Apa makna peresmian dua kodam baru? Militer menancapkan kukunya secara politis atau Jokowi tengah mengamankan kekuasaanya. Berikut opini Aris Santoso.
Iklan
Santer diberitakan, bahwa dua Komando Daerah Militer baru akan segera diresmikan, masing-masing adalah Kodam XIII/Merdeka dan XVIII/Kasuari. Saat tulisan ini disusun, belum ada informasi pasti kapan dua Kodam tersebut diresmikan, termasuk pelantikan Pangdam-nya.
Berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI tanggal 10 Oktober 2016, dua pati (perwira tinggi) yang akan memimpin dua Kodam baru tersebut, juga sudah ditetapkan, yang pelantikannya bersamaan dengan peresmian Kodam baru tersebut. Dua pati dimaksud adalah Mayjen TNI Ganip Warsito (Akmil 1986) sebagai Pangdam XIII/Merdeka, dan Mayjen TNI Joppye Onesimus Wayangkau (Akmil 1986) untuk Pangdam XVIII/Kasuari.
Sebagai tambahan informasi, dua Kodam baru tersebut merupakan pemekaran dari dua Kodam yang sudah ada. Kodam XIII/Merdeka adalah pemekaran dari Kodam VII/Wirabuana (Makassar), sementara Kodam XVIII/Kasuari adalah pemekaran dari Kodam XVII/Cenderawasih (Jayapura).
Kodam XIII/Merdeka akan bermarkas di Manado, kelak membawahi tiga Korem (Korem Manado, Korem Palu dan Korem Gorontalo). Adapun wilayah kontrol Kodam XVIII/Kasuari (markas Manokwari) setara dengan Provinsi Papua Barat, dengan membawahi Korem Sorong dan Korem Biak.
Aspirasi TNI AD
Satu hal yang menarik dari pembentukan Kodam kali ini adalah, tidak adanya keberatan publik atau catatan kritis dari kalangan intelektual. Seandainya ada resistensi pun, sangat rendah intensitasnya, jadi tidak menimbulkan kegaduhan berarti.
Pembentukan Kodam baru kali ini berjalan mulus, bedakan dengan saat pembentukan Kodam (baru) sebelumnya, seperti Kodam Iskandar Muda (Aceh) dan Kodam XII/Tanjungpura (Pontianak), yang sempat menjadi pro-kontra di masyarakat, meskipun akhirnya perdebatan itu hilang pula dengan sendirinya.
Saya sendiri menduga, ketiadaan penolakan dari masyarakat, bisa jadi karena masyarakat sendiri tidak peduli dengan wacana tersebut, mengingat beban hidup yang semakin kompleks. Bagaimana mungkin rakyat memikirkan pembentukan Kodam, kalau untuk sekadar bertahan hidup saja sudah demikian beratnya. Masyarakat akan berpikir, bahwa wacana Kodam baru adalah urusan elit politik dan militer di Jakarta, sama sekali bukan urusan rakyat. Situasinya memang menguntungkan, Kodam baru didirikan di tengah apatisme masyarakat.
Secara politis TNI AD masih kuat
Pembentukan Kodam baru juga mengonfirmasi satu hal, bahwa secara politis TNI AD masih kuat. Tidak ada lembaga negara lain yang sanggup mengontrolnya, termasuk Presiden selaku Panglima Tertinggi (Pangti). Karena setelah ini, rencananya masih akan dibentuk satu Kodam baru lagi, yakni di Riau. Praktis tidak ada lagi hambatan berarti, bila TNI (khususnya TNI AD) sudah berkehendak.
Kelak jumlah Kodam yang ada akan sama dengan masa lalu, di suatu masa sebelum Jenderal Benny Moerdani (Panglima ABRI 1983-1988) mereorganisasi TNI, yang salah satu wujudnya berupa pengurangan jumlah Kodam.
Dalam sebuah pembicaraan informal dengan (pangkat dan jabatan saat itu) Brigjen TNI Moeldoko (Akmil 1981, Direktur Doktrin Kodiklatad) sekitar sepuluh tahun lalu, bahwa penambahan Kodam baru merupakan rencana strategis yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
10 foto1 | 10
Menurut Moeldoko, pembentukan Kodam baru sebagai salah satu cara memperkuat posisi tawar terhadap negara tetangga, khususnya Malaysia. Pembicaraan itu terjadi sekitar Februari 2007, saat itu seolah Moeldoko sedang meramal perjalanan kariernya sendiri, karena pada tahun 2010, Moeldoko ditunjuk sebagai Panglima pertama Kodam XII/Tanjungpura (Pontianak), yang wilayahnya langsung berhadapan dengan Malaysia.
