Indonesia masih melegalkan pernikahan anak. Mereka boleh menikah ketika sudah menginjak usia 16 tahun. Apakah Anda memperbolehkan anak Anda menikah di usia tersebut? Simak opini Tunggal Pawestri berikut ini.
Iklan
Indonesia masih melegalkan pernikahan anak. Pernyataan tersebut boleh jadi terlihat provokatif, namun sulit disangkal. Terlebih saat Mahkamah Konstitusi mengandaskan gugatan para aktivis perempuan dan perlindungan hak anak pada bulan Juni 2015.
Mahkamah Konstitusi menolak menaikkan batas minimal usia pernikahan anak perempuan dari 16 tahun di pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan 1974 menjadi 18 tahun, mengikuti batas usia anak yang ada dalam UU Perlindungan Anak no 35 tahun 2014.
Dalam pertimbangan keputusannya, Mahkamah Konstitusi menilai tidak ada jaminan, peningkatan batas usia menikah anak perempuan dari 16 menjadi 18 tahun akan dapat mengurangi persoalan kesehatan reproduksi, perceraian dan masalah sosial.
Saking geramnya dengan keputusan tersebut, salah satu penggugat yakni ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia menyatakan bahwa negara telah dengan terbuka berperan melegalkan praktik paedofilia.
Bagi sebagian masyarakat urban terdidik, isu pernikahan anak seperti tidak nyata. Pernikahan anak hanya dianggap kasuistik, terjadi sesekali dan jumlahnya tidak signifikan.
Dapat dimaklumi, bagi orang Jakarta terutama, kasus pernikahan anak yang cukup mengemuka dan paling santer pemberitaannya memang hanya satu kasus saja, yakni Syekh Puji dari Semarang yang terjadi di kisaran 2009-2010.
Padahal data bicara lain. Data Susenas 2012 menunjukkan, sekitar 11,13% anak perempuan menikah pada usia 10-15 tahun dan sekitar 32,10 % menikah pada usia 16-18 tahun.
Apakah Anda bisa membayangkan? Hampir separuh jumlah pernikahan di Indonesia dilakoni oleh anak perempuan usia 10 hingga 18 tahun. Usia di mana mereka mestinya mendapatkan pendidikan yang layak dan perlindungan dari keluarga, masyarakat dan negara? Kegeraman para pegiat perempuan dan perlindungan hak anak terhadap Mahkamah Konstitusi tentu menjadi masuk akal.
Saat dunia sedang bersama-sama mencoba mengurangi jumlah pernikahan anak, Indonesia malah melanggengkannya. Lewat situsnya di cfr.org Council of Foreign Relations menyebut Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka tertinggi pengantin anak.
Pernikahan Anak di Asia
Pernikahan anak mewabah di Asia Selatan kendati dinyatakan ilegal oleh Undang-undang. Kemiskinan dan permusuhan antara suku sering menjadi alasan. Beberapa bocah yang dipaksa menikah bahkan belum mencapai usia lima tahun
Foto: picture-alliance/Pacific Press/M. Asad
Lari di Tahun Kelima
Bas Gul yang berusia 17 tahun bernasib muram. Saat usia 11 tahun ia dipaksa menikah dengan bocah berusia lima tahun. Di tahun kelima Bas Gul melarikan diri dan sejak itu bersembunyi di tempat penampungan khusus perempuan di Bamiyan, Afghanistan. Situasi perempuan di Hindukush dipersulit dengan budaya lokal yang cendrung diskriminatif terhadap kaum hawa.
Foto: Getty Images/P. Bronstein
Pengantin Balita
Seorang remaja berusia 16 tahun (ki) menuggu upacara pernikahan dengan bocah perempuan yang jauh lebih muda (ka) di India. Keduanya dinikahkan secara massal bersamaan dengan perkawinan 140 bocah lain yang berusia antara empat hingga 17 tahun. Orangtua dan lingkungan sosial berperan besar dalam budaya pernikahan anak di India.
Foto: Getty Images/AFP
Pernikahan Antar Klan di Pakistan
Pernikahan anak di Pakistan terutama dipraktekkan di wilayah kesukuan. Kebudayaan setempat mengenal tradisi pernikahan antara klan atau suku yang sering melibatkan anak di bawah umur. Menurut Institute for Social Justice, sebuah LSM di Pakistan, dalam banyak kasus pernikahan di bawah umur didorong oleh himpitan kemiskinan.
