Presiden Joko Widodo (Jokowi) pagi ini membuka Rakernas Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) ke-XVII 2024. Di awal sambutannya, Presiden Jokowi mengucapkan salam lintas agama.
Iklan
Acara tersebut digelar di Kota Balikpapan, Selasa (4/6/2024) pagi. Jokowi memberikan pidato sekaligus membuka rakernas.
Di awal sambutannya, Jokowi mengucapkan salam lintas agama. Selanjutnya, Presiden Joko Widodo menyapa sejumlah pihak yang hadir dalam Rakernas Apeksi tersebut.
Begini pernyataan Jokowi di awal sambutannya:
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
selamat pagi salah sejahtera bagi kita semua,
om swastiastu,
namo buddhaya,
salam kebajikan,
yang saya hormati para menteri yang hadir, hadir bersama kita Pak Mendagri, Pak Menteri Investasi, dan juga Panglima TNI,
yang saya hormati Gubernur Kalimantan Timur, tuan rumah Wali Kota Balikpapan,
yang saya hormati Ketua Dewan Pengurus APEKSI Bapak Erry Cahyadi beserta seluruh bapak/ibu wali kota yang hadir pada pagi hari ini, hadiri undangan yang berbahagia.
Semarak Pesta Rakyat di Perayaan Cap Go Meh di Jakarta
Semaraknya perayaan Cap Go Meh yang jatuh pada 5 Februari 2023 dimanfaatkan warga Jakarta untuk mencari hiburan yang terjangkau. Tradisi Kalimantan juga hadir di sana.
Foto: Nefria Indradona/DW
Pesta rakyat malam terang bulan
Cap Go Meh berasal dari dialek Hokkien yang berarti 15 hari atau malam setelah Tahun Baru Cina. Cap artinya sepuluh, Go artinya lima, dan Meh yaitu malam. Tahun 2023, perayaan Cap Go Meh jatuh pada 5 Februari. Di tengah rangkaian kirab Toa Pe Kong, warga turut menyaksikan atraksi naga yang menjadi objek foto para pengunjung.
Foto: Nefria Indradona/DW
Dilarang Orba, dibolehkan Gus Dur
Pada era pemerintahan mantan Presiden Soeharto, lewat Inpres nomor 14 tahun 1967 warga dilarang merayakan Imlek di muka umum. Namun mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mencabut inpres tersebut saat menjabat.
Foto: Nefria Indradona/DW
Pesta rakyat penuh musik
Perayaan Cap Go Meh pada 5 Februari menjadi hiburan banyak orang. Semua berbaur menikmati sukaria di hari itu. Musik khas Tionghoa tak henti mengalun, salah satunya berasal dari Guzheng bentuknya mirip kecapi. Alat musik petik ini terbuat dari kayu. Pada abad ke-6 Guzheng memiliki 5 hingga 6 senar. Kini Guzheng bisa memiliki hingga 21 senar.
Foto: Nefria Indradona/DW
Tradisi Tatung
Tradisi Tatung berasal dari Singkawang, Kalimantan Barat, yang mempertontonkan suguhan ekstrem. Si Tatung menusukkan benda tajam ke bagian tubuhnya.
Foto: Nefria Indradona/DW
Biksu Tom Sam Chong nan populer
Selain itu, ada pula pertunjukan wayang potehi. Salah satu kisahnya menampilkan petualangan Biksu Tom Sam Chong. Nama biksu ini cukup familiar di telinga sejumlah masyakarat Indonesia. Terutama bagi yang sering menonton serial Kera Sakti di era 90-an.
Foto: Nefria Indradona/DW
Patung Buddha Empat Wajah
Salah satu ornamen yang kerap dijumpai dalam acara ini adalah patung Buddha dengan 4 wajah. Empat wajah Buddha memiliki empat makna yang berbeda. Antara lain, pengasih, adil, murah hati, dan meditatif. (ae)
Foto: Nefria Indradona/DW
6 foto1 | 6
Keputusan Ijtima Ulama Fatwa
Sebelumnya diberitakan, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII menghasilkan panduan hubungan antarumat beragama. Salah satu yang diputuskan adalah mengenai hukum salam lintas agama. Ijtima Ulama menyatakan pengucapan salam lintas agama bukan toleransi yang dibenarkan.
