Selain faktor kultural-ritual-keagamaan seperti sudah dijelaskan pada tulisan terdahulu, yang membuat pengikut NU dan Muhammadiyah sulit bersatu adalah masalah sosial-kepolitikan. Simak lanjutan opini Sumanto al Qurtuby.
Iklan
Jamak diketahui bahwa NU dan Muhammadiyah selalu berseteru dalam meraih akses politik-pemerintahan sejak republik ini berdiri. Dulu, di zaman Orde Lama ketika negara ini dipimpin oleh Presiden Sukarno (Bung Karno), NU banyak mendapatkan "jatah kekuasaan” di kabinet dan pos-pos pemerintahan lain karena hubungan dekat antara NU dan Sang Proklamator.
Bahkan dalam struktur kabinet, NU bukan hanya mendapat jatah sebagai Menteri Agama saja tetapi juga menteri-menteri lain seperti Menteri Dalam Negeri (misalnya Mr. Soenarjo), Menteri Ekonomi (misalnya Rahmat Mulyoamiseno) dan sebagainya. Di zaman Orde Lama, posisi Menteri Agama banyak dipegang oleh para tokoh dan kiai NU. Tercatat sejumlah nama pentolan NU yang menduduki jabatan Menteri Agama adalah: KH Abdul Wahid Hasyim (ayah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur), KH Fathurrahman Kafrawi, KH Muhammad Ilyas, KH Masjkur, KH Wahib Wahab, dan Prof. KH Syaifuddin Zuhri (ayah Menteri Agama sekarang Lukman Hakim Saifuddin).
Sejumlah tokoh Muhammadiyah di zaman Bung Karno dulu memang ada yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama seperti H. Rasjidi (di era Kabinet Sjahrir I), Achmad Asj'ari (Kabinet Amir Sjarifuddin I), atau Fakih Usman (Kabinet Wilopo). Tetapi peran mereka sangat marjinal, tidak dominan, dan hanya berumur beberapa bulan saja.
Perubahan drastis struktur kabinet, dimana NU tidak lagi menjabat sebagai Menteri Agama terjadi di zaman Orde Baru (Orba), khususnya sejak 1970an. Di awal pemerintahan Orba, Menteri Agama masih dipegang oleh NU, yaitu KH Muhammad Dahlan (1968–1971). Tahun 1971, Pak Harto (Presiden Suharto) menunjuk Prof. Dr. Abdul Mukti Ali sebagai Menteri Agama. Meskipun masa kecil dan remajanya dididik di pondok pesantren NU, Mukti Ali lebih dikenal sebagai sosok reformis atau pembaharu sejati.
Sejak era Mukti Ali, kemudian Menteri Alamsyah Ratu Prawiranegara dan puncaknya kelak di zaman Tarmizi Taher dan A. Malik Fadjar, pelan tapi pasti, peran NU mulai tergeser, lemah dan akhirnya lenyap dari Departmen (Kementerian) Agama.
Siapa penikmat kue kekuasaan?
Di zaman Orba, karena Pak Harto terlibat sejumlah friksi dan konflik dengan NU, Muhammadiyah-lah yang banyak menikmati "kue kekuasaan”. Ini sesungguhnya sebuah ironi karena di awal-awal kekuasaan Orba, NU dan Gerakan Pemuda Ansor ikut terlibat kampanye "pengganyangan” PKI yang disponsori oleh Pak Harto. Tapi belakangan NU malah dicampakkan begitu saja. Habis manis sepah dibuang.
Yang membuat NU "sakit hati” hingga sekarang yang hampir-hampir susah untuk disembuhkan adalah kader-kader NU "dibersihkan” dari Departemen (Kementerian) Agama dari pusat (Jakarta) hingga daerah-daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan) seantero Indonesia diganti dengan kader-kader Muhammadiyah.
Jamak diketahui bahwa, bukan hanya posisi-posisi penting di Departemen Agama (Depag) pusat saja yang dipegang dan dikendalikan oleh Muhammadiyah, para kepala dan staf Depag di provinsi dan kabupaten, dan bahkan sampai kecamatan (KUA: Kantor Urusan Agama) juga dipegang oleh Muhammadiyah. Bahkan para penyuluh agama yang bertugas di kampung-kampung juga dipilih dari Muhammadiyah atau "setengah Muhammadiyah”. Yang penting bukan NU.