Foto: picture-alliance/R. Harding
Korban Permusuhan Keluarga
Dalam beberapa kasus kepolisian berhasil mencegah terjadinya pernikahan anak, seperti di Pakistan. Aparat keamanan lokal kemudian menahan ayah kedua calon mempelai. Kejaksaan menyeret mereka dengan dakwaan berupaya menikahkan bocah perempuan berusia empat tahun dengan bocah laki-laki berusia tujuh tahun. Pernikahan ini dimaksudkan untuk mengakhiri pertengkaran antara keluarga.
Foto: Getty Images/AFP/R. Tabassum
Tradisi Mengalahkan Konstitusi
Mamta Bai yang berusia 12 tahun, baru menuntaskan upacara pernikahan dengan bocah berusia 14 tahun, Bablu di Bhopal, India. Sejatinya pemerintah India telah melarang pernikahan anak. Namun Undang-undang belum mampu mengubah tradisi yang telah mengakar selama ratusan tahun.
Foto: picture-alliance/AP Photo/P. Hatvalne
Nikah Paksa di India
Sharadha Prasad (Ki) dan pengantin perempuannya Kumla Baiof (ka) ikut serta dalam upacara pernikahan massal untuk 50 remaja di bawah 18 tahun. Parlemen India sejak 2006 telah menelurkan Undang-undang yang melarang pernikahan di bawah umur. Tapi organisasi HAM mengeluhkan, ribuan bocah, beberapa dikabarkan berusia di bawah lima tahun, tetap dinikahkan secara paksa setiap tahunnya.
Foto: Getty Images/AFP/Str
Wabah di Bangladesh
Bangladesh termasuk memiliki tingkat pernikahan anak tertinggi di dunia. Sepertiga perempuan Bangladesh mengaku menikah sebelum berusia 15 tahun. Kendati dilarang Undang-undang, orangtua mempelai bisa menyuap aparat negara untuk mengeluarkan sertifikat nikah. "Pernikahan anak sedang mewabah di Bangladesh," kata Heather Barr, peneliti untuk Human Rights Watch di Bangladesh.
Foto: picture-alliance/Pacific Press/M. Asad
7 foto1 | 7
Zero Tolerance Pada Pernikahan Anak
Tentu saja kandasnya uji materi di Mahkamah Konstitusi tidak menyurutkan upaya kelompok perempuan dan perlindungan hak anak untuk menghentikan pernikahan anak. Beberapa kelompok perempuan dan pengusung isu hak kesehatan reproduksi membuat modul pendidikan kesehatan reproduksi yang juga memuat mengenai resiko pernikahan anak.
Selain itu upaya lain adalah dengan melobi para pemimpin daerah untuk turut mengampanyekan penghentian pernikahan anak melalui peraturan daerah (perda) atau kebijakan lainnya. Usaha ini dianggap cukup efektif. Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta telah membuat sebuah Perbup no.36/2015 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak karena melihat fakta peningkatan jumlah perkawinan anak.
Resep Ilmiah Membesarkan Anak Bahagia
Membesarkan anak yang bahagia bukan perkara mudah. Menurut studi tentang kebahagiaan yang dilakukan situs Happify, ada beberapa faktor yang memperngaruhi kebahagiaan anak. Berikut beberapa diantaranya:
Foto: karelnoppe/Fotolia
Asuhan ibu
Menurut penelitian yang berfokus pada hippocampus - bagian dari otak yang menangani stres dan memori-- Anak-anak balita dalam asuhan ibu penuh kasih sayang dan penuh dukungan, memiliki hippocampus 10 persen lebih besar ketika mulai masuk usia sekolah.
Foto: Colourbox
Pentingnya cinta ayah
Selain menegakkan aturan, ayah perlu untuk mendengarkan anak dan menjalin hubungan yang erat dengan mereka. Beri kebebasan wajar pada anak-anak. Anak-anak yang merasa ditolak atau tidak dicintai oleh orang tua mereka, lebih mengembangkan sifat permusuhan, agresif dan menunjukan atau ketidakstabilan emosi.
Foto: Fotolia/goodluz
Kebahagiaan orangtua juga berpengaruh
Kepuasan hidup orangtua bisa dalam segi pendidikan, pendapatan maupun pekerjaan yang mereka sukai, serta waktu yang diluangkan bersama keluarga. Namun orang tua juga perlu waktu untuk melakukan hal menyenangkan bagi diri sendiri, misalnya nonton film, menjalin pertemanan, dll.
