Berhakkah orang-orang yang bukan tercatat WNI tapi berjuang untuk Indonesia diangkat sebagai pahlawan? Sebuah renungan tentang esensi kepahlawanan yang tidak melulu harus lekat dengan perlawanan bersenjata.
Iklan
Selamat untuk Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nusa Tenggara Barat, Laksamana Malahayati dari Aceh, Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau, dan Lafran Pane dari Yogyakarta, yang pada 2017 ini nama dan jasanya diabadikan sebagai pahlawan nasional; sebuah penghargaan tertinggi di Indonesia. Mengajukan dan mengangkat pahlawan nasional adalah proses yang melelahkan secara akademis, material, dan politik bagi mereka yang terlibat.
Lalu, sejauh manakah potensi kedinamisan prosesi pengangkatan seseorang untuk menjadi pahlawan nasional?
Sebelum membahas hal tersebut, perlu dipahami bahwa pahlawan nasional adalah sebuah proyek negara yang dapat menjelaskan karakter dari rezim pemerintah yang tengah berkuasa, dan politik menjadi bahan pertimbangannya, bahkan mungkin yang paling utama.
Jika rezim tengah gencar dengan kebijakan politik tertentu, maka nama yang diangkat biasanya sosok yang mencerminkan kebijakan tersebut. Misalnya, pemilihan Abdul Madjid dan Lafran Pane, dua orang ulama, dapat dibaca sebagai upaya menarik lebih dalam kepercayaan umat Islam terhadap pemerintah yang kerap diterpa isu kiri-komunis belakangan ini.
Sedangkan nama Malahayati dan Riayat Syah yang merupakan tokoh maritim-militer terkemuka dalam konflik dengan bangsa Eropa tersebut tentu mewakili visi maritim yang didengung-dengungkan Jokowi, sesuatu yang menurut saya positif, terutama karena akhirnya nama perempuan diangkat kembali.
Sukarno mengangkat Alimin dan Tan Malaka pada 1963 dan 1964, seiring dengan pendirian politiknya yang terkenal makin kekirian. Begitupun di masa Suharto, terutama di tahun 1990-an, yang cenderung mengangkat tokoh dengan jasa perlawanan bersenjata melawan Belanda yang kental sebagai representasi citra militeristik Orde Baru.
Republik di Ujung Bedil Kolonialisme
Negara ini lahir dari perjuangan dan pengorbanan. Menjelang akhir perang pun Indonesia bahkan masih menghadapi serbuan sekutu. Simak perjalanan panjang nusantara hingga merengkuh kedaulatannya.
Foto: public domain
Dari Portugis ke VOC
Awal abad ke 16 Portugis memasuki nusantara, berdagang dan mencoba menguasainya. Rakyat di beberapa wilayah melakukan perlawanan. Awal abad ke-17 giliran perusahaan Belanda, VOC yang mencari peruntungan di nusantara. Nusantarapun jatuh ke tangan Belanda, sempat direbutkan Perancis dan Inggris, lalu kembali dalam genggaman negeri kincir angin itu.
Foto: public domain
Pecah belah dan jajahlah
Untuk menguasai nusantara, Belanda memanfaatkan persaingan di antara kerajaan-kerajaan kecil. Berbagai pertempuran terjadi di bumi nusantara. Di Jawa, Perang Diponegoro (1825-1830) menjadi salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami Belanda selama pendudukannya di bumi Nusantara. Jendral de Kock memanfaatkan suku-suku lain berusaha menaklukan Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Foto: public domain
Pengorbanan darah dan nyawa
Wilayah-wilayah di luar Jawa pun tak ketinggalan mengalami berbagai pertempuran sengit. Salah satunya pertempuran di Bali tahun 1846 yang tergambar dalam lukisan ini, dimana Belanda mengerahkan batalyonnya dalam upaya menaklukan pulau Dewata tersebut.