Dari fenomena ini kemudian muncul kelakar di lingkungan NU kalau warga NU lebih suka menjalin pertemanan dengan umat Kristen ketimbang dengan Muhammadiyah karena kalau berteman dengan Kristen, properti NU akan aman tetapi kalau berteman dengan Muhammadiyah, properti NU akan lenyap.
Para Pejuang Perdamaian
Seluruhnya 101 orang dan 24 organisasi tercatat jadi pemenang hadiah Nobel Perdamaian yang dianugerahkan sejak 1901. Kilas foto beberapa diantaranya.
Foto: picture-alliance/dpa
2013 : Organisasi Bagi Pelarangan Senjata Kimia
Organisasi bagi pelarangan Senjata Kimia (OPCW) dianugerahi hadiah Nobel perdamaian 2013. Organisasi ini memantau ditaatinya konvensi senjata kimia dari tahun 1997. Saat ini organisasi aktif di Suriah, untuk memulai pemusnahan senjata kimianya.
Foto: picture-alliance/dpa
2012: Uni Eropa
Dianugerahi Nobel Perdamaian sebagai contoh bagi kerjasama damai seluruh negara anggotanya. Dengan itu Uni Eropa membantu mendorong perdamaian dan demokrasi di seluruh Eropa.
Foto: picture-alliance/dpa
2011 : Tiga Aktivis Perempuan
Tiga orang perempuan dianugerahi Nobel Perdamaian untuk perjuangannya bagi hak-hak perempuan serta upaya damai bagi demokrasi dan toleransi di negaranya. Masing-masing pejuang demokrasi dari Yaman :Tawakkul Karman. Aktivis perdamaian Liberia : Leymah Gbowee dan presiden Liberia : Ellen Johnson Sirleaf.
Foto: dapd
2010 Liu Xiaobo
Komite Nobel memberi penghargaan kepada penulis Cina Liu Xiaobo atas perjuangannya yang amat panjang dan tanpa kekerasan untuk perubahan mendasar situasi hak asasi manusia di Cina. Pembangkang dan penggagas manifesto hak warga "Charta 08" sejak 2009 divonis hukuman 11 tahun penjara dengan tuduhan berniat makar.
Foto: picture-alliance/dpa
2009 Barack Obama
Penganugerahan Nobel Perdamaian kepada presiden AS Barack Obama menuai kritik, terlalu dini dan ibaratnya panjar bagi pekerjaan yang belum tuntas. Obama memang mengajukan konsep bagi dunia bebas senjata atom, tapi hal itu belum ada penerapannya.
Foto: picture-alliance/dpa
2007 : Al Gore
Mantan wakil presiden AS ini bersama ketua dewan iklim PBB, Rajendra Kumar Pachauri dianugerahi Nobel Perdamaian terkait kiprahnya dalam perlindungan iklim. Dalam pidato penerimaan hadiah, Al Gore menuding Amerika Serikat dan Cina bertanggung jawab atas kelalaian terkait perlindungan iklim.
Foto: AP
2003: Shirin Ebadi
Pakar hukum asal Iran Shirin Ebadi merupakan Muslimah sekaligus perempuan warga Iran pertama yang mendapat anugerah Nobel Perdamaian dengan pujian khusus. Ebadi berjuang untuk penerapan demokrasi dan hak asasi manusia, khususnya hak kaum perempuan dan anak-anak di Iran.
Foto: DW
1993 : Frederik de Klerk dan Nelson Mandela
Frederik de Klerk sebagai presiden Afrika Selatan saat itu, memberikan kontribusi besar bagi pembubaran sistem Apartheid. Nelson Mandela ketua African National Congress berjuang untuk itu, dan dipenjarakan selama 27 tahun. Kedua tokoh diberi penghargaan untuk kontribusi mereka dalam menghapus Apartheid di Afrika Selatan.
Foto: AFP/Getty Images
1991 : Aung San Suu Kyi
Sejak akhir 1980 Aung San Suu Kyi berjuang tanpa kekerasan bagi demokratisasi dan hak asasi manusia di Myanmar yang dulu bernama Birma. Ia tidak bisa menerima langsung anugerah itu, karena bersatus tahanan dan mendekam di penjara. Anak lelakinya mewakili Aung San Suu Kyi menerima hadiah Nobel Perdamaian. Tahun 2010 ia dibebaskan dari tahanan rumah dan sejak 2012 menjadi anggota parlemen.
