1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Moskow: Latihan NATO di Georgia Satu Provokasi

6 Mei 2009

Latihan mulai 6 Mei. Tidak ada panser, dan yang dilatih adalah sekitar 2.000 tentara di bawah mandat PBB. Tetapi Rusia melihat latihan yang diadakan Pakta Pertahanan Atlantik Utara-NATO sebagai provokasi besar-besaran.

Presiden Rusia Dmitrij MedvedevFoto: AP

Selama ini belum pernah ada latihan NATO yang menyebabkan banyak perdebatan seperti latihan kali ini. Latihan diadakan dalam rangka kemitraan untuk perdamaian, mengikutsertakan 2.000 tentara dari sekitar 12 negara, baik anggota NATO maupun bukan. Tidak ada senjata berat yang dipakai, tetapi latihan itu diadakan di negara, yang baru saja dilanda perang. Georgia. Perang terakhir di negara itu belum berlalu satu tahun.

Protes Rusia Bisa Dimengerti

Tentara Georgia di desa Ergneti setelah pertempuran antara Ossetia Selatan dan Georgia (05/08/08)Foto: AP

Presiden Rusia memberikan pernyataan tentang latihan pasukan NATO demikian, "Latihan militer tidak boleh diadakan sama sekali di daerah, di mana perang baru saja terjadi. Itu adalah undang-undang tak tertulis." Itu ditekankan Presiden Dmitrij Medvedev berulang kali dalam minggu-minggu terakhir. Ini adalah keberatan yang bisa dimengerti.

Gambar-gambar dari Agustus tahun lalu masih jelas dalam ingatan, jenasah, rumah-rumah dan kendaraan yang hancur. Malam hari kerap terjadi tembak-menembak dan pertempuran kecil di daerah perbatasan yang tidak jelas antara Georgia dan propinsi yang membangkang, Abkhazia dan Ossetia Selatan.

Dianggap Serius Semua Pihak

Menlu Russia Sergey LavrovFoto: AP

Tetapi bagi Rusia, Georgia dan NATO hal ini bukan hanya diskusi belaka. Ini bisa dilihat dari reaksi semua pihak. Sebuah pertemuan antara staf gabungan angkatan bersenjata NATO dan Rusia, yang dijadwalkan awal Mei ini, sekarang dibatalkan. Rusia menyerukan sekutu-sekutunya untuk memboikot latihan tersebut. Akibatnya, Kazakstan, Serbia dan Moldova tidak jadi ikut.

Sedangkan NATO menyatakan dua orang yang katanya mata-mata Rusia sebagai persona non grata. Sebagai balasannya, Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov membatalkan pertemuan dengan menteri luar negeri dari negara-negara anggota NATO. Selain itu, bahwa Rusia sekarang secara resmi mengambil alih penjagaan perbatasan di Abkhazia dan Ossetia Selatan tentunya juga tidak bisa dijadikan sumbangan agar ketegangan di fron diplomatis berkurang.

Provokasi NATO dan Rusia

Presiden Georgia Mikheil SaakashviliFoto: AP

Medvedev, yang dianggap pelidung oleh kedua republik yang memisahkan diri dari Georgia, berkata, "Latihan NATO di Georgia yang direncanakan mulai tanggal 6 Mei sampai 1 Juni tetap provokasi murni dan terbuka, walaupun mitra-mitra kita di barat berusaha meyakinkan sebaliknya." Dikhawatirkan negara-negara barat akan mendorong Presiden Georgia Mikheil Saakashvili untuk melengkapi negaranya dengan senjata dan memulai perang baru. Ini menyebabkan ketakutan bagi Ossetia Selatan dan Abkhazia.

Di Tbilisi dan NATO, Rusia juga dianggap mengadakan provokasi. Penempatan pasukan tambahan Rusia di dekat perbatasan dengan Georgia menentang rencana perdamaian enam poin, yang dalam jangka panjang akan mengarah ke perdamaian. Pemerintah Georgia juga yakin, bahwa 5.000 tentara Rusia tambahan itu punya peranan dalam kudeta yang direncanakan di Georgia. Tetapi kudeta berhasil gagalkan, sehingga situasi buruk bisa dicegah.

Secercah Harapan

Duta Besar Rusia di NATO, Dmitri Rogosin hanya mengolok-olok pandangan Georgia. Ia juga menyebut NATO sebagai badak buta yang menjadi bahaya bagi siapapun di sekitarnya. Sementara itu, berkaitan dengan latihan NATO, Presiden Rusia Dmitrij Medvedev mengancam, "Dampak negatif keputusan ini akan ditanggung mereka yang membuat keputusan dan melaksanakannya."

Dalam permainan berbahaya antara provokasi intrik ini, hanya satu hal bisa menjadi harapan. NATO dan Rusia saling membutuhkan, juga dialog antar keduanya. Karena masih banyak masalah mendesak yang belum terselesaikan. Misalnya Afghanistan, restrukturisasi atau perluasan NATO, serta langkah-langkah menyangkut konflik yang membeku, seperti misalnya di Georgia.


Christina Nagel / Marjory Linardy

Editor: Luky Setyarini