Tentu selain rencana strategis, pembentukan Kodam (baru) juga untuk memenuhi kepentingan taktis TNI AD. Sudah umum diketahui, bahwa sejak bergulirnya masa reformasi (1998), banyak pos-pos sipil yang dahulu biasa diisi perwira TNI, dikembalikan pada figur sipil sepenuhnya. Dampaknya baru terasa sekarang.
TNI AD hari ini, sedang mengalami surplus perwira, khususnya pada pangkat kolonel, sehingga terjadi kemacetan (bottleneck) dalam pengembangan karier perwira.
Dibentuknya Kodam baru, diharapkan sedikit mengurai penumpukan kolonel di TNI AD. Selain itu, anggota TNI juga memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya, dalam memperoleh kesejahteraan. Dengan menjadi pati, akses mereka pada sumber kesejahteraan akan semakin mudah. Sementara dalam waktu bersamaan, slogan-slogan patriotik seperti "NKRI Harga Mati” tetap terawat dengan baik.
Posisi Panglima Tertinggi
Rencana peresmian Kodam baru itu secara kebetulan bersamaan waktunya dengan road show Presiden ke sejumlah satuan TNI dan Polri. Banyak pengamat melihat, bahwa kunjungan Presiden ke sejumlah satuan itu adalah bagian dari konfirmasi, Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI (dan Polri).
Dalam hubungan dengan TNI, Jokowi acapkali dibandingkan dengan presiden sebelumnya (SBY), yang memang berasal dari tentara. Menilik latar belakangnya yang sipil, Jokowi dianggap tidak bisa mengontrol kalangan militer sepenuhnya, karena itu Jokowi meluangkan waktu untuk road show.
Asumsi bahwa Jokowi tidak bisa mengontrol sepenuhnya TNI, bisa juga dihubungkan dengan wacana pembentukan Kodam baru. Hampir mirip dengan respons masyarakat yang seolah tidak peduli, kira-kira Jokowi juga begitu. Jokowi tidak mau banyak berpolemik dengan pihak TNI AD dalam hal pembentukan Kodam (baru).
Artinya, sebagai presiden yang berasal dari kalangan sipil, Jokowi sudah tidak lagi menempatkan dirinya sebagai bagian dari civil society movement, yang umumnya bersikap kritis terhadap pembentukan Kodam baru. Dengan sadar Jokowi lebih memilih mengamankan kekuasaannya.
Dalam mengontrol TNI, tampaknya Jokowi lebih mendelegasikan kepada tiga orang kepercayaannya: Hendro Priyono, Luhut B Panjaitan dan Ryamizard. Tiga orang ini di masa aktif dulu, memang "macan-nya” Angkatan Darat. Dengan supervisi tiga figur inilah, Jokowi berusaha membangun jaringannya sendiri di TNI. Sejak hari pertama sebagai Presiden, gejala itu sudah terlihat, dengan memilih ajudan (ADC) yang sebelumnya menjabat Dandim Solo.
Dosa Tentara di Serambi Mekah
Bertahun-tahun rakyat Aceh menanggung kebiadaban TNI selama operasi militer menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Serupa kasus 65, darah yang membalur Serambi Mekah adalah dosa yang selamanya menghantui militer Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/S. Ananda
Perintah dari Istana
Pada 19 Mei 2003, pemerintahan Megawati melancarkan operasi militer di Aceh dengan mengirimkan lebih dari 30.000 serdadu dan 12.000 polisi. Sebelumnya Gerakan Aceh Merdeka menolak status otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah. Perang yang dikobarkan Megawati berlangsung selama setahun.
