Banyak orang menganggap bahwa jamaah Nahdlatul Ulama dan pengikut Muhammadiyah itu selalu rukun dan kompak dalam menjaga keislaman yang moderat, merawat ke-Bhineka Tunggal Ika-an. Ikuti opini Sumanto al Qurtuby.
Iklan
Banyak orang (baik Muslim maupun bukan, baik elit maupun awam, baik masyarakat Indonesia maupun pengamat asing) menganggap bahwa jamaah Nahdlatul Ulama (NU) yang sering disebut "Nahdliyyin” dan pengikut Muhammadiyah itu selalu rukun, harmonis alias kompak dalam menjaga keislaman yang moderat, merawat ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, menjaga konstitusi dan ideologi negara, serta mempertahankan keutuhan bangsa dan negara dari serbuan ideologi Islamisme (baik lokal maupun transnasional) yang mencoba mengubah dan mentransformasi Indonesia menjadi "negara Islam”, Khilafah, dan sejenisnya.
Bagi saya anggapan, asumsi dan penilaian itu hanya "separuh benar”. Realitasnya, wong NU dan Muhammadiyah itu sulit akur. Susah buat mereka untuk hidup rukun dan harmoni. Berat buat jamaah kedua ormas ini untuk bersatu padu dan membaur dalam kebersamaan dan pertemanan sejati.
Dalam sejarahnya, NU (berdiri tahun 1926) dan Muhammadiyah (berdiri 1912) ini memang lebih banyak berantem daripada berteman sehingga sulit buat pengikut kedua ormas ini untuk rekonsiliasi dan membangun persahabatan yang tulus dan permanen. Luka-luka sejarah masa silam yang begitu menganga rasanya sulit untuk dipulihkan.
Bahwa ada sejumlah kelompok elit dari kedua ormas ini yang sangat rukun memang benar. Bahwa ada sejumlah akademisi dari kedua ormas ini yang menjalin pertemanan genuine memang betul. Bahwa ada sejumlah aktivis dari kedua ormas ini yang bahu-membahu bekerja sama untuk pemberdayaan masyarakat memang tidak bisa dipungkiri. Saya sendiri, sebagai wong NU, mempunyai banyak teman dari kalangan Muhammadiyah.
Tetapi sekali lagi, mayoritas pengikut kedua ormas ini (apalagi di tingkat akar-rumput) susah sekali bersatu menjalin persahabatan sejati apalagi permanen guna membangun peradaban Islam dan bangsa yang gemilang. Hal itu karena sejatinya pengikut kedua ormas ini lebih mirip Tom dan Jerry atau air dan minyak yang hampir-hampir sulit untuk disatukan. Bagi para fanatikus NU dan Muhammadiyah, mereka bahkan tidak mau kawin-mawin karena dianggap "pamali” selain gengsi.
Meskipun para pendiri kedua ormas ini seperti KH Hasyim Asyari (NU) dan KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) konon pernah berguru pada ulama yang sama (misalnya Kiai Sholeh Darat Semarang yang dianggap sebagai guru para kiai dan ulama di "Hindia Belanda”) dan sejumlah "ulama Nusantara” di Mekkah di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, tetapi itu tidak menjadikan pengikut kedua ormas Islam ini secara otomatis akur dan bersatu.
Ada Masjid Kapal 'Nabi Nuh' di Semarang
Sebuah masjid unik berbentuk kapal menarik perhatian pengunjung di Semarang. Masyarakat menyebutnya mirip seperti bahtera nabi Nuh.
Foto: Imago
Bagaikan bahtera Nabi Nuh
Masjid ini disebut "masjid kapal" karena bentuknya seperti kapal. Orang-orang membayangkan bahtera Nabi Nuh yang menyelamatkan pengikutnya berikut makhluk hidup lainnya, saat diterjang banjir bandang. Masjid tersebut terletak di sebuah perkampungan dekat hutan di Kelurahan Podorejo, Kecamatan Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah.
Foto: Imago
Lengkap dengan buritan dan haluan
Pendirinya, seorang kyai bernama Achmad. Luas masjid ini 2.500 meter persegi. Bagaikan bahtera, masjid ini dilengkapi semacam buritan dan haluan.
