Citra Satelit: Perusahaan Sawit Babat Hutan Tropis di Papua
1 Mei 2018
Moratorium hutan milik pemerintah gagal menghalangi perusahaan sawit untuk tetap membuka lahan di atas hutan tropis di Boven Digoel, Papua. Temuan tersebut terekam dalam citra satelit yang dipublikasikan Greenpeace.
Iklan
Moratorium alih fungsi hutan untuk perkebunan dan pertambangan sedianya menjadi senjata pemerintah mengkampanyekan minyak sawit berkelanjutan. Hal senada juga diklaim lembaga lobi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang mengatakan ekspansi lahan sawit hanya dilakukan di kawasan yang sudah gundul alias hutan sekunder.
Namun klaim tersebut tidak berbanding lurus dengan temuan organisasi lingkungan Greenpeace yang memantau ekspansi sawit di Papua. Ketika raksasa sawit seperti Sinarmas, Musim Mas dan Wilmar telah menandatangani komitmen moratorium hutan, banyak perusahaan menengah yang mencari celah buat membuka lahan baru.
Salah satunya adalah PT Megakarya Jaya Raya yang membuka lahan sawit seluas 40 kilometer persegi di Kabupaten Boven Digoel. Menurut citra satelit yang dimiliki Greenpeace, konsesi lahan punya perusahaan asal Malaysia itu seutuhnya berdiri di atas hutan primer alias hutan alami.
Secara keseluruhan terdapat empat perusahaan lain yang mendapat konsesi sawit di kawasan hijau di tepi sungai Digul tersebut, yakni PT Kartika Cipta Pratama, PT Graha Kencana Mulia dan PT Energy Samudera Kencana.
Kehadiran perusahaan sawit di Boven Digoel sebenarnya telah memicu kisruh dengan penduduk lokal sejak 2016. Warga mengklaim perusahaan membabat hutan adat dan memberi uang ganti rugi yang tidak sepadan. Saat itu tidak sedikit penduduk yang tadinya bertani karet kehilangan sebagian pemasukan setelah bergabung menjadi buruh sawit, menurut laporan harian Suarapapua.
Muncul Tanda Bahaya SOS Raksasa di Perkebunan Sawit Sumatera
Seniman Lithuania 'mengukir' bekas perkebunan sawit jadi bertanda “SOS” di tepi hutan lindung Sumatera Utara sebagai ekspresi keprihatinannya atas kehancuran hutan di Indonesia.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Berdampak buruk bagi masyarakat dan spesies langka
Proyek 'Save Your Souls' karya seniman Lithuania, Ernest Zacharevic ini merupakan bagian dari kampanye keprihatiannya atas dampak perkebunan kelapa sawit terhadap komunitas dan spesies langka di Indonesia. Huruf “SOS” membentang setengah kilometer di lahan seluas 100 hektar di Bukit Mas, Sumatera Utara, dekat ekosistem Leuser.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Tanda darurat di perkebunan sawit
"Saya ingin menyuarakan besarnya masalah dampak kelapa sawit," ujar Zacharevic yang membuat proyak tulisan tanda SOS raksasa di perkebunan di Sumatera Utara. "Proyek ini merupakan upaya untuk menarik kesadaran khalayak yang lebih luas." Proyek ini, bekerja sama dengan kelompok konservasi Sumatran Orangutan Society (SOS) yang berbasis masyarakat dan perusahaan kosmetik Lush.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Mengumpulkan dana kampanye
Mereka mengumpulkan dana untuk membeli perkebunan melalui penjualan 14.600 sabun berbentuk orangutan tahun lalu. Tujuannya adalah, benar-benar menghijaukan kembali lahan itu, yang sekarang dimiliki oleh sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), dengan bibit pohon asli. Akhirnya menghubungkan kawasan itu dengan lokasi penghijauan OIC terdekat.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Mengolah konsep dan bertindak
Zacharevic berbagi ide kreatif yang sangat berani: Ia bersama kami saat itu dan kebetulan saja tanah yang baru kami beli itu adalah kanvas instalasi yang sempurna, tulis SOS di situsnya. Sekitar seminggu, seniman ini bekerja di lahan itu, menyusun konsep dan akhirnya menebang 1.100 sawit untuk menguraikan pesan ini.
