Untuk menghasilkan karya, dibutuhkan stamina. Di antaranya lewat olahraga, sebagaimana yang rajin dilakukan Pramoedya Ananta Toer maupun Haruki Murakami. Opini Anton Kurnia.
Iklan
Salah satu mitos tentang penulis adalah bahwa para penulis itu sejenis makhluk yang kesepian, bohemian, penyendiri, dan tidak suka beraktivitas fisik semacam berolahraga. Namun, pada kenyataannya, tak sedikit penulis yang menyimpang dari asumsi semacam itu. Sebut misalnya mendiang Yukio Mishima yang gemar berolahraga bela diri.
Bicara tentang penulis yang suka berolahraga, saya teringat almarhum Pramoedya Ananta Toer, novelis besar kita yang berusia panjang dan amat produktif berkarya. Pada pertemuan pertama saya dengan Bung Pram—demikian dia biasa disapa oleh anak-anak muda—di rumah lamanya di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur, 20 tahun silam, dia menepuk keras-keras pundak saya yang waktu itu kurus kerempeng saat pamit pulang.
Saya kaget dan nyaris kehilangan keseimbangan, sedangkan dia tertawa terkekeh. "Makanya, rajin olahraga. Saya setua ini setiap pagi berolahraga mencangkul di kebun,” katanya yang kala itu telah berusia lewat 70 tahun, tapi masih tampak tegap dan sehat. Meski seorang perokok berat, Pramoedya rajin "olah badan”—satu kebiasaan yang dia lakukan sejak menjadi tahanan politik Orde Baru di Pulau Buru pada 1970-an.
Antara Menulis dan Berlari
Penulis Jepang masa kini yang berkali-kali diunggulkan di bursa taruhan sebagai pemenang Nobel sastra dan karya-karyanya laris manis, Haruki Murakami, juga dikenal sebagai penggemar olahraga. Melalui buku nonfiksinya yang bisa disebut juga sebagai memoar, What I Talk About When I Talk About Running, Murakami mengungkapkan kegemarannya terhadap olahraga lari. Dia bahkan menyatakan ada keterkaitan antara aktivitas menulis dan berlari. Namun, menurut Murakami yang menyebut diri sebagai "novelis dan pelari”, kaitan itu dalam beberapa hal bisa disebut sebagai semacam hubungan spiritual yang barangkali hanya bisa dipahami oleh penulis yang pelari atau pelari yang penulis.
Menurut Murakami yang novel-novelnya diterjemahkan ke dalam 50 bahasa, mendapat apresiasi baik dari para kritikus, bahkan menyabet berbagai penghargaan dan berkali-kali dicalonkan meraih Hadiah Nobel Sastra, yang diperlukan dalam menulis mula-mula adalah bakat. Setelah itu, yang penting adalah kemampuan untuk fokus dan daya tahan. Dua hal terakhir ini juga amat diperlukan dalam berlari, terutama lari jarak jauh. Murakami sendiri adalah seorang pelari maraton yang berpengalaman mengikuti lomba lari jarak jauh selama puluhan tahun.
Murakami bisa dibilang penulis bernapas panjang yang telah menerbitkan banyak novel, termasuk Norwegian Wood yang terjual jutaan eksemplar. Dalam hal ini kemampuan berlarinya berbanding lurus dengan produktivitas dan staminanya dalam menulis.
Menurut Murakami yang kini berusia lanjut, tapi tampak awet muda, sebagian besar cara menulis fiksi dia pelajari dari berlari setiap hari. Setiap hari rata-rata ia berlari sejauh 10 kilometer. Dengan itu ia bisa menjaga kebugaran fisiknya. Kebugaran fisik penting agar dapat berkonsentrasi dan fokus dalam menulis novel yang terkadang bisa setebal lebih dari 500 halaman. Menurut dia, otot manusia itu seperti binatang pekerja yang cepat belajar, sekaligus ingin hidup sesantai mungkin. Jika tak dilatih, otot-otot bisa melunak, termasuk otot-otot kaki untuk berlari dan otot-otot tangan untuk menulis. Begitu pula otak manusia. Jika tak dilatih dan dibiasakan untuk berpikir seperti dalam aktivitas menulis, dia akan lekas pikun.