Foto: Getty Images/AFP/Raka
Senjata Gelap TNI
GAM sudah berperang demi kemerdekaan Aceh sejak tahun 1976. Kegigihan gerakan separatis itu menyulut perang berkepanjangan dengan TNI. Ironisnya GAM banyak membeli senjata secara gelap dari TNI. Tahun 2000 silam Polda Metro Jaya menggerebek sebuah rumah dan menemukan bukti pembelian senjata TNI oleh GAM dengan nilai sebesar tiga miliar Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/H. Simanjuntak
Berpaling Simpati
Perang pemberontakan Aceh 1990-1998 termasuk yang paling rentan pelanggaran HAM. Selama delapan tahun sekitar 12.000 nyawa menghilang, kebanyakan adalah warga sipil Aceh. Kebiadaban TNI selama itu diyakini justru menambah simpati rakyat Aceh terhadap gerakan separatis.
Foto: Getty Images/AFP/Inoong
Kejahatan Demi NKRI?
Tahun 2013 silam Komnas HAM menyelidiki lima kasus kejahatan perang selama DOM 1990-1998, yakni tempat penyiksaan Rumoh Geudong di Pidie, pembantaian massal di Bumi Flora, Aceh Timur dan Simpang KKA di Aceh Utara, serta kasus penghilangan paksa dan kuburan massal di Bener Meriah.
Foto: Getty Images/AFP/C. Youn-Kong
Intimidasi Demi Informasi
TNI berikrar akan lebih hati-hati selama operasi militer di Aceh 2003. Tapi serupa di Timor Leste, tentara dilaporkan sering mengintimidasi penduduk desa untuk mengungkap tempat persembunyian pemberontak. Human Rights Watch mencatat berbagai kasus penculikan dan penganiayaan anggota keluarga terduga gerilayawan. Desember 2003 Polri memerintahkan "menembak mati" siapapun yang "membawa bendera GAM."
Foto: Getty Images/AFP/Inoong
Pondok Kelabu
Pada 17 Mei 2003 tiga truk tentara mendatangi desa Jambo Keupok, Aceh Selatan. Di sana mereka menginterogasi penduduk desa ihwal persembunyian GAM. Hasilnya 16 penduduk tewas. Sebagian ditembak, ada yang disiksa atau bahkan dibakar hidup-hidup, tulis Komisi untuk Orang Hilang, Kontras. Insiden tersebut kemudian dikenal dengan istilah Tragedi Jambo Keupok.
Foto: Getty Images/AFP/C. Youn-Kong
Media Propaganda
Berbeda dengan DOM 1990-1998, TNI menggandeng media untuk menguasai pemberitaan ihwal perang di Aceh. Wartawan misalnya dilarang mengutip sumber dari GAM. "Saya berharap wartawan menulis dalam kerangka NKRI. Kalau saya terkesan keras, harap dimaklumi," tutur penguasa darurat militer Aceh saat itu, Mayjen Endang Suwarya.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Adu Klaim Soal Korban
Selama satu tahun antara Mei 2003 hingga 2004, sebanyak 2000 orang tewas dalam pertempuran. TNI mengklaim semuanya adalah gerilayawan GAM. Namun berbagai LSM dan termasuk Komnas HAM membantah klaim tersebut. Sebagian besar korban ternyata warga sipil biasa.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Pagar Manusia
Salah satu strategi TNI adalah membangun "pagar betis" yang terdiri dari warga sipil. Mereka diperintahkan untuk menyisir sebuah kawasan yang diduga dijadikan tempat persembunyian GAM. Dengan cara itu, TNI berharap GAM tidak akan menembak dan mau keluar dari sarangnya. Strategi serupa sering diterapkan saat Operasi Seroja di Timor Leste.
Foto: Getty Images/AFP/H. Simanjuntak
Tanpa Keadilan
Berbagai penyelidikan yang dilakukan LSM Kemanusiaan dan Komnas HAM terkait kejahatan perang di Aceh gagal membuahkan keadilan buat korban. Hingga kini sebagian rakyat Aceh masih hidup dengan trauma perang.
Foto: Getty Images/AFP/S. Ananda
10 foto1 | 10
Jokowi banyak merekrut koleganya, saat dia masih menjadi Walikota Solo dulu. Kecenderungan itu terus berlangsung sampai saat ini. Sepanjang bulan November ini, nama Marsekal Madya Hadi Tjahjanto (AAU 1986) pelan-pelan mulai masuk dalam wacana politik di Jakarta. Bulan-bulan sebelumnya namanya baru dikenal di kalangan terbatas, kini dia masuk kandidat KSAU, karena KSAU yang sekarang (Marsekal Agus Supriyatna, AAU 1983) akan pensiun. Hadi Tjahjanto baru awal November lalu memperoleh pangkat Marsekal Madya dalam posisi sebagai Irjen (Inspektur Jenderal) Kemenhan. Posisi sebelumnya adalah Sekretaris Militer Presiden, sebuah posisi bagi perwira tinggi di Istana.