Foto: Imago
Jendelanya puluhan
Ada enam pintu utama dalam masjid tersebut, sementara jumlah jendelanya mencapai lebih dari 70 buah dengan model bagai jendela kapal. Nantinya, warga juga bisa menggunakan sarana di masjid untuk pertemuan, hajatan, atau bahkan resepsi perkawinan.
Foto: Imago
Dibangun tiga lantai
Masjid ini berlantai tiga. Lantai pertama dapat dimanfaatkan sebagai ruang pertemuan, tempat wudu, dan toilet. Lantai duanya berfungsi sebagai masjid, sementara lantai tiganya bisa dipakai untuk kegiatan mengajar, perpustakaan dan balai karya. Klinik dan asrama putri bakal tersedia pula di kompleks masjid ini.
Foto: Imago
Pemandangan hijau
Ke depan, masjid ini juga bisa menjadi salah satu lokasi wisata karena keunikannya. Masjid ini berada di tengah hutan dan sawah. Menteri Pariwisata Arief Yahya tak ketinggalan turut mendorong warga mengunjungi masjid tersebut, agar semakin dikenal masyarakat. Ed: ap/vlz (berbagai sumber)
Foto: Imago
5 foto1 | 5
Dendam-kesumat NU-Muhammadiyah?
Ada sejumlah ungkapan yang sudah beredar luas di kalangan NU sehingga menjadi "rahasia umum” yang menunjukkan konflik, perseteruan, dan dendam-kesumat NU-Muhammadiyah. Meskipun dikemas dengan bahasa guyonan khas NU tetapi isinya melambangkan ketidakharmonisan dan perseteruan kedua ormas ini.
Misalnya, ungkapan "Lebih baik berteman dengan Kristen ketimbang Muhammadiyah”. Kenapa begitu? Karena berteman dengan Kristen jauh lebih aman daripada berteman dengan Muhammadiyah. Kalau berteman dengan Muhammadiyah, bukan hanya sandal dan speaker masjid saja yang hilang tetapi masjidnya juga ikut hilang. Maksudnya, Muhammadiyah dipandang sebagai "ormas rakus dan maling” yang suka mengakui, mengklaim, mengubah atau mengalihnamakan properti milik NU, khususnya mushalla dan masjid-masjid, menjadi miliknya.
Ada lagi ungkapan: "Alhamdulilah di daerah kami semua atau mayoritas penduduk memeluk agama Islam, hanya sedikit saja yang Muhammadiyah”. Ini adalah jawaban wong NU ketika ditanya kiai tentang perkembangan agama Islam di wilayahnya. Oleh para fanatikus NU, Muhammadiyah dipandang sebagai "setengah Islam”.
Begini penjelasannya. Ada sejumlah faktor sosial-kultural-keagamaan dan kepolitikan dalam sejarah relasi NU-Muhammadiyah yang sangat akut sehingga menyulitkan kedua belah pihak untuk pulih dan damai.
Dalam sejarahnya, Muhammadiyah (selain Persis) adalah ormas Islam yang paling gencar menyerang tradisi, budaya, amalan, dan praktik-praktik ritual-keagamaan lokal yang dilakukan warga NU. Muhammadiyah memerangi semua itu karena dianggap bisa "menyekutukan Allah” alias menggelincirkan umat Islam ke praktik syirik, selain diyakini bisa menodai kemurnian Islam dan keaslian akidah Islam.
Dulu (dan sayup-sayup masih terdengar hingga kini), sangat populer istilah TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat), yaitu tiga jenis "penyakit” umat Islam yang diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Muhammadiyah dan dipandang bisa menodai kemurnian ajaran dan doktrin keislaman.
Karena dipandang sebagai bagian dari "penyakit TBC” itulah, Muhammadiyah selama berpuluh-puluh tahun dengan derasnya mengkritik dan menyerang berbagai praktik ritual-keagamaan yang dipraktikkan dan dilestarikan warga NU seperti tahlilan, sedekahan, kenduren, berjanjen (barzanji), dzibaan, dalailan, manaqiban, shalawatan, muludan, ziarah kubur, syuronan, qunut, sufisme, sebutan "sayyid” untuk Nabi Muhammad, dan masih banyak lagi. Belakangan saja, ada sejumlah warga Muhammadiyah yang bersedia tahlilan, shalawatan, atau ziarah kubur.