Foto: Fotolia/nenetus
Pentingnya optimisme
Ajarkan anak untuk selalu optimistis. Ini berguna untuk meredakan stress ketika mereka puber. Bahkan anak umur lima tahunpun bisa memetik manfaat dari cara berpikir positif. Mereka juga bisa belajar bagaimana orangtua mereka mengatasi masalah.
Foto: Fotolia/drubig-photo
Puji anak atas usahanya, bukan otaknya
Anak yang terbiasa dipuji atas otak dan ketrampilannya, ketimbang usahanya, mengalami masa sulit saat mengalami kegagalan. Anak yang dipuji atas usahanya akan lebih memiliki motivasi dan tidak takut akan tantangan.
Foto: Fotolia/olly
Pendekatan tiap anak beda-beda
Ketika cara mengajar orangtua tak cocok dengan kepribadian anak, maka anak akan cenderung depresi dan ketakutan. Jika mereka mampu mengatasi emosi dan tingkah lakunya sendiri, maka mereka anak lebih mandiri. Demikian sebaliknya.
Foto: Fotolia/Jörg Hackemann
Lebih tangguh dari yang kita kira
80% anak yang orangtuanya berpisah tidak jatuh dalam problem psikologis yang serius. Orangtua yang memelihara komunikasi baik , mendorong anak-anak mereka mencapai cita-cita, dekat dengan keluarga dan menikmati jalinan hubungan dengan orang lain. Anak-anak yang keluarganya diselimuti konflik, cenderung terganggu dalam mengikuti pelajaran di sekolah dan kesulitan mengatasi masalah emosional.
Foto: goodluz - Fotolia
Anak ingin lebih berarti
Caranya bisa dengan berbuat baik bagi temannya, menyelenggarakan acara atau bergabung dengan klub. Rasa empati juga perlu dibangun sedari dini, mulai dari menemani kawan yang sedih, memuji orang lain, berbagi dengan sesama atau meluangkan waktu dengan kakek nenek.
Foto: Monkey Business/Fotolia
Anak-anak zaman sekarang…
.. lebih sedikit waktu bermain ketimbang anak-anak 20 tahun lalu. Bermain penting untuk membangun kreativitas, ketrampilan motorik, kekuatan emosional, kognisi dan ketrampilan sosial.
Foto: Anatoliy Samara - Fotolia
Olahraga vs TV
Anak-anak yang latihan fisik atau berolahraga lebih percaya diri. Mereka yang merasa baik dalam jenis sport tertentu bahkan lebih percaya diri ketimbang yang memang benar-benar ‘jago‘ di bidang itu. Studi 7 tahun atas 4000 remaja menunjukkan, anak-anak yang banyak menonton TV lebih memperlihatkan gejala depresif., dengan peningkatan 8% dari setiap jam menyaksikan TV.
Foto: Fotolia/HaywireMedia
10 foto1 | 10
Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Surat Edaran Gubernur No.150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang merekomendasikan usia perkawinan untuk laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun.
Tidak berhenti di Mahkamah Konstitusi saja. Saat ini pun kelompok perempuan, perlindungan hak anak dan kelompok masyarakat sipil lainnya terus berupaya agar ada jalan keluar legal untuk menghentikan pernikahan anak.
Salah satu mekanisme legal yang sekarang juga sedang ditempuh adalah meminta pemerintah untuk mengeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak. Sebuah draft sudah dirancang dan saat ini sedang terus diusahakan untuk melobi pemerintah agar mengesahkan draft ini. Apakah akan disetujui? Masih belum tahu.
Sebuah peribahasa kuno Afrika yang sangat terkenal mengatakan bahwa ‘butuh penduduk satu kampung untuk membesarkan seorang anak'. Bagaimana dengan membesarkan anak-anak perempuan di Indonesia? Apakah kita akan terus diam?
Bukankah melindungi anak-anak Indonesia adalah tugas kita semua? Semoga kita segera bersepakat dan bekerja keras untuk menghentikan pernikahan anak. Jika jawabannya ya, maka masa depan yang lebih baik tentu menunggu anak-anak perempuan Indonesia.
Penulis:
Tunggal Pawestri adalah feminis yang aktif bekerja untuk isu-isu perempuan, seksualitas, keragaman dan HAM. Selain aktif bekerja untuk isu-isu kemanusiaan, saat ini Tunggal Pawestri juga mulai berkiprah sebagai produser film.