Murakami termasuk penulis yang agak terlambat memulai. Dia mulai menulis novel pada awal 30-an. Setelah novel pertamanya terbit, dia menutup kafe miliknya yang sebenarnya sudah cukup sukses lalu menjadi penulis sepenuh masa. Dengan ketekunannya memupuk bakat dan berproses dalam menulis, akhirnya dia berhasil meraih kesuksesan sebagai penulis, baik secara finansial maupun sosial.
Selain penulis produktif, Murakami juga seorang penerjemah yang tekun. Dia telah menerjemahkan dan memublikasikan banyak novel karya para pengarang Amerika dalam bahasa Jepang, di antaranya Scott Fitzgerald dan Raymond Carver. Dari judul kumpulan cerpen Carver yang amat terkenal, yakni What We Talk About When We Talk About Love, Murakami mendapat inspirasi memberi judul memoarnya yang unik ini.
Tempat Kediaman untuk Berseni
Menulis roman, mencari inspirasi bagi komposise. Semua tanpa tekanan finansial, di lingkungan yang istimewa. Rumah seniman di luar negeri menyediakan kesempatan itu.
Foto: Goethe-Institut/Sedat Mehder
Villa Massimo di Roma
Banyak negara menjadi tempat tinggal seniman dari luar negeri. Villa Massimo jadi tempat tinggal pertama seniman Jerman di luar negeri. 1910 pebisnis dan kolektor barang seni asal Berlin, Eduard Arnhold mendirikan rumah dan bengkel artis di sebuah taman besar di luar kota Roma. Panutannya seniman Perancis, yang sejak abad ke-17 sudah ke luar negeri untuk mencari inspirasi.
Foto: picture alliance/DUMONT Bildarchiv
Italia. Negara Kerinduan
Sampai sekarang Italia menjadi negara yang sering dirindukan seniman Jerman. Beasiswa tahunan untuk tinggal di Villa Massimo diperebutkan. 10 seniman dari bidang seni, sastra dan musik dapat mengerjakan karya terbarunya di sini. Antara lain pemenang hadiah Nobel kesusasteraan, Herta Müller dari Jerman pernah berkarya di sana.
Foto: picture-alliance/dpa
Vila Aurora di Los Angeles
Villa Aurora menggambarkan sedikit sejarah pengasingan warga Jerman. Penulis Jerman Lion Feuchtwanger melarikan diri dari rezim NAZI. 1943 ia membeli rumah besar yang perlu renovasi, di atas bukit Pasifik Palisades. Dulu harganya murah. Belakangan, vila itu menjadi tempat bertemu bagi warga Jerman di pengasingan, misalnya penulis Thomas Mann.
Foto: Feuchtwanger Memorial Library, USC
Tampat Bertemu yang Mewah
Sekarang Villa Aurora menjadi bangunan yang dilindungi karena nilai sejarahnya. Sejak 1995 beasiswa untuk tinggal di sana diberikan baik bagi seniman maupun bagi wartawan yang terancam secara politis. Puncak kemewahan yang bisa dialami setiap tahun di vila itu adalah pesta Oscar. Semalam sebelum pemberian hadiah Oscar, di taman vila itu bertemu orang-orang terkenal dari Austria dan Jerman.
Foto: imago/PicturePerfect
Villa Kamogawa di Kyoto
Tempat berdiam bagi seniman ini dibuka tahun 2011 untuk memperingati ulang tahun hubungan Jerman-Jepang yang ke-150. Rumah yang berlokasi di kota Kyoto dikelola Goethe Institut. Seniman yang mendapat beasiswa dipilih berdasarkan minat atas Jepang. Misalnya Doris Dörrie. Sutradara perempuan itu sudah beberapa kali membuat film di Jepang, dan musim gugur mendatang akan jadi tamu di vila Kamogawa.