Yang paling penting disampaikan adalah, saat Jokowi masih menjadi Walikota Solo, Hadi Tjahjanto adalah Komandan Pangkalan Udara Adi Soemarmo di Solo (2010-2012), dengan pangkat Kolonel. Kini sudah berpangkat Marsekal Madya, jadi hampir tiap tahun naik pangkat, sebuah kecepatan karier yang luar biasa.
Dengan hak prerogratifnya sebagai Pangti, Jokowi memang bisa mempromosikan siapa pun perwira yang dia kehendaki. Namun sebaiknya "pendekatan Solo” digunakan secara selektif. Kalau terlalu sering digunakan, dikhawatirkan justru menimbulkan resistensi dari TNI. Dan secara politis kurang menguntungkan Jokowi sendiri. Terlebih untuk periode mendatang ini, KSAU yang sedang menjabat, digadang-gadang bakal menjadi Panglima TNI berikutnya.
Penulis:
Aris Santoso (ap/as)
Sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai staf administrasi pada lembaga HAM (KontraS). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Jokowi Dikejar Dosa HAM Hingga ke Eropa
Presiden Joko Widodo membidik kerjasama bisnis untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tapi betapapun sang presiden berusaha menghindar, ia tetap dikejar dosa HAM masa lalu
Foto: Reuters/H. Hanschke
Sambutan Kenegaraan
Jerman mempersiapkan upacara kenegaraan buat menyambut Presiden Indonesia Joko Widodo. Di jantung Eropa dia menyisakan waktu tidak barang sehari. Jokowi terutama membidik kerjasama pendidikan kejuruan buat calon tenaga kerja muda. Dengan cara itu sang presiden ingin menempatkan kualitas sumber daya manusia sebagai pondasi pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Foto: DW/R.Nugraha
Dikejar Dosa
Namun Jokowi tidak sepenuhnya bisa melepaskan diri dari isu Lingkungan dan Hak Azasi Manusia. Selama kunjungannya di Berlin sang presiden diiringi aksi demonstrasi berbagai kelompok, antara lain organisasi lingkungan Rettet den Regenwald. Sementara International People Tribunal 65 menyerahkan petisi yang berisikan tuntutan kepada pemerintah untuk menyelesaikan isu HAM masa lalu.
Foto: DW/R.Nugraha
Sentilan Sang Pendeta
Agenda serupa juga menantinya di Istana Bellevue, saat bertemu dengan Presiden Jerman, Joachim Gauck. Gauck yang bekas pendeta itu membahas hak minoritas dan hubungan antar agama di Indonesia. Ia juga menyentil sang presiden ihwal hukuman mati. Jokowi berkilah Indonesia sedang dalam darurat narkoba
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Berguru ke Jerman
Setelah bertemu Gauck, Jokowi bergegas menemui Kanselir Angela Merkel yang terpaksa menunggu selama tiga menit di kantor kekanseliran di Berlin. Bersama perempuan paling berkuasa di Bumi itu Jokowi membahas berbagai kerjasama ekonomi, terutama pendidikan vokasi dan juga isu terorisme.
Foto: DW/R.Nugraha
Terjebak Isu HAM
Namun serupa dengan Gauck, Merkel turut membahas "kasus HAM di Indonesia, terutama di Aceh dan Papua." Soal isu pembantaian 1965, Jokowi akhirnya angkat bicara ketika sudah tiba di London. "Saya belum memutuskan apa-apa," ucapnya membantah klaim Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Panjaitan.
Foto: Reuters/H. Hanschke
Bergegas Mengejar Pertumbuhan
Tanpa membuang banyak waktu presiden beserta rombongan langsung terbang ke London, lalu Belgia dan Belanda dengan selang waktu satu hari. Di Eropa Jokowi membidik perjanjian perdagangan bebas yang ia canangkan akan selesai dalam dua tahun. Selain kerjasama pendidikan vokasi dengan Jerman, Jokowi juga menggandeng Inggris untuk membenahi industri kelautan.