Foto: dapd
1990 : Mikhail Gorbachev
Dengan politik Glasnost dan Perestroikanya, Mikhail Gorbaschev memungkinkan peredaan ketegangan dan runtuhnya Tembok Berlin sekaligus juga penyatuan kembali Jerman. Tapi 1990 Gorbachev tidak bisa menerima sendiri anugerah itu, karena ketegangan politik dalam negeri Uni Soviet ketika itu.
Foto: picture-alliance/dpa
1983 : Lech Walesa
Ketua serikat buruh bebas Polandia Solidarność ini berada di dalam tahanan rumah, ketika diumumkan mendapat Nobel Perdamaian. Lech Walesa mengirim anaknya Bogdan serta istrinya Danuta untuk menerima penghargaan di Oslo. Tahun 1990 Lech Walesa menang pemilu dan menjadi presiden Polandia.
Foto: AP
1973 : Henry Kissinger dan Le Duc Tho
Henry Kissinger dan Le Duc Tho pada 23 Januari 1973 merundingkan rincian akhir kesepakatan gencatan senjata antara Amerika Serikat dengan Vietnam Utara. Kedua tokoh dianugerahi Nobel perdamaian bagi prestasinya menciptakan perdamaian di Vietnam. Le Duc Tho menolak menerima penghargaan dengan alasan di negaranya tetap belum tercipta perdamaian.
Foto: picture-alliance/dpa
1971 : Willy Brandt
Ia adalah tokoh politik pertama Jerman yang dianugerahi Nobel Perdamaian seusai perang dunia kedua. Willy Brandt diberi penghargaan untuk upayanya meredakan ketegangan dan kesetaraan dengan Blok Timur.
Karena Pak Harto tidak memperhatikan atau mengabaikan kepentingan Nahdliyyin, maka NU mengubah "model perjuangan” dan pendekatan dengan menjaga jarak terhadap kekuasaan dan bahkan menggalang gerakan oposisi terhadap pemerintah Orba. Para kiai NU dulu, baik yang aktif di partai politik terutama PPP (Partai Persatuan Pembangunan) maupun kiai non-partai terlibat aktif dalam gerakan dan aksi perlawanan, baik perlawanan politik maupun budaya, terhadap rezim pemerintah.
Pada waktu itu, terutama sejak awal 1980an, jika ada kiai, tokoh, dan kader NU yang menjadi birokrat atau aktif di ormas dan parpol pemerintah (Golkar) atau bahkan sekedar menunjukkan simpati terhadap pemerintah, langsung mendapat stigma buruk dan negatif sebagai "kiai kacung” dan antek Orba. Mereka dianggap sebagai "NU abal-abal” yang "menggadaikan NU” dan tidak konsisten dalam menjalankan prinsip dan amanat ke-NU-an.
Aksi dan gerakan perlawanan NU terhadap kekuasaan Orba dulu dikenal dengan sebutan "strategi kultural” yang kontra kekuasaan (dan Pak Harto) dengan mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ikon perlawanan. Sementara Muhammadiyah, karena diuntungkan oleh pemerintah Orba, menggunakan "pendekatan struktural” yang pro-kekuasaan (dan Pak Harto). Amin Rais dulu yang menjadi ikon "strategi struktural” ini.
Perang opini antara para pendukung strategi kultural (NU) dan cheerleader strategi struktural (Muhammadiyah) pun membahana di mana-mana, di berbagai forum dan media. Masing-masing mengklaim strategi merekalah yang paling ampuh dan jitu sebagai "alat perjuangan” menghadapi aneka problem sosial-politik-budaya di Indonesia.
Narasi Makar Hizb Tahrir
Keberadaan Hizb Tahrir sering dianggap duri dalam daging buat negara-negara demokrasi. Pasalnya organisasi bentukan Yusuf al-Nabhani itu giat merongrong ideologi sekuler demi memaksakan penerapan Syariah Islam.