Foto: public domain
Bersatu melawan penjajahan
Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia didirikan September 1926 oleh para mahasiswa. Organisasi ini bermaksud untuk menyatukan organisasi –organisasi pemuda yang tadinya terpecah-pecah dan dari berbagai perguruan tinggi seperti Stovia dan THS dan RHS. Perhimbunan besar ini memiliki pemikiran bahwa persatuan Indonesia merupakan senjata paling ampuh dalam melawan penjajahan.
Foto: public domain
Dijajah saudara tua
Dalam perang dunia ke-2, Jepang memerangi Tiongkok dan mulai menaklukan Asia Tenggara, termasuk Indonesia tahun 1941. Peperangan juga terjadi di berbagai belahan dunia. Ketika Jepang kalah dalam PD II, tokoh nasional merencanakan kemerdekaan Indonesia.
Foto: Imago
Teks bersejarah bagi bangsa Indonesia
Teks Proklamasi dipersiapkan. Dirumuskan oleh Tadashi Maeda, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo, dll. Teks tersebut digubah oleh Mohammad Hatta dan RM. Achmad Soebardjo Djodjodisoerjo dan ditulis tangan oleh Soekarno. Teks Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", diketik Sayuti Melik.
Foto: public domain
Proklamasi di Pegangsaan
Dengan didampingi Drs. Mohammad Hatta, Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pembacaan naskah proklamasi dilakukan di Jalan Pegangsaan Timur no 56. Jakarta, pada pukul 10.00 pagi.
Foto: public domain
Sang Saka Merah Putih berkibar
Sesaat setelah teks proklamasi diumumkan, bendera Sang Saka Merah Putih pun di kibarkan di halaman Pegangsaan Timur 56. Bendera bersejarah ini dijahit oleh istri Bung Karno, Fatmawati Soekarno. Kini tiap tanggal 17 Agustus, bendera Merah Putih berkibar dan menjadi bagian dari peringatan detik-detik kemerdekaanj Indonesia.
Foto: public domain
Dari Sabang sampai Merauke
Perang terus berkobar. 10 November 1945 di Surabaya, rakyat melawan sekutu. Di penghujung tahun yang sama, sekutu menyerbu Medan. Hampir semua wilayah Sumatera, berperang melawan Jepang, sekutu dan Belanda. Mulai dari Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua, para pejuang mengorbankan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville
Peperangan terus berkobar di berbagai wilayah di tanah air. berbagai diplomasi digelar. Perjanjian Renville disepakati Januari 1948, di atas kapal Amerika, USS Renville yang berlabuh di Tanjung Priok. Indonesia diwakili PM. Amir Syarifuddin. Saat itu, dissetujui garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dengan wilayah pendudukan Belanda.
Foto: en.wikipedia.org/Indonesia/Public Domain
Penyerahan kedaulatan
Tak semua mematuhi perjanjian Renville. Perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut. Politik Indonesia terus bergejolak. usaha Belanda meredam kemerdekaan Indonesia dikecam masyarakat internasional. Akhirnya penyerahan kedaulatan Indonesia dtandatangani di Belanda, tanggal 27 Desember 1949. Tampak pada gambar, Ratu Belanda, Juliana tengah menandatangani dokumen tersebut.
Foto: public domain
Peta Hindia Belanda dan sekitarnya
Peta Pinkerton untuk Hindia Timur: Mencakup dari Burma selatan ke Jawa, dari Andaman ke Filipina & New Guinea. Peta ini mencatat kota-kota, rawa-rawa, pegunungan, dan sistem sungai. Digambar oleh L. Herbert dan digravir oleh Samuel Neele di bawah arahan John Pinkerton. Sumber gambar: Pinkerton’s Modern Atlas, yang diterbitkan oleh Thomas Dobson & Co di Philadelphia pada tahun 1818.