Muhammadiyah memang ormas puritan. Karena itu bagi warga NU, Muhammadiyah adalah 11-12 dengan kaum "sawah” (Salafi Wahabi) yang dinilai telah merusak tatanan, tradisi dan budaya masyarakat Islam lokal di Indonesia.
Meskipun sebetulnya yang mereka perdebatkan dan sengketakan itu adalah "persoalan remeh-temeh” (istilahnya "furu'iyyah”) tetapi oleh keduanya dianggap sangat mendasar, fundamental, dan prinsipil, karena itulah konflik dan ketegangan antar-keduanya tidak bisa dielakkan.
Pendirian NU sendiri sebetulnya karena dilatari oleh kemauan kuat para kiai dan ulama pesantren untuk menjaga dan melestarikan aneka tradisi dan kebudayaan Islam serta tradisi bermazhab yang selama ini dipraktikkan oleh komunitas santri dan masyarakat Muslim pendesaan yang menjadi basis jamaah NU.
Dunia Hitam Putih Ali Khamenei
Ayatollah Ali Khamenei adalah loyalis garis keras konsep Wilayatul Faqih yang diwariskan Khomeini. Demi gagasan itu pula ia rela membunuh ribuan aktivis dan memenjarakan ulama-ulama besar Syiah yang tidak sependapat.
Foto: azzahra
Mullah Tak Dikenal
Di hari-hari revolusi Iran melawan Syah Reza Pahlevi, seorang jurnalis kiri bernama Houshang Asadi mendapati dirinya menempati sebuah sel kecil bersama seorang mullah tak dikenal di penjara Moshtarek. Mereka lalu menjalin persahabatan. Ketika Asadi dibebaskan, keduanya menangis sembari berpelukan. Sang Mullah pun berbisik "jika Islam berkuasa, tidak ada lagi tangisan kaum tak berdosa."
Foto: Inn.ir
Pengkhianatan Seorang Teman
Dua puluh tahun kemudian mullah yang sama memerintahkan penangkapan Asadi lantaran dugaan pengkhianatan. Jurnalis itu disiksa dan diancam hukuman mati karena bekerja untuk koran kiri dan berideologi Komunis. Nama sang mullah adalah Sayid Ali Hosseini Khamenei, aktivis revolusi yang kemudian menjadi presiden dan kelak diangkat sebagai pemimpin spiritual Iran.
Foto: Getty Images/AFP/A. Joe
Loyalitas Absolut
Penggalan kisah dari Moshtarek itu menggambarkan sosok Khamenei yang loyal dan berani melakukan apapun untuk melindungi warisan mentornya, Ayatollah Khomeini. Ia tidak hanya memerintahkan pembunuhan terhadap ribuan aktivis dan politisi, tetapi juga berani melucuti kekuasaan ulama-ulama besar Syiah lain yang berani mempertanyakan legitimitas kekuasaannya.
Foto: Fararu.com
Pertikaian Para Ulama
Padahal Khamenei bukan pilihan pertama Khomeini buat menjaga warisan revolusi berupa sistem kekuasaan para Mujtahid, Wilayatul Faqih. Status tersebut awalnya diserahkan pada Ayatollah Hussein-Ali Montazeri. Terlepas dari loyalitasnya, Khamenei memiliki kelemahan besar. Dia bukan seorang Ayatollah dan sebabnya tidak memenuhi syarat mengemban otoritas tertinggi dalam Islam.