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Buah Perang Arab-Israel
Adalah Yusuf al-Nabhani yang mendirikan Hizb Tahrir di Yerusalem tahun 1953 sebagai reaksi atas perang Arab-Israel 1948. Tiga tahun kemudian tokoh Islam Palestina itu mendeklarasikan Hizb Tahrir sebagai partai politik di Yordania. Namun pemerintah Amman kemudian melarang organisasi baru tersebut. Al Nabhani kemudian mengungsikan diri ke Beirut.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mimpi Tentang Khalifah
Dalam bukunya Al Nabhani mengritik kekuatan sekular gagal melindungi nasionalisme Palestina. Ia terutama mengecam penguasa Arab yang berjuang demi kepentingan sendiri dan sebab itu mengimpikan kekhalifahan yang menyatukan semua umat Muslim di dunia dan berdasarkan prinsip Islam, bukan materialisme.
Foto: picture-alliance/dpa/L.Looi
Anti Demokrasi
Tidak heran jika Hizb Tahrir sejak awal bermasalah dengan Demokrasi. Pasalnya prinsip kedaulatan di tangan rakyat dinilai mewujudkan pemerintahan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai hukum Allah. Menurut pasal 22 konstitusi Khilafah yang dipublikasikan Hizb Tahrir, kedaulatan bukan milik rakyat, melainkan milik Syriah (Hukum Allah).
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Kudeta Demi Negara Islam
Hizb Tahrir Indonesia pernah mendesak TNI untuk melakukan kudeta. “Wahai tentara, wahai polisi, wahai jenderal-jenderal tentara Islam, ini sudah waktunya membela Islam, ambil kekuasaan itu, dan serahkan kepada Hizbut Tahrir untuk mendirikan khilafah!” tegas Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib di hadapan simpatisan HTI pada 2014 silam.
Foto: Reuters/Beawiharta
Kemanusiaan Semu di Jantung Khalifah
Buat HT, asas kebebasan sipil seperti yang terkandung dalam prinsip Hak Azasi Manusia merupakan produk "ideologi Kapitalisme" yang berangkat dari prinsip "setiap manusia mewarisi sifat baik, meski pada dasarnya manusia hanya menjadi baik jika ia menaati perintah Allah."
Foto: Reuters
Tunduk Pada Pemerintahan Dzhalim
Kekhalifahan menurut HT mengandung sejumlah prinsip demokrasi, antara lain asas praduga tak bersalah, larangan penyiksaan dan anti diskriminasi. Namun masyarakat diharamkan memberontak karena "Syariah Islam mewajibkan ketaatan pada pemegang otoritas atas umat Muslim, betapapun ketidakadilan atau pelanggaran terhadap hak sipil yang ia lakukan," menurut The Ummah’s Charter.
Foto: Reuters
Diskriminasi Terhadap Perempuan
Pluralisme dalam kacamata Hizb Tahrir sangat berbahaya, lantaran "merusak Aqidah islam," kata bekas Jurubicara HTI Muhammad Ismail Yusanto, 2010 silam. Perempuan juga dilarang menduduki kekuasaan tertinggi seperti gubernur atau hakim, meski diizinkan berbisnis atau meniti karir. "Pemisahan jender adalah fundamental", tulis HT dalam pasal 109 konstitusi Khilafah. (Ed: rzn/ap)
Foto: picture alliance/dpa/M.Fathi
7 foto1 | 7
Jadi selama bertahun-tahun, NU terlibat perseteruan bukan hanya dengan rezim Orba saja tetapi juga dengan Muhammadiyah yang dianggap sebagai "anak emas” Pak Harto. Setiap kebijakan politik dan gerak-gerik elit Muhammadiyah di pemerintahan selalu dicurigai dan dipandang sebagai upaya untuk membonsai dan menghancurkan aset-aset kultural dan non-kultural NU.
Misalnya, dulu, waktu Menag Malik Fadjar memelopori pendirian STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) untuk kampus-kampus di daerah-daerah yang selama ini menjadi cabang IAIN (Institut Agama Islam Negeri), ia dianggap atau dituduh sedang memperluas ekspansi Muhammadiyah di satu sisi dan melakukan gerakan pengebirian NU di IAIN.