Foto: public domain
Mencari makna kemerdekaan
Kini lebih dari 70 tahun merdeka, Indonesia memasuki tantangan baru: Memerdekaan diri dari berbagai belenggu penjajahan atas hak asasi manusia,pola pikir dan berekspresi serta memperjuangkan demokrasi.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang mengatur tentang pengangkatan pahlawan nasional agaknya memberikan celah untuk mengangkat mereka yang bukan warga negara Indonesia (WNI) atau "non-Indonesia” (secara harfiah, non-pribumi), selama memenuhi kriteria yang tertulis di undang-undang.
Sebenarnya sudah ada Ernest Douwes Dekker yang diangkat pada 1961, tetapi secara teknis, ia WNI. Maksud saya adalah, orang-orang non-pribumi yang hidup ketika konsep Indonesia belum muncul, namun sepak terjang kehidupannya memenuhi kriteria.
Persoalan kriteria WNI ini menarik, terutama jika dikaitkan dengan nama-nama yang hidup sebelum masa pergerakan nasional di awal abad ke-19. Sejatinya, bentrokan fisik Sultan Agung, Iskandar Muda, dan Hasanuddin dengan bangsa Eropa adalah konflik dengan konteks regional, ditambah minusnya kesadaran akan "Indonesia”.
Namun, bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Eropa itulah yang dianggap selaras dengan esensi perjuangan bangsa Indonesia sehingga nama-nama mereka layak diangkat. Bukankah dengan begitu, terbuka pula kesempatan bagi sosok-sosok Belanda, dan orang asing penentang lainnya, diajukan menjadi pahlawan nasional?
Beberapa tokoh dari golongan tersebut saya rasa layak untuk diajukan. Sebut saja nama Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, penulis yang menguak tabir buruk kekuasaan Belanda di Nusantara melalui novelnya, Max Havelaar.
Karyanya berhasil mengubah opini publik Belanda, dan Eropa, terhadap sistem kolonialisme Belanda, memicu serangkaian reformasi politik, sosial, dan ekonomi yang lantas menciptakan ruang dan kesempatan bagi lahirnya persepsi kebangsaan dan negara Indonesia beberapa dekade setelahnya. Ditambah, pada Mei 2017 lalu, Museum Multatuli baru saja diresmikan di Kota Rangkasbitung, Banten.
Perang Diplomasi demi Kemerdekaan Indonesia
Tanpa diplomasi Sjahrir dan tekanan internasional, Belanda masih akan bercokol di Indonesia, kendati proklamasi 45. Inilah empat tahun bersejarah yang dipenuhi intrik politik, pengkhianatan dan agresi milliter Belanda
Foto: picture-alliance/ANP
Kapitulasi Jepang, September 1945
12 Agustus 45, tiga hari setelah bom atom menghancurkan Nagasaki, Panglima Militer Jepang, Jendral Terauchi Hisaichi mengundang Soekarno dan Radjiman Wedyodiningrat ke Da Lat, Vietnam. Kepada keduanya Hisaichi mengindikasikan Jepang akan menyerah kepada sekutu dan membiarkan proklamasi kemerdekaan RI. Baru pada 2 September Jepang secara resmi menyatakan kapitulasi di atas kapal USS Missouri.
Foto: picture-alliance/dpa/United States Library Of Congres
Proklamasi, Agustus 1945
Setibanya di Jakarta, Soekarno diculik oleh pemuda PETA ke Rengasdengklok. Di sana ia dipaksa mengumumkan kemerdekaan tanpa Jepang. Malam harinya Soekarno menyambangi Mayjen Nishimura Otoshi. Kendati tidak mendukung, Nishimura menawarkan rumahnya untuk dipakai merumuskan naskah proklamasi. Keesokan hari Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan Timur No. 56
Foto: picture alliance/CPA Media
Kabinet Sjahrir I, November 1945
Soekarno dan Hatta diangkat sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Keduanya memerintahkan Sutan Sjahrir, diplomat ulung yang kemudian menjadi perdana menteri pertama, buat mencari pengakuan internasional. Tugas Sjahrir adalah mempersiapkan Indonesia menghadapi pertemuan Linggarjati. Pidatonya yang legendaris di sidang umum PBB 1947 hingga kini masih tercatat sebagai momen paling menentukan
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Perundingan Linggarjati, November 1946
Dalam pertemuan yang dimediasi Inggris, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di Jawa, Madura dan Sumatera. Tapi Belanda nyaris bangkrut dan berniat mengamankan akses ke sumber daya alam Indonesia. Sjahrir yang ingin menghindari perang sempat menyetujui pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Belanda. Idenya ditolak Sukarno, dan Sjahrir harus mundur sebulan setelah penadatanganan perjanjian.