Foto: www.amontazeri.com
Roda Nasib Berputar
Karir Khamenei berubah ketika Montazeri mulai mengritik tindak-tanduk Khomeini memberangus suara-suara yang bertentangan. Puncaknya adalah ketika sang pemimpin revolusi memerintahkan Dewan Ulama Qum mencabut gelar keagamaan Ayatollah Kazem Shariatmadari dan menutup sekolahnya lantaran mengritik penyanderaan pegawai Kedutaan Besar AS di Teheran. Sejak itu Montazeri menjadi musuh Wilayatul Faqih
Foto: Khamenei.ir
Tahta Tanpa Gelar
Dinamika ini menempatkan Khamanei, seorang Mujtahid kelas menengah yang lebih sering berjuang melawan rejim Pahlevi ketimbang mempelajari ilmu agama, dalam posisi teratas daftar pewaris Khomeini. Ia buru-buru dideklarasikan sebagai pemimpin spiritual tanpa pernah mengenyam pendidikan tinggi untuk menjadi Ayatollah. Gelar itu baru disematkan padanya setelah beberapa tahun berkuasa
Foto: Nahand.info
Gurita Kekuasaan Khamenei
Sejumlah pengamat meyakini, Khamenei dipilih lantaran dianggap mudah dikendalikan. Kendati cerdas dan memiliki riwayat panjang revolusi, dia dinilai tidak memiliki karisma seorang Khomeini. Namun sang imam perlahan membangun basis kekuasaan absolut dengan menggandeng Garda Revolusi dan menempatkan perwakilan di hampir setiap lembaga penting pemerintah.
Foto: Khamenei.ir
Melawan Ulama
Serupa Khomeini, ia juga aktif memberangus suara-suara yang bertentangan, bahkan memenjarakan sejumlah ulama besar yang tidak mendukung konsep Wilayatul Faqih seperti Ayatollah al-Shirazi, Hassan Tabatabaei Qomi, Montazeri dan Ayatollah Jooybari. Sebab itu pula Wilayatul Faqih gagal diterapkan di Irak lantaran ditolak oleh Ayatollah Al-Sistani, ulama Syiah paling berpengaruh di negeri jiran.
Foto: Jamnews
Pertikaian Sunyi Kekuasaan Absolut
Kini Khamenei berada di ujung usia. Berulangkali dia menghilang dari hadapan publik dan dirawat di rumah sakit. Sang pemimpin besar digosipkan menderita kanker prostata. Panggung politik Iran pun tenggelam dalam pertikaian sunyi merebutkan kekuasaan absolut. Khamenei yang belum siap membawa Iran keluar dari gaung revolusi diyakini akan menunjuk sosok yang juga loyal pada warisan Khomeini.
Sementara pendirian Muhammadiyah, antara lain, juga dilatari untuk melakukan reformasi dan modernisasi umat Islam dengan jalan puritanisasi pemikiran dan praktik keislaman. Karena dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran modernis-reformis para ulama di Mesir seperti Jamaludin Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Rida, Muhammadiyah gencar mengkampanyekan pentingnya atau wajibnya bagi umat Islam untuk berpegang teguh hanya pada Al-Quran dan Hadis saja.
Lagi-lagi, pernyataan ini secara terang-benderang menyerang NU yang jelas-jelas mengikuti tradisi bermazhab. Kampanye Muhammadiyah tentang "kembali pada Al-Qur'an dan Hadis” jelas-jelas berlawanan dengan pemahaman keislaman dan praktik keagamaan warga NU yang bukan hanya menjadikan Al-Qur'an dan Hadis (dan Sunah Nabi) sebagai sumber hukum dan rujukan amalan keislaman tetapi juga sumber-sumber lain seperti ‘urf atau adat, qiyas (analogi), istihsan serta berbagai aqwal (perkataan) para ulama dan fuqaha (ahli hukum Islam), khususnya para pendiri mazhab hukum Islam dalam lingkup Sunni (seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal), yang tersimpan dalam ribuan kitab kuning yang sayangnya tidak diapresiasi oleh Muhammadiyah, yang oleh Nahdliyyin dipandang sebagai ormas "anti kitab kuning”.
Selanjutnya, Muhammadiyah juga menyerang dengan sengit praktik-praktik sufisme (tasawuf) atau mistisisme dan dunia tarekat yang dianggap sebagai "amalan klenik” yang tidak rasional. Padahal, sufisme, tarekat dan NU hampir-hampir atau nyaris tak terpisahkan karena para kiai dan warga Nahdliyyin hampir-hampir bisa dipastikan adalah para pengikut tasawuf dan organisasi tarekat tertentu. Karena dunia tasawuf dan tarekat sudah menjadi bagian integral NU, maka "ormas tradisional” inipun memiliki lembaga khusus yang mewadahi berbagai aliran tarekat bernama Jam'iyah Ahlil Thariqah al-Mu'tabarah al-Nahdliyyah (JATMAN) yang konon sejauh ini ada 45 aliran tarekat yang diakui eksistensi dan keabsahannya oleh NU.