Kecurigaan itu masih berlanjut hingga kini. Belum lama ini sempat "geger” di lingkungan NU ketika Mendikbud Muhadjir Effendy yang Muhammadiyah merencanakan kebijakan "Full Day School”. Oleh NU, kebijakan ini dipandang sebagai upaya dan "siasat licik” Muhammadiyah untuk menggembosi dan melenyapkan peran NU di masyarakat serta mematikan institusi pendidikan madrasah diniyah dan pondok pesantren yang dikelola NU.
Ketegangan NU-Muhammadiyah pun kembali mencuat. Nada-nada miring dan suara-suara sumbang saling mengejek antar fanatikus kedua ormas ini pun tak terhindarkan. Untung Presiden Joko Widodo menyikapi rancangan kebijakan dan fenomena ini dengan cukup arif dan bijak sehingga tidak menimbulkan gejolak yang berarti dan berlebihan.
Sebetulnya "era bulan madu” antara NU dan Muhammadiyah sempat terjadi, yakni ketika Amin Rais dulu, tahun 1999, mendukung dan memelopori pencalonan Gus Dur sebagai Presiden RI menggantikan B.J. Habibie. Warga NU dulu senang sekali begitu melihat Amin Rais sowan ke kiai-kiai sepuh NU seperti KH Abdullah Faqih di Tuban atau KH Abdullah Abbas di Cirebon untuk "meminta restu” dan dukungan mereka atas pencalonan Gus Dur sebagai Presiden RI. Di hadapan para kiai sepuh NU, Amin Rais juga berjanji untuk menjaga dan mengawal pemerintahan Gus Dur.
Tetapi era bulan madu itu ternyata berlangsung sangat singkat karena Amin Rais kemudian menelikung dan menyeponsori gerakan politik pendongkelan Gus Dur hingga ia turun dari kursi kepresidenan tahun 2002. Dendam kesumat NU terhadap Muhammadiyah pun kembali kambuh dan membuncah.
Dunia Hitam Putih Ali Khamenei
Ayatollah Ali Khamenei adalah loyalis garis keras konsep Wilayatul Faqih yang diwariskan Khomeini. Demi gagasan itu pula ia rela membunuh ribuan aktivis dan memenjarakan ulama-ulama besar Syiah yang tidak sependapat.
Foto: azzahra
Mullah Tak Dikenal
Di hari-hari revolusi Iran melawan Syah Reza Pahlevi, seorang jurnalis kiri bernama Houshang Asadi mendapati dirinya menempati sebuah sel kecil bersama seorang mullah tak dikenal di penjara Moshtarek. Mereka lalu menjalin persahabatan. Ketika Asadi dibebaskan, keduanya menangis sembari berpelukan. Sang Mullah pun berbisik "jika Islam berkuasa, tidak ada lagi tangisan kaum tak berdosa."
Foto: Inn.ir
Pengkhianatan Seorang Teman
Dua puluh tahun kemudian mullah yang sama memerintahkan penangkapan Asadi lantaran dugaan pengkhianatan. Jurnalis itu disiksa dan diancam hukuman mati karena bekerja untuk koran kiri dan berideologi Komunis. Nama sang mullah adalah Sayid Ali Hosseini Khamenei, aktivis revolusi yang kemudian menjadi presiden dan kelak diangkat sebagai pemimpin spiritual Iran.
Foto: Getty Images/AFP/A. Joe
Loyalitas Absolut
Penggalan kisah dari Moshtarek itu menggambarkan sosok Khamenei yang loyal dan berani melakukan apapun untuk melindungi warisan mentornya, Ayatollah Khomeini. Ia tidak hanya memerintahkan pembunuhan terhadap ribuan aktivis dan politisi, tetapi juga berani melucuti kekuasaan ulama-ulama besar Syiah lain yang berani mempertanyakan legitimitas kekuasaannya.
Foto: Fararu.com
Pertikaian Para Ulama
Padahal Khamenei bukan pilihan pertama Khomeini buat menjaga warisan revolusi berupa sistem kekuasaan para Mujtahid, Wilayatul Faqih. Status tersebut awalnya diserahkan pada Ayatollah Hussein-Ali Montazeri. Terlepas dari loyalitasnya, Khamenei memiliki kelemahan besar. Dia bukan seorang Ayatollah dan sebabnya tidak memenuhi syarat mengemban otoritas tertinggi dalam Islam.