Foto: Public Domain
Agresi Militer I, Juli 1947
Akibatnya Belanda menyerbu Sumatera dan Jawa demi merebut sumber daya alam dan lahan pertanian. Apa yang oleh Indonesia disebut sebagai Agresi Militer, dinamakan Belanda "misi kepolisian" untuk menghindari campur tangan internasional. Parlemen Belanda awalnya menginginkan perluasan agresi buat merebut ibukota Yogyakarta, tapi ancaman sanksi PBB membuat Den Haag menarik pasukannya dari Indonesia.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville, Desember 1947
Di atas kapal USS Renville, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda cuma mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan. Belanda kala itu sedang menunggu pemilu legislatif. Pemerintahan yang baru kemudian mengambil kebijakan yang lebih keras terhadap Indonesia.
Foto: Publilc Domain
Agresi Militer II, Desember 1948
Belanda memanfaatkan masa liburan natal PBB buat menggelar Agresi Militer II. 80.000 pasukan diterjunkan. Soekarno, Hatta dan Sjahrir ditangkap. Akibatnya Sjafruddin Prawiranegara diperintahkan membentuk pemerintahan darurat. Uniknya operasi militer di Indonesia didukung 60% penduduk Belanda. Sembilan hari setelah dimulainya agresi, PBB menelurkan dua resolusi yang menentang serangan Belanda
Foto: Getty Images/Keystone
Konferensi Meja Bundar, Agustus 1949
Setelah menjalin kesepakatan dalam perjanjian Roem Roijen, Indonesia dan Belanda sepakat bertemu di Den Haag atas desakan internasional. Belanda bersedia menarik mundur pasukan dan mengakui kedaulatan RI di semua kepulauan, kecuali Papua barat. Sebagai gantinya Indonesia harus membayar sebagian utang pemerintahan kolonial, termasuk yang dipakai untuk agresi militer selama perang kemerdekaan.
Foto: Getty Images/Keystone
Penyerahan Kedaulatan, Desember 1949
Ratu Juliana menandatangani akta penyerahan kedaulatan kepada RI di Amsterdam pada 27. Dezember 1949. Setelah kemerdekaan, Indonesia tenggelam dalam revolusi buat mengamankan kesatuan republik. Sementara Belanda menghadapi tekanan internasional. Sikap Den Haag soal Indonesia dan Papua bahkan nyaris membatalkan keanggotaan Belanda di NATO, yang kala itu mendukung kemerdekaan Indonesia.
Foto: picture-alliance/ANP
9 foto1 | 9
Kelebihan seorang Multatuli adalah gagasan pemikirannya, sesuatu yang cenderung dinomorduakan dalam urusan menentukan kepahlawanan seseorangdi Indonesia. Hal itu pula yang menyebabkan betapa populernya nama-nama yang diangkat berdasarkan jasa militer mereka, baik dalam posisinya sebagai pemberontak partisan, tentara berpangkat, atau raja-raja bermental militeristik, daripada nama-nama pemikir dan mereka yang berkonfrontasi secara intelektual.
Hal ini bisa jadi mengkhawatirkan, karena pemujaan berlebihan terhadap aspek-aspek konfrontasi fisik dalam sejarah dapat mempengaruhi mental masyarakat Indonesia di masa sekarang, misalnya, menjadi acuan untuk melegitimasikan kekerasan.