Masjid Raden Saleh: Digotong Hingga Jadi Cagar Budaya
Berawal dari surau sederhana di Cikini, masjid yang pembangunannya diprakarsai pelukis Raden Saleh menyimpan sejarah panjang. Mulai dari penggotongan hingga persengketaan, sampai akhirnya menjadi cagar budaya.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Berawal dari surau sederhana
1860, Raden Saleh dan masyarakat sekitar membangun surau panggung berdinding gedek dan berbahan kayu di halaman kediaman sang pelukis di Cikini. Setelah sang maestro meninggal dunia, keluarganya menjual tanah tersebut - tidak termasuk surau - ke keluarga Alatas. Putra Alatas yang tak tahu perjanjian tersebut menjualnya ke yayasan rumah sakit Belanda. Pihak yayasan meminta agar surau dipindahkan.
Foto: picture-alliance/ZUMAPRESS.com/D. Husni
Digotong rakyat
Akhirnya terjadilah pemindahan surau ke lokasi lain yang dilakukan masyarakat dengan cara digotong. Bahkan pagarnya pun ikut dipindahkan. Ketika pihak yayasan meminta agar surau dipindahkan lebih jauh, tokoh-tokoh Islam saat itu seperti HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, KH Mas Mansyur, dan lain-lain berkeras mempertahankannya. Mereka berusaha agar Belanda tak mengusik Masjid Jami Al Ma’mur.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Pemugaran masjid
Dengan dukungan bantuan Sarekat Islam, masjid yang mengandung arsitektur Belanda ini kemudian dipugar oleh para tokoh-tokoh Islam seperti Haji Agus Salim, dkk. pada tahun 1932-1934.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Menampung banyak jemaat
Konflik dengan pihak yayasan rumah sakit diselesaikan dan sertifikat diserahkan kepada pengurus masjid. Masjid dengan dominasi warna hijau dan putih itu terdiri dari dua lantai, sehingga mampu menampung banyak jemaat.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Cagar budaya
Masjid ini kemudian dijadikan bangunan Cagar Budaya oleh Gubernur DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 9 Tahun 1999. Masjid tersebut kemudian juga dikenal dengan nama Masjid Cieh Raden Saleh atau Masjid Jami Cikini Editor : ap/as (berbagai sumber)
Foto: picture-alliance/ZUMAPRESS.com/D. Husni
5 foto1 | 5
Sejumlah perbedaan tafsir, pandangan, pemahaman, dan tindakan yang menyangkut masalah-masalah sosial-kultural-ritual-keagamaan inilah, antara lain, yang telah membuat NU dan Muhammadiyah itu sulit berdamai. Muhammadiyah menyebut NU sebagai ormas "tradisional, kolot, udik, kampungan, ndeso, dan sarungan” yang tidak melek pendidikan, anti-modernisasi, miskin wawasan, kontra ijtihad, hobi taklid, dan anti perubahan sosial.
Sementara NU menilaiMuhammadiyah sebagai ormas sok modern, keminter, kemajon, sok berpendidikan, sok intelek, sokngota, meskipun sejatinya pengikut Muhammadiyah adalah kumpulan orang-orang ‘bodoh' karena tidak bisa membaca "Arab gundul” dan kitab kuning.
Sentimen dan persepsi negatif warga NU terhadap Muhammadiyah dan juga sebaliknya tidak banyak berubah hingga kini. Meskipun sebagian dari mereka bisa saja duduk bersama dan bercanda ria tetapi dalam hati dan batin mereka sangat merana. Ini baru faktor sosial-kultural-keagamaan, belum lagi faktor kepolitikan yang membuat jarak keduanya semakin menganga sehingga sulit disatukan dan dirukunkan (bersambung).
Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Inilah Masjid Liberal Pertama di Jerman
Imamnya seorang perempuan dan tak berjilbab. Di masjid ini, laki laki dan perempuan salat di saf yang sama. Sunni, Syiah, anggota komunitas LGTBQ - kesemuanya diterima di masjid ini tanpa prasangka.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Dibidani pengacara kelahiran Turki
Seorang pengacara kelahiran Turki. Seyran Ates meresmikan "Masjid Liberal" ini di Berlin, Jerman. Dia mendeklarasikan diri sebagai imam perempuan di masjid ini. Berlatar belakang profesi pengacara, dia bertahun-tahun berjuang melawan kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan demi kehormatan dan pernikahan paksa.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Membantu kaum perempuan tertindas
Keluarga Seyran Ates pindah dari Turki ke Jerman saat ia berusia 6 tahun. Dia kuliah jurusan hukum dan bekerja sebagai pengacara di Berlin. Dengan dana sendiri, dia berhasil membuka kantor konsultasi untuk perempuan Turki. Seyran Ates yang kini berusia 54 tahun menjalani pendidikan sebagai imam. Tahun 2017, Seyran mewujudkan impiannya, membuka sebuah masjid di Berlin.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Stache
Potret keberagaman
Nama masjid itu: "Masjid Ibn-Ruschd-Goethe". Nama tersebut diambil dari nama pemikir Arab Ibnu Rusyd, yang juga dikenal sebagai Averroes (1126 - 1198) dan nama pemikir dan penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe. Lokasi masjid berada di lantai tiga gedung Gereja Protestan Sankt-Johannes-Kirche di kawasan Moabit, di ibukota Jerman. Di dekatnya ada rumah makan India dan Vietnam.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Stache
Tak ada yang bernikab ataupun burka
Meski terbuka untuk umum, Islam yang dipraktikkan di Masjid Ibn-Ruschd-Goethe menurut pendirinya adalah Islam dengan pendekatan "historis-kritis". Tidak nampak, perempuan yang datang dengan nikab atau burka ke masjid ini. Menurut imam di masjid ini, nikab atau burka tidak banyak hubungannya dengan agama, melainkan lebih pada suatu pernyataan politis.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
Dialog antar agama
Menurut Seyran, Islam harus mampu memperbarui dirinya. Karena makin banyak umat muslim yang kini merindukan Islam yang damai, yang memelihara dialog dengan agama-agama lain. Namun masjid dengan pemahaman semacam itu masih terlalu sedikit di Eropa.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Beribadah berdampingan
Tak seperti masjid pada umumnya, di sini laki-laki dan perempuan beribadah berdampingan. Imam perempuannya pun tidak mengenakan jilbab. Sunni, Syiah, anggota komunitas LGTBQ - semuanya diterima bersholat Jum'at di Masjid Ibn Rusyd-Goethe di Berlin.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
Dihujani kecaman
Begitu dibuka Juni 2017, keberadaan masjid ini langsung mendapat gempuran kritik. Surat kabar pro-pemerintah Turki, Sabah menyebutnya "tidak masuk akal" bahwa peribadatan berlangsung di sebuah gereja. Harian Pakistan mengkritik fakta bahwa perempuan berdampingan dalam satu saf dengan pria saat menjalankan sholat.
Foto: DW/S.Kinkartz
Siapa yang menjamin keamanan?
Pada hari pembukaan masjid, beberapa orang khawatir bahwa masjid tersebut dapat menarik para ekstrimis. Untuk menjaga keamanan, pengurus masjid menjalin kontak erat dengan polisi dan kantor jawatan kriminal negara bagian.
Foto: DW/S.Kinkartz
‘Salam, Ibu Imam‘
Imam Seyran Ates merupakan penulis buku "Selam, Frau Imamin" (Salam, Ibu Imam). Buku itu berisi kritik terhadap gejala radikalisme Islam di Jerman. Di buku itu, Seyran juga mengingatkan makna kebebasan beragama, kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan dan hak atas orientasi seksual. Ironisnya, radikalisme berkembang, tapi umat Muslim berhaluan liberal tidak memiliki tempat di Jerman.