Foto: www.amontazeri.com
Roda Nasib Berputar
Karir Khamenei berubah ketika Montazeri mulai mengritik tindak-tanduk Khomeini memberangus suara-suara yang bertentangan. Puncaknya adalah ketika sang pemimpin revolusi memerintahkan Dewan Ulama Qum mencabut gelar keagamaan Ayatollah Kazem Shariatmadari dan menutup sekolahnya lantaran mengritik penyanderaan pegawai Kedutaan Besar AS di Teheran. Sejak itu Montazeri menjadi musuh Wilayatul Faqih
Foto: Khamenei.ir
Tahta Tanpa Gelar
Dinamika ini menempatkan Khamanei, seorang Mujtahid kelas menengah yang lebih sering berjuang melawan rejim Pahlevi ketimbang mempelajari ilmu agama, dalam posisi teratas daftar pewaris Khomeini. Ia buru-buru dideklarasikan sebagai pemimpin spiritual tanpa pernah mengenyam pendidikan tinggi untuk menjadi Ayatollah. Gelar itu baru disematkan padanya setelah beberapa tahun berkuasa
Foto: Nahand.info
Gurita Kekuasaan Khamenei
Sejumlah pengamat meyakini, Khamenei dipilih lantaran dianggap mudah dikendalikan. Kendati cerdas dan memiliki riwayat panjang revolusi, dia dinilai tidak memiliki karisma seorang Khomeini. Namun sang imam perlahan membangun basis kekuasaan absolut dengan menggandeng Garda Revolusi dan menempatkan perwakilan di hampir setiap lembaga penting pemerintah.
Foto: Khamenei.ir
Melawan Ulama
Serupa Khomeini, ia juga aktif memberangus suara-suara yang bertentangan, bahkan memenjarakan sejumlah ulama besar yang tidak mendukung konsep Wilayatul Faqih seperti Ayatollah al-Shirazi, Hassan Tabatabaei Qomi, Montazeri dan Ayatollah Jooybari. Sebab itu pula Wilayatul Faqih gagal diterapkan di Irak lantaran ditolak oleh Ayatollah Al-Sistani, ulama Syiah paling berpengaruh di negeri jiran.
Foto: Jamnews
Pertikaian Sunyi Kekuasaan Absolut
Kini Khamenei berada di ujung usia. Berulangkali dia menghilang dari hadapan publik dan dirawat di rumah sakit. Sang pemimpin besar digosipkan menderita kanker prostata. Panggung politik Iran pun tenggelam dalam pertikaian sunyi merebutkan kekuasaan absolut. Khamenei yang belum siap membawa Iran keluar dari gaung revolusi diyakini akan menunjuk sosok yang juga loyal pada warisan Khomeini.
Jadi, sekali lagi, kerukunan NU dan Muhammadiyah itu hanya mitos belaka. Atau, kalau pun ada, kerukunan itu hanya terjadi di level elit tertentu saja (misalnya "komunitas akademik” atau sejumput "petinggi ormas”) yang sangat terbatas. Masyarakat NU dan Muhammadiyah secara umum tetap sulit untuk rukun dan bersahabat laksana Upin-Ipin. Mereka lebih tepat diibaratkan seperti Tom dan Jerry yang saling memanfaatkan peluang, mengintai kelengahan, dan saling menjegal saat sang lawan sedang lalai atau sedang dalam posisi lemah dan tak berdaya.
Sejumlah faktor perbedaan persepsi atas praktik-praktik kultural-ritual-keagamaan yang begitu fundamental serta sejarah sosial-kepolitikan yang begitu memilukan antara NU dan Muhammadiyah tampaknya membuat keduanya sulit untuk bersatu-padu dan guyup-rukun membangun bangsa dan negara.
Meskipun relasi NU-Muhamamdiyah tampak suram, bukan berarti tidak ada secercah harapan bagi kedua ormas Islam utama di Tanah Air ini untuk membangun "rumah Indonesia” yang lebih baik, hebat, bermartabat dan "berkemajuan” di kemudian hari dengan tetap memperhatikan khazanah, nilai-nilai tradisi dan kebudayaan lokal warisan leluhur bangsa. Kalau ada komitmen dan upaya serius dari kedua ormas ini untuk membangun Indonesia sebagai "rumah bersama” bagi semua kelompok etnis dan agama, maka seperti slogan Adidas, "Impossible is Nothing”. Semoga bermanfaat.