Atau jika pakem tersebut masih cukup relevan, mungkinkah Pieter Erberveld suatu saat bisa diajukan? Menurut catatan sejarah, ia dikatakan terang-terangan ingin mendompleng kekuasaan VOC di Batavia. Pieter adalah seorang Indo-Jerman, dan ia masuk Islam, yang mendekatkannya dengan seorang ningrat Banten beserta pengikutnya yang ikut berkonspirasi dengannya.
Sayang, plot pembangkangan yang rencananya dilaksanakan pada malam tahun baru 31 Desember 1721 itu gagal karena munculnya seorang pengkhianat. Pieter lalu dieksekusi dengan kejam. VOC sampai membuat monumen yang mengutuk pembangkangan Pieter, saking geramnya.
Tidak terbatas soal kepahlawanan konfrontatif semata, kalangan ilmuwan Eropa, yang mengabdikan dirinya untuk kemajuan sains, rasanya juga layak diganjar tanda kehormatan karena mempelopori dan merawat sains di Indonesia, sebut saja seperti Rumphius, Eijkman, Junghuhn, Bosscha, dan lain-lain.
Nama-nama tersebut sebenarnya sudah terkenal di kalangan institusi-institusi Indonesia yang menyandang warisan ilmu pengetahuan mereka masing-masing, tetapi rasanya pemerintah perlu merancang sebuah formula pemberian tanda kehormatan yang lebih tinggi, mungkin bukan pahlawan nasional, tetapi setara dan secara ilmu pengetahuan mengena bagi publik Indonesia.
Belum lama, pemerintah memberikan ruang sosial yang lebih kepada kaum penghayat kepercayaan, ditandai dengan diizinkannya pencantuman kepercayaan mereka di kolom KTP. Dari pengakuan ini, mungkin saja di masa depan tokoh-tokoh penghayat kepercayaan diajukan sebagai pahlawan nasional pula, Samin Surosentiko misalnya.
Apakah Anda bersedia mati bagi negara?
DW bertanya pada beberapa orang di jalanan kota Berlin, apakah mereka bersedia mati bagi negara. Jika tidak, apakah ada alasan lain untuk berkorban bagi negara?
Foto: DW/S. Kirby
Fuat (32 thn, Jerman)
“Saya tidak mau mati bagi negara, karena saya tidak bisa bilang bahwa sanya punya satu negara. Orangtua saya dari Turki dan saya besar di Jerman. Saya merasa tidak punya negara.” Kebanyakan warga Eropa Barat enggan untuk berperang bagi negara mereka. Hanya 25 persen yang mengatakan bersedia. Di Turki, 75 persen warga siap panggul senjata bagi bangsa mereka.
Foto: DW/S. Kirby
Iulia (26 thn, Rumania)
“Tidak mau mati. Mungkin saya akan ikut ambil bagian dalam aksi protes, tidak lebih dari itu. Sejarah negara saya tidak membuat saya menginginkan sesuatu yang lebih. Saya tidak berpikir bisa mengubah sesuatu, walau seandainya saya menyatakan pendapat saya. “ Jajak pendapat pada tahun 2014 menunjukkan, 38 persen warga Rumania bersedia berperang bagi negara, sementara 41 persen menolaknya.
Foto: DW/S. Kirby
James (27 thn, pengungsi dari Kamerun)
"Saya siap mati untuk negara saya. Saya mencintai negara saya. Namun situasi politik, tidak memungkinkan berjuang sendirian. Masalahnya adalah terdapat banyak kepentingan. Saya ingin membuat perubahan, tapi diperlukan banyak orang dengan gagasan, ideologi yang sama untuk memulainya. Saya menolak kekerasan. Kita harus tegas menunjukkan bahwa kekerasan tidak pernah bisa pecahkan masalah..