Foto: Tan Wei Ming
Menanam kembali hutan
Setelah menghijaukan kembali lahan itu,sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), menanaminya lagi dengan dengan bibit pohon asli di habitat tersebut sebagai upaya penghijauan.
Foto: Skaiste Kazragyte
Jadi sorotan dunia
Sementara itu sang seniman mewujudkan konsep yang digodok bersama sebagai penanda daruratnya kondisi hutan di Indonesia yang banyak digunduli: SOS. Indonesia telah menjadi pusat perhatian dunia dalam upaya mengendalikan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh penggundulan hutan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan bagi industri seperti minyak sawit, pulp dan kertas.
Foto: Tan Wei Ming
Komitmen perusahaan-perusahaan
Tanda SOS ini muncul di tengah tekanan yang terus bergulir pada perusahaan kelapa sawit. PepsiCo dan perusahaan kosmetik Inggris Lush telah berkomitmen untuk mengakhiri penggunaan minyak kelapa sawit - yang ditemukan dalam beragam produk mulai dari sabun hingga sereal .
Foto: picture-alliance/dpa/V. Astapkovich
Meningkatkan transparansi
Sementara, awal tahun 2018 ini perusahaan raksasa Unilever mengatakan telah membuka informasi rantai pasokan minyak sawitnya untuk meningkatkan transparansi.
Foto: Getty Images
Masyarakat adat yang tersingkirkan
Hutan-hutan ini sering berada di daerah terpencil yang telah lama dihuni oleh masyarakat adat, yang mungkin tidak memiliki dokumen yang bisa membuktikan kepemilikan lahan atau dapat bersaing dalam akuisisi lahan di negara Asia Tenggara yang kaya sumber daya.
Foto: Skaiste Kazragyte
Flora dan fauna yang makin menghilang
Perluasan hutan juga menyebabkan berkurangnya populasi satwa liar. Cuma sekitar 14.600 orangutan yang tersisa di alam liar di Sumatera, demikian perkiraan para pemerhati lingkungan. "Kita semua berkontribusi terhadap dampak merusak dari minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, apakah itu dengan mengkonsumsi produk atau kebijakan pendukung yang mempengaruhi perdagangan," papar Zacharevic.
Para ahli lingkungan mengatakan pembukaan lahan untuk perkebunan pertanian di Indonesia, penghasil minyak sawit terbesar di dunia, bertanggung jawab atas kerusakan hutan. Penutupan hutan telah turun hampir seperempat luasnya sejak tahun 1990, demikian menurut data Bank Dunia. (ap/vlz/Ernest Zacharevic/SOS/rtr/leuserconservation/berbagai sumber)
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
11 foto1 | 11
Temuan Greenpeace tak pelak membayangi upaya Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang pekan lalu berkeliling Eropa buat melobi negara UE agar menolak rencana Parlemen Eropa melarang penggunaan sawit sebagai bahan campuran biodiesel. selama lawatan singkatnya, Luhut berdalih Indonesia telah menerapkan moratorium buat melindungi hutan primer.
Ia mengklaim Indonesia sudah memenuhi ketentuan lingkungan yang diajukan Eropa dan membujuk agar menghargai sertifikasi sawit ramah lingkungan yang saat ini sedang digalakkan di Indonesia. "Padahal kita telah mentaati semua aturan Uni Eropa. Jadi musti gimana lagi?" ujarnya.
Tak heran klaim tersebut dikecam aktivis lingkungan Jerman, Matthias Rittergrott, dari organisasi Rettet den Regenwald. Dalam wawancara dengan DW ia mengatakan Luhut "tidak mengerti" kekhawatiran terhadap ancaman kerusakan lingkungan. "Kami memiliki kesan Luhut tidak tahu sama sekali tentang realita kerusakan alam di lapangan," tuturnya.
"Buat kami ini bukan tentang aturan lingkungan, tetapi pertanyaan besar tentang kelangsungan kehidupan di atas planet Bumi."
Keberatan Eropa Atas Kelapa Sawit, Peduli Lingkungan Atau Bisnis?
01:21
rzn, Hans Spross /yf (ecowatch, suarapapua, greenpeace, kompas, tempo)