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Inilah Masjid Liberal Pertama di Jerman
Imamnya seorang perempuan dan tak berjilbab. Di masjid ini, laki laki dan perempuan salat di saf yang sama. Sunni, Syiah, anggota komunitas LGTBQ - kesemuanya diterima di masjid ini tanpa prasangka.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Dibidani pengacara kelahiran Turki
Seorang pengacara kelahiran Turki. Seyran Ates meresmikan "Masjid Liberal" ini di Berlin, Jerman. Dia mendeklarasikan diri sebagai imam perempuan di masjid ini. Berlatar belakang profesi pengacara, dia bertahun-tahun berjuang melawan kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan demi kehormatan dan pernikahan paksa.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Membantu kaum perempuan tertindas
Keluarga Seyran Ates pindah dari Turki ke Jerman saat ia berusia 6 tahun. Dia kuliah jurusan hukum dan bekerja sebagai pengacara di Berlin. Dengan dana sendiri, dia berhasil membuka kantor konsultasi untuk perempuan Turki. Seyran Ates yang kini berusia 54 tahun menjalani pendidikan sebagai imam. Tahun 2017, Seyran mewujudkan impiannya, membuka sebuah masjid di Berlin.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Stache
Potret keberagaman
Nama masjid itu: "Masjid Ibn-Ruschd-Goethe". Nama tersebut diambil dari nama pemikir Arab Ibnu Rusyd, yang juga dikenal sebagai Averroes (1126 - 1198) dan nama pemikir dan penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe. Lokasi masjid berada di lantai tiga gedung Gereja Protestan Sankt-Johannes-Kirche di kawasan Moabit, di ibukota Jerman. Di dekatnya ada rumah makan India dan Vietnam.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Stache
Tak ada yang bernikab ataupun burka
Meski terbuka untuk umum, Islam yang dipraktikkan di Masjid Ibn-Ruschd-Goethe menurut pendirinya adalah Islam dengan pendekatan "historis-kritis". Tidak nampak, perempuan yang datang dengan nikab atau burka ke masjid ini. Menurut imam di masjid ini, nikab atau burka tidak banyak hubungannya dengan agama, melainkan lebih pada suatu pernyataan politis.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
Dialog antar agama
Menurut Seyran, Islam harus mampu memperbarui dirinya. Karena makin banyak umat muslim yang kini merindukan Islam yang damai, yang memelihara dialog dengan agama-agama lain. Namun masjid dengan pemahaman semacam itu masih terlalu sedikit di Eropa.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Beribadah berdampingan
Tak seperti masjid pada umumnya, di sini laki-laki dan perempuan beribadah berdampingan. Imam perempuannya pun tidak mengenakan jilbab. Sunni, Syiah, anggota komunitas LGTBQ - semuanya diterima bersholat Jum'at di Masjid Ibn Rusyd-Goethe di Berlin.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
Dihujani kecaman
Begitu dibuka Juni 2017, keberadaan masjid ini langsung mendapat gempuran kritik. Surat kabar pro-pemerintah Turki, Sabah menyebutnya "tidak masuk akal" bahwa peribadatan berlangsung di sebuah gereja. Harian Pakistan mengkritik fakta bahwa perempuan berdampingan dalam satu saf dengan pria saat menjalankan sholat.
Foto: DW/S.Kinkartz
Siapa yang menjamin keamanan?
Pada hari pembukaan masjid, beberapa orang khawatir bahwa masjid tersebut dapat menarik para ekstrimis. Untuk menjaga keamanan, pengurus masjid menjalin kontak erat dengan polisi dan kantor jawatan kriminal negara bagian.
Foto: DW/S.Kinkartz
‘Salam, Ibu Imam‘
Imam Seyran Ates merupakan penulis buku "Selam, Frau Imamin" (Salam, Ibu Imam). Buku itu berisi kritik terhadap gejala radikalisme Islam di Jerman. Di buku itu, Seyran juga mengingatkan makna kebebasan beragama, kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan dan hak atas orientasi seksual. Ironisnya, radikalisme berkembang, tapi umat Muslim berhaluan liberal tidak memiliki tempat di Jerman.