Foto: picture-alliance/dpa/N. Chimtom
Anonim (Jerman)
"Saya anti-perang. Saya turun berdemonstrasi untuk menentang perang di Ukraina. Saya menolak bergabung dengan militer Jerman, ketika saya dipanggil wajib militer saat Perang Kosovo." Di Jerman, hanya 18 persen warga yang menyatakan bersedia berjuang bagi negara.
Foto: DW/S. Kirby
Soraya (15 thn, Perancis dan Jerman)
"Saya siap membela nilai-nilai tertentu. Tapi saya pikir, kekerasan bukanlah solusi. Saya tidak berpikir akan berjuang untuk negara saya. Tidak ada negara yang bisa saya sebut sebagai negara saya. Dan juga ada berbagai keputusan yang saya tidak setujui. Kita tidak selalu didukung sebagaimana seharusnya. "
Foto: DW/S. Kirby
Emily (30, Kanada)
"Saya tidak tahu, apakah saya bersedia mati untuk negara saya. Ini satu pertanyaan besar dan saya tidak pernah benar-benar berpikir tentang hal ini. Saya orang Kanada, jadinya saya tidak pernah berada dalam posisi seperti itu. Saya pikir, perang adalah sesuatu yang konyol." Menurut jajak pendapat, 30 persen warga Kanada rela mati untuk negara mereka.
Menawarkan nama-nama ‘londo', alias orang-orang koloni Belanda berkulit putih, kemungkinan besar akan menimbulkan kontroversi. Namun, bagaimana respon masyarakat dan pemerintah terhadapnya akan menjelaskan banyak hal tentang mentalitas orang-orang Indonesia dalam menghadapi tren historiografi Indonesia yang kian dinamis. Sejarah Indonesia sejatinya bukanlah kisah-kisah bentrokan antara pribumi melawan Eropa, melainkan bentrokan kaum pembebas melawan kaum penindas. Kaum pembebas tidak selamanya pribumi, begitu pula dengan kaum penindas tidak selamanya Eropa. Hal itu sebaiknya dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menilai kepahlawanan seseorang.
Masalahnya, siapakah yang cukup berani untuk mengajukan nama-nama ‘londo' tersebut? Memang terlihat sulit, tapi bukan mustahil. Menurut peraturan undang-undang, calon pahlawan nasional harus diajukan dari tingkat daerah untuk kemudian diseleksi menuju tingkat pusat, dan tentu saja kelengkapan sejarah tokoh tersebut sudah harus ditulis dengan matang pula; sistem yang menjadikan prosesi pahlawan nasional sebuah ajang bergengsi baik secara politik, sosial, dan budaya, bagi pemerintah daerah. Tentu saja, kehadiran penggagas nama calon pahlawan dan pemimpin daerah yang progresif berperan penting di dalamnya.
Pemberian kehormatan tertinggi kepada sosok-sosok ‘londo' saya rasa akan berdampak pula dalam menghangatkan hubungan diplomatik Indonesia-Belanda, yang agaknya masih saling memandang sinis satu sama lain akibat masa lalu kelam keduanya sebagai yang menjajah dan dijajah. Harapan lainnya adalah untuk memberikan sebuah perspektif baru dalam memberikan arti sebuah kepahlawanan. Modernitas dan dunia yang makin terhubung seharusnya dapat menginspirasi publik Indonesia untuk meninggalkan pemikiran-pemikiran sempit dalam menafsirkan masa lalu, terutama dari cara menilai rekam jejak sosok-sosok sejarah dan arti kepahlawanan nasional mereka.
Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)
Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
@RahadianRundjan
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Tradisi 17 Agustus Melekat Hingga ke Jerman
Bagaimana masyarakat Indonesia di Berlin, Jerman, dan sekitarnya merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia? Apakah berbeda dengan di kampung halaman? Simak dalam Pesta Rakyat berikut ini:
Foto: DW/A. Purwaningsih
Jauh dari kampung halaman
Jauh dari kampung halaman, tidak mengurangi semangat warga Indoensia di Berlin dan sekitarnya untuk merayakan dirgahayu Republik Indonesia.