Iklan
"Penggabungan ajaran berbagai agama, termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama, bukanlah makna toleransi yang dibenarkan," demikian salah satu poin keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada Kamis (30/5/2024).
Dalam hasil ijtima ulama tersebut, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah. Karena itu, pengucapan salam harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain.
"Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram," demikian poin lanjutan panduan yang dikeluarkan ijtima ulama.
Ada Hiburan dan Ajaran Toleransi di Tiap Cerita Wayang Wolak-Walik
Wayang wolak-walik yang didalangi Ki Jumali dari Jawa Timur tidak hanya menghibur anak-anak di lokasi bencana. Pada tiap ceritanya, ada ajakan untuk bertoleransi dan mencintai lingkungan.
Foto: Yovinus Guntur/DW
Kenapa disebut wayang wolak-walik?
Dalam setiap pementasan, Ki Jumali tidak pernah sendiri. Ia selalu membawa rekan yang juga berperan sebagai dalang. Biasanya mereka duduk saling berhadapan pada dua sisi yang berbeda di sebuah layar, karena itulah disebut wolak-walik atau dua sisi. Dan, lampu akan menyorot layar untuk memberikan efek cahaya.
Foto: Yovinus Guntur/DW
Anak-anak juga ikut menjadi dalang!
Lewat kesempatan ini anak-anak juga akan diminta ikut aktif mendalang. Saat mendalang, mereka secara tidak langsung akan belajar mengenali berbagai macam emosi lewat karakter yang mereka mainkan. Ki Jumali berharap pengenalan emosi ini bisa jadi sarana penyembuhan trauma bagi anak di daerah bencana, seperti di lereng Semeru, Jawa Timur.
Foto: Yovinus Guntur/DW
Tokoh-tokoh sejarah kontemporer
Tokoh wayang yang dibuat sangat bervariasi tergantung pada karakter yang akan dimainkan dan bahan yang digunakan. Beragam karakter pernah dibuat mulai tokoh yang melegenda seperti tokoh dalam mitologi, ada pula Wali Songo, Kiai Haji Hasyim Asy'ari, Gus Dur (dalam gambar, kiri) hingga Presiden Joko Widodo.
Foto: Yovinus Guntur/DW
Karakter wayang lebih dekat dengan keseharian warga
Alur cerita juga disesuaikan dengan kebutuhan dan tema acara. Di wayang wolak-walik, tokoh-tokohnya adalah mereka yang biasa dijumpai di kehidupan sehari-hari seperti bapak, ibu dan anak, ada pula karakter prajurit, ulama, petani (gambar di atas), dan aneka profesi. Ki Jumali juga menyelipkan pesan moral dan ajaran agama dalam setiap pementasan.
Foto: Yovinus Guntur/DW
Cikal-bakal ide wayang sejak tahun 1991
Pementasan wayang wolak-walik yang dikomandani Ki Jumali tidak terjadi begitu saja. Proses panjang telah dilalui mantan aktivis Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) ini pada tahun 1991. Saat itu, Ki Jumali membentuk teater Rambutan bersama seorang kawan asal dari Belgia. Ia ingin bisa menyebar nilai-nilai kebaikan lewat tiap pertunjukannya.
Foto: Yovinus Guntur/DW
Manfaatkan kardus bekas dan kulit sapi
Tahun 1996, saat itu ia membuat wayang legenda. Dengan memanfaatkan kardus dan kulit sapi atau kerbau sebagai bahan tokoh wayang. Karakter wayang legenda menggunakan tokoh legenda dari dongeng masa lalu. Ia terus menampilkan wayang legenda ini hingga akhirnya Ki Jumali menciptakan wayang wolak-walik di tahun 2014.
Foto: Yovinus Guntur/DW
Ajak generasi muda mengenal tradisi
Mbah Jo, rekan sejawat Ki Jumali juga ikut melatih anak-anak bermain musik di sebuah sanggar milik Ki Jumali di Kota Malang, Jawa Timur. Sanggar ini tidak menentukan besaran tarif bagi anak-anak yang ingin belajar. Yang penting anak mau belajar dan mengenali tradisi mereka. (ae)