Foto: Goethe-Institut/Andreas Schiekofer
Villa Tarabya di Istanbul
Vila Tarabya adalah rumah seniman Jerman yang paling baru. Bangunan megah itu berada di bagian kota Istanbul yang pengaruh Eropanya kuat. Letaknya di tepi selat Bosporus. Rumah itu dibangun dengan gaya "Yalis", vila dari kayu, khas Turki. Dulu bangunan itu jadi rumah musim panas duta besar Jerman di jaman kerajaan Utsmaniyah, dan menjadi hadiah bagi raja terakhir Jerman.
Foto: Sedat Mehder
Di Tengah "Musim Semi Turki"
Setelah pertengkaran politik yang berlangsung lama, tahun 2012 akademi kesenian dibuka di Turki. Vila Tarabya hanya terletak 20 km dari lapangan Taksim. Di lokasi itu ribuan warga Turki memprotes politik PM Recep Tayyip Erdogan. Pemerintah kini harus menentukan sikap, dan siapa pun yang bermukim di vila Tarabya dapat ikut mengalami "Musim Semi Turki" .
Foto: Goethe-Institut/Sedat Mehder
7 foto1 | 7
Stamina Menulis
Salah satu yang menarik bagi saya dalam penuturan Murakami tentang aktivitas berlari adalah bagaimana menaklukkan rasa lelah saat berlari jarak jauh dan bagaimana memotivasi diri agar tidak menyerah saat sudah merasa letih dan ingin berhenti sebelum menyelesaikan jarak yang harus ditempuh. Ini bisa diterapkan juga dalam proses kreatif menulis. Tak heran jika Murakami berhasil menulis novel-novel tebal yang tetap memikat hingga ke halaman terakhir, di antaranya novel IQ84 yang di sini terbit dalam 3 jilid dengan ketebalan masing-masing sekitar 700 halaman.
Dia menyatakan, "Menulis novel memiliki kemiripan dengan melakukan maraton penuh. Secara mendasar aku bisa mengatakan bahwa bagi seorang kreator, motivasi adalah hal yang nyata dan tersimpan di dalam diri, bukan hal memiliki bentuk atau tuntutan dari pihak lain.”
Murakami menunjukkan bahwa seorang penulis bisa dan perlu memiliki gaya hidup sehat agar produktif berkarya dan memiliki stamina menulis yang tinggi. Salah satunya dengan giat berolahraga.
Penulis:
Anton Kurnia, penulis dan pembaca, penggemar sepak bola.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Wajah 10 Tahun Nobel Sastra
Kurang perempuan, kurang literatur non Eropa, begitu kritik lama terhadap Akademi Swedia yang menetapkan pemenang Nobel Sastra. Bagaimana wajah pemenang Nobel Sastra selama 10 tahun terakhir?
Foto: AP
"Master" Cerita Pendek
Alice Munro, lahir 1931 di Ontario, Kanada adalah seorang penulis cerita pendek. Kumpulan cerpen pertamanya “Dance of Happy Shades” terbit 1968. Dua karyanya, Lives of girls and women (1994) dan "The Bear Came Over the Mountain” (2006) telah diadaptasi sebagai film. Pemenang Nobel Sastra 2013 disebut sebagai "Master" cerita pendek kontemporer.
Foto: PETER MUHLY/AFP/Getty Images
Realisme Fantastis
Mo Yan yang berarti "diam“ adalah nama pena Guan Moye. Ia lahir sebagai anak petani di propinsi Shandong, Cina. Terobosan dialaminya dengan karya “Red Sorghum” pada tahun 1987. Tim juri mengkategorikan tulisannya sebagai realisme fantastis.
Foto: picture-alliance/dpa
Buah Nominasi Panjang
Sejak 1993 dinominasi untuk Nobel Sastra, penyair Swedia Tomas Gösta Tranströmer memenangkan penghargaan ini pada tahun 2011. Kelahiran 1931, karyanya meliputi 12 kumpulan pusi. Pada usia 23 tahun, ia menerbitkan kumpulan puisi pertamanya "17 dikter“ pada tahun 1954.
