan untuk kategori itu. Profilnya jelas: film yang dipilih hanya yang bercerita dari sudut pandang anak-anak dan remaja. Dalam bercerita film harus bergaya baru baik dari segi estetika maupun bentuknya. Karena film harus mendorong perkembangan anak.
Foto: picture-alliance/Tagesspiegel
Film dari Berbagai Penjuru Dunia
Chinu masih belum biasa dengan kehidupan di desa. Ibunya membawanya pindah ke desa, meninggalkan kota besar, setelah ayahnya meninggal. Tetapi alam yang liar dan laut menjadi hal yang asing bagi Chinu. Ia butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri. Itulah cerita film India berjudul "Killa/Das Fort". Dalam Berlinale ditunjukkan film asli yang disulih bahasa Jerman.
Foto: Jar Pictures
Hidup Terus
Tahun ini sekitar 1.600 film bisa dipilih. 60 film panjang dan pendek dipertunjukkan. Salah satunya film Jepang "Kesenangan Jiwaku" oleh Masakazu Sugita, yang tampilkan cara lihat lain daripada cara barat. Dengan sangat perlahan ia bercerita kepada anak-anak yang berusia mulai 11 tahun, bagaimana orang terus hidup setelah bencana. Setelah pertunjukan, seperti biasa ada diskusi dengan penonton.
Foto: Yoshio Kitagawa
Susah Dinikmati
Atasi kesedihan jadi topik beberapa film. Bagaimana hadapi kematian? Film berjudul "Above us all" (di atas kita semua), menceritakan tiap kebudayaan punya cara tersendiri. Film itu adalah produksi Belgia-Belanda. Arwah ibunya yang orang Aborigin temukan tempat di antara bintang-bintang. Begitu dipelajari Shay dari para tetua. Tetapi di Belgia, tanah air Shay yang baru, tidak ada yang kenal itu.
Foto: Berlinale
Topik-Topik Sesuai Jaman
Yang menarik pada kategori anak-anak, "Generation," adalah keanekaragaman topik. Juga adanya bentuk penceritaan yang klasik. Terutama pembuat film asal Skandinavia sangat paham, bagaimana menceritakan topik modern dengan gaya ringan. Dalam "Die Geheime Mission" (misi rahasia), dari Denmark, dibahas topik pengucilan, keanekaragaman budaya, perlombaan bakat di televisi dan dua anak yang menghilang.
Foto: Karina Tengberg
Lebih dari Sekedar Penonton
Anak-anak dan remaja bukan hanya penonton selama Berlinale. Setelah menonton mereka berdiskusi dengan pemain film dan sutradara. Mereka punya reporter sendiri yang melaporkan jalannya festival, dan mereka juga bisa mencalonkan diri menjadi juri anak-anak atau remaja. Ini pekerjaan menarik, karena orang harus melihat banyak film dan menilainya.
Foto: Berlinale
Perbedaan Pandangan Yang Paling Besar
Di kategori "14plus" bisa dilihat film-film tentang perjalanan, cerita perkembangan di masa akil-balik dan film-film musik. Cerita-ceritanya berlangsung di bar-bar bawah tanah kota Glasgow, di Turki yang modern atau di Argentina. "3 Histoire D'Indiens" atau tiga cerita Indian adalah film dengan tiga cerita generasi baru orang Indian, yang tinggal di daerah reservasi Indian di Kanada.
Foto: Berlinale 2014
Tantangan Besar
Beberapa film remaja tidak mengikuti jalur penceritaan yang konvensional. Itulah yang disukai penonton dari kategori ini. Film berjudul "Violet" kemungkinan jadi tantangan besar untuk dipahami orang. Film ini sangat emosional dan menceritakan perasaan bersalah, kelumpuhan dan perasaan takut, yang tersirat di antara kalimat dan gambar.
Foto: Minds Meet
Menunggu Hidup
Siapa yang tertarik untuk mengenal hidup anak-anak juga remaja, tentang perasaan mereka, kekhawatiran dan kerinduan mereka, sebaiknya melihat film-film di kategori "Generation" atau generasi. Oleh sebab itu, program ini juga disukai banyak orang dewasa. Dalam film "Supernova," Meis sangat ingin agar sesuatu terjadi dalam hidupnya. Dan ternyata benar-benar terjadi kecelakaan.
Foto: Berlinale
Pesta untuk Film
Awalnya dirayakan, akhirnya juga dirayakan. Setelah itu ada penghargaan. Dalam perlombaan kategori "Kplus" dan "14plus" dua juri internasional menyerahkan penghargaan mereka. Selain itu, 11 anak serta tujuh remaja memberi penghargaan kepada film terbaik dengan Beruang Kaca. Tahun ini, penghargaan itu berumur 20 tahun.