TNI harus berterima kasih pada penduduk dan tanah Papua. Jangan ada lagi “air susu dibalas dengan air tuba”. Mengapa demikian? Simak opini Aris Santoso.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Iklan
Salah satu landmark Kota Merauke adalah Monumen Benny Moerdani. Monumen tersebut berdiri sejak 1989, sebagai peringatan atas operasi penerjunan di belantara Merauke ( Operasi Naga, 1962), di bawah pimpinan (pangkat saat itu) Kapten Inf. Benny Moerdani.
Operasi ini bersifat strategis dan merupakan bagian dari kampanye merebut wilayah Papua Barat, yang masih dikuasai pemerintah kolonial Belanda. Monumen diresmikan saat Benny masih menjabat Menteri Pertahanan (1988-1993).
Begitu bermaknanya operasi tersebut, di Merauke terdapat juga seruas jalan yang diberi nama Para Komando, karena pasukan yang diterjunkan saat itu berasal dari kesatuan RPKAD (kini Kopassus). Saya kira, baru di Merauke inilah ada jalan dengan mengabadikan nama Korps Baret Merah. Di kota-kota lain di Jawa, umumnya mengambil nama kesatuan tentara pelajar, seperti TGP (Tentara Genie Pelajar) atau TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) di Jatim, Jalan TP (Tentara Pelajar) di Jateng, dan Jalan Pasukan Pelajar IMAM (Indonesia Merdeka atau Mati) di kawasan Banyumas.
Baret Merah dan Keberagaman
Monumen Benny mendapat tempat khusus di kalangan warga Merauke, karena kebetulan Benny sendiri menganut agama Katolik, yang juga dianut sebagian besar warga Merauke. Dalam hal keberagaman, telah terjadi titik temu antara Korps Baret Merah dengan Merauke, atau Papua pada umumnya.
Penulis: Aris Santoso Foto: privat
Kalau kita runut dari sejarahnya, Korps Baret Merah berasal dari Divisi (Kodam) Siliwangi, yang sejak lama dikenal sebagai Kodam yang heterogen di antara anggotanya, baik dari segi asal-usul suku dan keyakinan yang dianut. Saat Baret Merah didirikan (April 1952), Panglima Divisi Siliwangi dijabat oleh Kolonel Alex Evert Kawilarang, yang beretnis Minahasa dan penganut Kristen. Gagasan pembentukan pasukan Komando sendiri, datang dari Brigjen (Anumerta) Ignasius Slamet Rijadi, perwira asal Solo dan seorang Katolik. Komandan pertama Baret Merah adalah Mayor Mohammad Idjon Djanbi (RB Visser), seorang keturunan Belanda dan Muslim. Mayor Idjon Djanbi saat masih aktif sebagai tentara Belanda, secara kebetulan pernah bertugas di Papua, sebagai Komandan Sekolah Para di Holandia (nama Jayapura di era kolonial)
Demikian juga perwira-perwira seangkatan Benny yang juga beragam, seperti Sebastianus Soekoso (Katolik), CI Santosa (Muslim) dan Dading Kalbuadi (Muslim). Termasuk dalam kategori ini adalah mantan Danjen Kopassus, seperti Letjen Purn Kuntara (Muslim, peranakan Cina), Letjen Purn Sintong Panjaitan (Kristen) dan Mayjen Purn. Wisnu Bawatenaya (Hindu). Artinya nilai-nilai pluralisme sudah hidup di Korps Baret Merah sejak kelahirannya. Nilai yang juga menjadi panutan di TNI. Itu sebabnya dari dulu sampai sekarang, Kopassus selalu berada di garda depan dalam mengatasi gerakan ekstrem berdasarkan ikatan primordial, seperti terbukti dalam operasi menumpas gerakan DI/TII dan Operasi Woyla (Bangkok, 1981).
Kita bisa menjadi paham sekarang, mengapa Kopassus seolah memiliki hubungan yang unik dengan tanah Papua, dengan segala romantika dan pasang surutnya --bahwa hubungan itu tidak selamanya mulus. Benar, di kawasan selatan Papua (Merauke), Baret Merah begitu dimuliakan melalui Monumen Benny dan seruas jalan Para Komando.
Namun di utara (Jayapura) ceritanya bisa berbeda. Ibarat pepatah lama: "air susu dibalas dengan air tuba". Setidaknya dua tokoh budaya Papua tewas di tangan anggota Kopassus, yaitu Theys Eluay (2001) dan Arnold Clemens Ap (1984, pimpinan kelompok musik Mambesak).
Kopassus Dalam Pusaran Sejarah
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.