Foto: Fredrik Sandberg/AFP/Getty Images
Gambaran Perlawanan Individu
Menulis dalam bahasa Spanyol, Jorge Mario Pedro Vargas Llosa, lahir di Peru pada tahun 1936. Salah seorang novelis dan esais Amerika Latin paling signifikan, namanya melejit tahun 60-an, dengan novel “La ciudad y los perros”. Nobel Sastra 2010 diterimanya untuk penggambaran perlawanan, pemberontakan dan kekalahan individu serta kartografi struktur kekuasaan dalam novel-novelnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Menyorot Kekerasan dan Teror
Herta Müller, penyair dan penulis Jerman keturunan Romania lahir tahun 1953. Ia pemenang Nobel Sastra 2009. Ttulisannya sudah diterjemahkan ke dalam lebih 20 bahasa. Karyanya banyak mengangkat dampak kekerasan dan teror. Novelnya, “Atemschaukel" (2009) bercerita tentang deportasi minoritas Roma-Jerman yang dideportasi ke gulag-gulag di Uni Soviet.
Foto: DW/N. Naumann
Utamakan Bahasa Perancis
Menulis dalam berbagai genre, karya-karya Jean-Marie Gustave Le Clézio meliputi puisi hingga cerita anak-anak yang seluruhnya dalam bahasa Perancis. Dengan sedikitnya 40 karya ia menerima Nobel Sastra, sebagai penulis yang mengeksplorasi kemanusiaan di luar masyarakat normatif. Le Clézio, penulis Mauritius-Perancis ini kelahiran 1940.
Foto: AP
Nobel di Usia Senja
Penulis Inggris Doris May Lessing lahir tahun 1919 di Kermansyah, Iran. Novel pertama “The Grass is Singing“ terbit tahun 1950. 2008 ia masuk ranking lima daftar “50 penulis terbaik Inggris sejak 1945”. Aktifitasnya menentang senjata nuklir dan apartheid di Afrika Selatan menyebabkan pencekalan dari negara itu. Pada tahun 2007, Lessing menjadi perempuan ke sebelas yang menerima Nobel Sastra.
Foto: AP
Mengusik Kebebasan
Nobel Sastra 2006 dimenangkan Orhan Pamuk, penulis Turki kelahiran 1952. Karyanya seperti “My name is Red” diterjemahkan ke dalam lebih 60 bahasa. 2005, Pamuk diadili karena mengangkat isu genosida warga Armenia di masa kekuasaan Otoman. Kontroversi yang berawal dari kritik soal kebebasan bersuara di Turki itu, disusul aksi-aksi pembakaran buku-bukunya.
Foto: DW
Angka Magis 50
50 merupakan angka magis sastrawan kenamaan Inggris Harold Pinter, kelahiran1930. Dalam 50 tahun karirnya, ia menyutradarai 50 produksi teater dan film, dan telah menerima 50 penghargaan, antara lain Nobel Sastra 2005. Karyanya yang paling terkenal termasuk “The French Lieutenant's Woman” (1981) dan “The Trial“ (1993). Ia meninggal Desember 2008.
Foto: AP
Musikalitas Suara
Penulis Austria Elfriede Jelinek, kelahiran 1946, menerima Nobel Sastra pada tahun 2004 untuk musikalitas suara-suara yang bertentangan, dalam tulisan-tulisannya yang menunjukkan absurditas dan tekanan yang terjadi, akibat gambaran-gambaran klise dalam masyarakat. Ia seorang penulis feminis. Tulisannya sering menyoroti seksualitas perempuan dan eksploitasi.
Foto: AP
Fokus Afrika
Penulis Afrika Selatan kedua, setelah Nadine Gordimer, yang memenangkan Nobel Sastra adalah John Maxwell "J. M." Coetzee. Ia menerima hadiah itu pada tahun 2003. Akademi Swedia mengatakan, Coetzee secara istimewa menggambarkan keterlibatan orang luar dalam berbagai pergulatan moral. Karyanya “Disgrace“ (1999) diadaptasi untuk film pada tahun 2008.