1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

MK Hapus Pasal Pelarangan Hasil Jajak Pendapat Pemilu

Zaki Amrullah30 Maret 2009

MK menghapus pasal yang melarang lembaga survei mengumumkan hasil jajak pendapat pada masa tenang, serta pasal yang berisi larangan mengumumkan hasil penghitungan cepat Pemilu atau Quick Count pada hari pencontrengan.

Larangan ini sebelumnya diterbitkan antara lain karena adanya kekhawatiran, bahwa pengumuman hasil di luar penghitungan resmi oleh KPU berpotensi menimbulkan keributan di masyarakat dan mempengaruhi pemilih.

Keputusan itu diambil setelah sebagian besar hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memandang pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Dengan terbitnya keputusan ini, maka lembaga survei dapat mengumumkan hasil jajak pendapat pada masa tenang, serta mengumumkan hasil penghitungan cepat Pemilu langsung pada hari pencontrengan.

Uji Materi atas pasal-pasal itu diajukan oleh Asosiasi Riset Opini Publik AROPI yang menilai larangan itu bertentangan dengan kebebasan berpendapat. Hakim MK Maruarar Siahaan membacakan pertimbangan majelis.

“Pengumuman hasil survei tersebut tidak inkonstitusional, sepanjang tidak berkaitan dengan rekam jejak atau bentuk lain yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu. Dua, bahwa terhadap dalil pemohon mengenai pasal 245 ayat 3 UU 10 tahun 2008 yang berbunyi, pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari berikutnya dari hari pemungutan suara, maka sependapat dengan dalil pemohon bahwa ketentuan aquo tidak sesuai dengan hakikat suatu penghitungan cepat dan menghambat hasrat seseorang untuk tahu, sehingga bertentangan dengan pasal 28 F.”

Dalam pertimbangannya, majelis hakim Mahkamah Konstitusi juga memandang, bahwa hasil jajak pendapat dan penghitungan cepat bukan hasil resmi yang berpotensi mengganggu ketertiban umum. Serta tidak akan mempengaruhi pilihan pemilih karena diumumkan setelah Pemilu digelar.

Meski demikian, keputusan Mahkamah Konstitusi ini tidak diambil secara bulat. Tiga dari sembilan Hakim MK, menyatakan pendapat berbeda. Umumnya mereka mengkhawatirkan independensi lembaga survei dalam jajak pendapat maupun penghitungan cepat. Salah satunya ditunjukkan hakim MK M. Arsyad Sanusi.

“Karena survei atau jajak pendapat maupun quick count, sekalipun dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah, namun tidak ada yang dapat menjamin bahwa kegiatan tersebut bersih dari tendensi untuk mempengaruhi pilihan yang menguntungkan salah satu kontestan pemilu. Di sinilah peran negara diperlukan untuk menjaga kualitas demokrasi dan memelihara ketertiban umum, sehingga informasi tersebut disimpan untuk waktu tertentu dan baru disampaikan kepada khalayak dalam waktu tertentu pula.”

Ketua Umum Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) Denny JA mengakui kenyataan ini. Namun Direktur Lingkar Survey Indonesia ini menunjuk mekanisme pasar sebagai alat pengawasan independesi sebuah lembaga survei.

“Pro kontra mengenai lembaga survei sebagai bagian dari industri politik memang ada di mana- mana, termasuk di Amerika. Tapi itu semua akan dikalahkan oleh kondisi pasar. Lembaga yang tidak kompeten, terlalu partisan tapi tidak akurat surveinya, pada waktunya akan hilang. Karena tidak hanya pasar atau publik, tapi partai politik pun tidak akan menggunakan dia karena terbukti dia tidak akan akurat. Sekali lagi, pasar dalam situasi demokratis itu akan menyeleksi sendiri, lembaga mana yang akurat dan yang tidak akurat pada waktunya.”

Quick count atau penghitungan cepat mulai dikenal di Indonesia sejak pemilu 2004. Sistem penghitungan suara elektronik ini, kemudian menjadi trends dalam sejumlah penghitungan Pemilihan Kepala Daerah di sejumlah wilayah Indonesia.