Foto: DW/A. Purwaningsih
‘Indonesia Kerja Nyata‘.
Tema untuk peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 : Mari wujudkan cita-cita bangsa dengan ‘Indonesia Kerja Nyata‘. Pada siang hari dalam acara Pesta Rakyat di Wisma Indonesia, Berlin, dari panggung musik ini, terdengar berbagai lagu Indonesia dimainkan, di antaranya 'Oh..oh Karmila.....'
Foto: DW/A. Purwaningsih
Tenda putih
Tenda-tenda putih berjejer rapi di halaman Wisma Indonesia nan astri, tempat terselnggaranya Pesta Rakyat di Berlin.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Dari musik sampai lomba
Selain musik, apa saja kegiatan warga Indonesia di Berlin saat 17 Agustus-an? Tentu tak beda dengan yang di tanah air, yakni perlombaan. Tak ketinggalan undian berhadiah.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Balapan, yuk
Lomba untuk kategori anak-anak, seperti tradisi 17 Asgustus-an pada umumnya: balap kelereng dalam sendok, memasukan pensil ke dalam botol, dan lain-lain. Pemenang masing-masing perlombaaan tentu saja mendapat bingkisan.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Lomba untuk yang dewasa
Untuk orang dewasa, juga disediakan berbagai macam lomba yang membawa keceriaan suasana. Para penonton berbahak-bahak ketika lomba makan digelar. Para peserta dibagi atas beberapa kelompok yang masing-masing terdri atas lima orang.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Bangun kebersamaan tim lewat makan
Lima piring tertutup disajikan, dan para anggota tim masing-masing kebagian satu piring yang dimakan bergantian. Isi dalam piring lomba makan, di antaranya kacang wasabi, beberapa potong wortel mentah sampai satu piring kecil coklat. Hati-hati tersedak ya….
Foto: DW/A. Purwaningsih
Anak-anak lebih tenang?
Lomba makan ini juga diadakan buat kategori anak-anak. Nampaknya, anak-anak lebih ‘kalem‘ ketimbang orang dewasa saat berlomba makan.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Makan-makan
Tak cuma lomba makan, tapi juga makan kenyang. Pesta Rakyat juga menggelar makan-makan seperti di Indonesia. Pesta Rakyat di Berlin menyedian makanan khas Indonesi bagi semua pengunjung. Apa saja jenisnya?
Foto: DW/A. Purwaningsih
Dari uduk sampai lontong
Mulai dari nasi uduk, semur daging sapi, sambal goreng kentang petai, tempe kering, lengkap dengan sate dan lontong tersedia di sini. Kerupuk dan sambal, tentunya tidak ketinggalan.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Serasa piknik
Tiada kebersamaan tanpa mengunyah dan makan bersama. Tradisi ‘mangan ora mangan ngumpul‘ juga tetap dipelihara warag Indonesia di Jerman.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Kue kecilnya apa?
Es buah jadi makanan penutup. Tapi ada juga penganan kecil khas Indonesia yang ikut memanjakan perut pengunjung tentunya.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Sang Merah Putih
Bendera Merah Putih menjadi ornamen dan warna yang mendominasi di lokasi kegiatan Pasar Rakyat di Berlin yang diadakan dalam rangka menyambut kemerdekaan RI.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Silaturahmi
Praktis, Pesta rakyat di Wisma Indonesia di Berlin ini sekaligus jadi ajang silaturahmi warga.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Mempertemukan dua budaya
Yang satu pakai peci dan sarung, yang lainnya pakai rok Bayern, Jerman. Pengunjungnya? Macam-macam, ada pula orang Jerman yang berkebaya.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Tamu kecil tertidur
Cuaca bulan Agustus 2016 cukup hangat. Tepat di hari Pesta rakyat digelar temperaturnya mencapai 27 derajad Celsius. Ditiup angin sepoi-sepoi di bawah pohon kecil, tampak ada yang tertidur di acara ini.