@tunggalp
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
10 Hal Hasil Didikan Ibu Tangguh
Banyak orang bilang, menjadi perempuan itu tidak mudah dan banyak tuntutan. Namun ada pengalaman dan pelajaran yang dapat dipetik oleh anak-anak perempuan yang dibesarkan oleh seorang ibu yang bermental tangguh.
Foto: picture-alliance/Bildagentur-online
Belajar Mandiri
Tidak perlu seorang pria untuk menjaga Anda. Anda mampu menjalani kehidupan penuh makna dan bahagia, dengan ataupun tanpa pendamping. Anda dapat mengurus rumah, atau membesarkan anak sekaligus memiliki karir yang berkembang.
Foto: Fotolia/WavebreakmediaMicro
Belajar Mencintai Tanpa Syarat
Anda belajar arti cinta tanpa syarat. Ibu mengorbankan waktu, kesehatan dan kesenangan demi Anda dan keluarga, tanpa mengeluh. Dia dengan senang hati memberikan lebih daripada untuk dirinya sendiri. Dia mengajarkan Anda: cinta tanpa pamrih dan tanpa syarat.
Foto: Fotolia/Aleksandr Lobanov
Belajar Mencintai Diri Sendiri
Kita belajar berjalan, berlari dan terus melangkah, bahkan ketika seluruh dunia bertentangan denganmu. Kita belajar percaya pada diri sendiri ketika semua orang meragukanmu. Kita belajar bangkit kembali dari kegagalan demi kegagalan dan berjuang untuk kehidupan yang kita inginkan.
Foto: Fotolia/Konstantin Yuganov
Belajar Menjadi Kuat dan Lembut
Seorang ibu diam-diam menangisi rasa sakit yang kamu derita. Ia pun bisa begadang sepanjang malam merawatmu ketika kamu sakit. Dia kuat sekaligus lembut hati. Cara dia memeluk ketika Anda sedang galau menunjukkan rasa kasih sayang yang tak tertandingi.
Foto: picture alliance/ZB
Belajar Bahwa Tak Mudah Jadi Perempuan
Anda belajar bahwa bisa jadi tiba-tiba Anda dianggap enteng atau tak serius oleh orang-orang di sekitar Anda. Tetapi ibu mengajarkan bahwa Anda dapat berdiri di tengah orang banyak dan membuat semua orang mendengarkan suara Anda dan menerima ide-ide Anda.
Foto: Fotolia/Kzenon
Belajar Untuk Tidak Pernah Melihat ke Belakang
Kehidupan itu naik turun dan hal itu tak perlu dipertanyakan lagi. Belajar untuk tidak melihat masa lalu dan berandai-andai. Anda hanya akan terus melihat ke masa depan dan membiarkan masa lalu yang pahit meredup dengan sendirinya.
Foto: Fotolia/Minerva Studio
Belajar Tentang Pentingnya Kesabaran dan Keyakinan
Optimistis, bahwa semua akan baik pada akhirnya. Badai akan berlalu dan besok adalah hari baru. Anda belajar untuk bersabar dengan kehidupan, bersabar dengan waktu, bersabar menyongsong kesuksesan dan bersabar menghadapi masalah. Anda belajar dari ibu, bahwa kesabaran adalah kekuatan.
Foto: Gerhard Seybert/Fotolia
Belajar Menciptakan Kebahagiaan Sendiri
Anda dapat menemukan kebahagiaan dalam kehidupan yang sulit. Anda masih bisa bahagia bahkan jika Anda membawa beban dunia di pundak Anda. Anda sendiri yang menentukan kebahagiaan Anda.
Foto: Fotolia/pressmaster
Belajar Bahwa Ibu Lebih Tahu Banyak Tentang Cinta Daripada Anda
Bahkan mesikpun kita berada di generasi berbeda, atau bahkan jika Anda tidak menyukai keputusan atau pilihannya soal cinta, ada baiknya dengarkan saran-saran ibu dan pertimbangkan. Pada dasarnya, dia tidak ingin melihat Anda patah hati.
Foto: Fotolia/N-Media-Images
Belajar Menjadi Ibu yang Baik
Seorang ibu yang menunjukkan bagaimana usahanya dalam merawat keluarga dan kerja keras dapat terbayar. Dia menunjukkan Anda bagaimana menjadi pelindung, penuh kasih dan tangguh. Dari situ kita bisa belajar dan memetik pengalaman yang mungkin bisa berguna bagi kita di kemudian hari.