Foto: Getty Images/AFP/A.Berry
8 foto1 | 8
Antara Merauke dan Jakarta
Saat melakukan kerja lapangan di Merauke (dan Fakfak), catatan penting yang saya peroleh adalah, dalam soal kemanusiaan dan keberagaman, justru Jakarta yang harus banyak belajar pada kota-kota di Papua, bukan sebaliknya. Itu berdasarkan asumsi selama ini, bahwa Jakarta dianggap lebih maju (baca: beradab) dibanding Merauke, atau kota-kota lain di Papua.
Saya bertugas ke Fakfak menjelang aksi massa 4 November (411) dan ke Merauke menjelang aksi massa 2 Desember (212), 2016. Segala kebisingan politik di Jakarta, sama sekali tidak terasa di Merauke dan Fakfak. Pada dua kota ini, dan kota-kota lain di Papua, amat terasa betapa kebisingan politik di Jakarta menjadi sebuah anomali.
Sungguh sulit dipahami, bagaimana Jakarta yang dianggap sebagai kota yang paling beradab di Tanah Air, telah berkembang menjadi kota yang dikuasai oleh sentimen primordial. Jakarta telah menjadi permukiman para predator yang senantiasa haus kekuasaan dan harta, menjadikan kota ini kurang nyaman bagi warga yang tidak memiliki akses pada pusat sumber daya ekonomi.
Sekali lagi kita harus belajar dari Merauke. Kini semakin banyak saja kota-kota yang kurang mengutamakan prinsip toleransi dan keberagaman. Bisa jadi memang sudah "kehendak” sejarah, bahwa Monumen Benny harus berdiri dengan anggun di Merauke, kota yang sangat inklusif dan manusiawi. Kita tidak tahu bagaimana nasib monumen itu bila berada di kota lain, termasuk di Jakarta, misalnya.
Kesejahteraan dan Strategi Militer
Tanah Papua ibarat "surga kecil” yang jatuh ke Bumi. Sehingga semua pihak ingin merambah Papua, utamanya untuk memburu kesejahteraan. Secara sekilas, hanya partai politik yang terkesan tidak terlalu antusias menggarap Papua, mengingat wilayah Papua yang luas tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduknya. Terkecuali para elit parpol asal Jakarta yang secara pribadi memiliki kepentingan bisnis di Papua, sebagaimana parodi "papa minta saham” sekitar setahun lalu.
Demikian juga dengan TNI, khususnya Angkatan Darat, sangat berkepentingan dengan wilayah Papua, sehingga harus dibentuk Kodam baru, yaitu Kodam XVIII/Kasuari, yang bermarkas di Manokwari (Papua Barat). Kepentingan TNI AD adalah memelihara kemampuan teknis segenap anggotanya, melalui operasi pengamanan perbatasan (pamtas).
Perjudian Buntu di Tambang Grasberg
Kemelut antara Indonesia dan PT Freeport berpotensi cuma akan menghasilkan pecundang. Kedua pihak terjebak dalam pertaruhan besar seputar tambang Grasberg, tanpa ada jalan keluar.
Harus diakui, PT Freeport adalah salah satu perusahaan asing yang paling kontroversial di Indonesia. Hubungan antara perusahaan yang bermarkas di Phoenix, AS, dengan pemerintah selama ini dipenuhi kekisruhan dan perseteruan. Tidak heran jika jelang negosiasi perpanjangan kontrak, kedua pihak kembali bersitegang.
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Bola Api dari Jakarta
Terakhir, raksasa tambang AS itu berseteru dengan pemerintah soal Kontrak Karya dan izin ekspor. Kontrak yang ada saat ini akan berakhir tahun 2021 dan Jakarta enggan memperpanjang karena khawatir merugi. Sebab itu Kementerian Energi dan SDM mengajukan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi Freeport buat memperpanjang kontrak.
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Simalakama Freeport
Tahun 2017 pemerintah mengubah status Kontrak Karya yang dikantongi Freeport menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Bersamanya Freeport wajib membangun fasilitas pemurnian alias smelter dalam waktu lima tahun dan menyerahkan 51% saham tambang Grasberg pada Indonesia. Namun Freeport menolak klausul tersebut karena dinilai merugikan.
Foto: Getty Images/AFP/O. Rondonuwu
Menyambung Nyawa
Lantaran gagal memenuhi persyaratan yang diajukan, pemerintah mencabut izin ekspor Freeport dan sejak 2015 hanya memberikan izin sementara yang berlaku selama enam bulan. Situasi ini menyudutkan Freeport karena tidak bisa mengekspor ketika harga Tembaga sedang melambung. Terlebih tambang terbuka Grasberg nyaris habis masa pakainya dan Freeport harus mulai menambang tembaga di bawah tanah.
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Tekanan Pasar
Lantaran sikap keras Jakarta, Freeport merumahkan 12.000 pegawai akibat penurunan produksi. Kemelut di Indonesia akhirnya berimbas negatif pada saham Freeport. Analis pasar menganjurkan investor jangka panjang untuk tidak membeli saham Freeport hingga kisruh kontrak diselesaikan. JP Morgan bahkan menurunkan status Freeport dari "Overweight" menjadi "Neutral."
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Gali Lubang Demi Utang
Tekanan pasar pada Freeport bertambah besar lantaran ketidakjelasan soal izin ekspor. Tahun ini Freeport merencanakan kapasitas produksi tambang Grasberg sebesar 32% dari total volume produksi perusahaan. Demi membiayai produksi dan menutup utang, perusahaan itu telah menjual sahamnya di tambang-tambang Afrika, dan mulai menambang tembaga berkualitas tinggi di Papua.
Foto: Getty Images/AFP/T.Eranius
Terganjal Regulasi
Freeport berdalih akan berinvestasi senilai 15 miliar Dollar AS untuk mengubah Grasberg menjadi tambang bawah tanah. Untuk itu mereka menginginkan kepastian perpanjangan Kontrak Karya hingga 2041. Namun menurut UU Minerba, Indonesia hanya bisa menegosiasikan kontrak dua tahun sebelum masa berlakunya berakhir, dalam hal ini tahun 2019.
Foto: AFP/Getty Image
Jalan Buntu buat Dua Pihak
Akhirnya kedua pihak tidak bisa mengalah dan berniat membawa kasus Grasberg ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Buat Freeport, menerima IUPK berarti kehilangan kuasa atas salah satu sumber pemasukan terbesarnya. Sementara pemerintah Indonesia juga enggan mundur dari tuntutannya karena terancam merugi dan kehilangan muka di hadapan publik. Penulis: Rizki Nugraha/ap (dari berbagai sumber)
Bagi TNI, konsep kesejahteraan memang sedikit berbeda dari yang biasa kita pahami. Kesejahteraan dimaksud tidak sebatas apa yang terlihat, seperti gaji, ULP (uang lauk pauk), dukungan logistik, dan seterusnya, namun juga mencakup sarana latihan dan kesiapan prajurit. Dalam posisi ini, TNI AD sangat tertolong dengan karakter geografis Papua. Tidak terbayangkan bagaimana melatih kemampuan prajurit (khususnya dari kecabangan infanteri) bila tidak ditugaskan di Papua.
Papua menjadi wahana bagi prajurit (infanteri) dalam memelihara kemampuan teknisnya melalui operasi pamtas. Sehingga secara berkala, selalu terjadi rotasi pada pasukan yang melaksanakan operasi pamtas.
Di wilayah Merauke, hari-hari ini yang sedang bertugas adalah Yonif 407 (Kodam Diponegoro) dan Yonif Para Raiders 330/Kujang II (Kostrad). Sedikit ke utara, yaitu di Boven Digul, sedang bertugas Yonif Mekanis 413/Bremoro (berasal dari Solo). Yonif mekanis lain yang juga sedang menjalankan operasi pamtas, adalah Yonif Mekanis 516 dari Surabaya.
Sedikit catatan bisa diajukan di sini, apakah yonif mekanis seperti Yonif Mekanis 413 dan Yonif Mekanis 516 tepat bagi operasi pamtas? Mengingat alutsista (alat utama sistem persenjataan) Yonif 413 adalah kendaraan lapis baja, yaitu tank ringan Marder (produksi Jerman), kemudian Yonif 516 adalah Panser Anoa. Operasi pamtas sebenarnya lebih pas dijalankan oleh satuan infanteri reguler (light infantry), seperti Yonif 407 dan Yonif 330 di atas. Bila yang dikirim yonif mekanis, apakah ini sudah sesuai dengan tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) yonif mekanis? Secara logika awam saja, alutsista seperti panser atau tank ringan, tidak mungkin dilibatkan saat operasi pamtas, mengingat kontur tanah Papua seperti itu.
Pertanyaan ini memang sangat teknis, dan bisa jadi publik awam tidak terlalu mempermasalahkan juga. Wacana seperti ini sungguh di luar jangkauan masyarakat pada umumnya. Realitas ini menegaskan satu hal, bahwa TNI harus berterima kasih pada penduduk dan tanah Papua, jangan ada lagi "air susu dibalas dengan air tuba”.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai staf administrasi di lembaga HAM (KontraS). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.