1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Museum Pemerintahan Darurat RI (PDRI) Diresmikan

20 Desember 2024

Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Fadli Zon meresmikan Museum Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Koto Tinggi, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat tepat di Hari Bela Negara (19/12/2024).

Delegasi Indonesia tiba di Belanda untuk perundingan penyerahan kedaulatan, Agustus 1949
Delegasi Indonesia tiba di Belanda untuk perundingan penyerahan kedaulatan, Agustus 1949Foto: Getty Images/Keystone

Adapun museum PDRI mulai dibangun sejak 2012 melalui proses panjang. Tata pamer dan narasi museum ini dimulai dari Proklamasi Kemerdekaan hingga terbentuknya NKRI 1950.

Fadli berharap Museum PDRI dapat menjadi ikon museum sejarah di Indonesia. Mengingat PDRI telah menjadi episode penting selama akhir Desember 1948 hingga 13 Juli 1949.

"Karena hari ini Hari Bela Negara, kita jadikan peristiwa ini sebagai momen pengingat perjuangan PDRI. Sejarah PDRI melengkapi babak atau episode penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan khususnya pada 1948-1949. Kementerian Kebudayaan akan menghidupkan kembali Direktorat Sejarah untuk menjadi fondasi bagi narasi bersama dan memori kolektif bangsa. Mengokohkan identitas penting di era globalisasi, di tengah gempuran arus informasi dari luar," ungkap Fadli Zon dalam keterangannya, Jumat (20/12/2024).

Pada kesempatan ini, Fadli menyampaikan pada 19 Desember 1948, Yogyakarta jatuh dikuasai Belanda hingga para pemimpin negara ditahan. Bahkan, saat itu Belanda menyebut Indonesia sudah tak ada lagi.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Namun, lanjut Fadli, Soekarno dan Hatta sudah mengantisipasi agresi militer Belanda ini dan memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafroeddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat jika terjadi agresi militer. Pada 22 Desember 1948, dibentuklah PDRI dan perlawanan dilanjutkan dari hutan-hutan Sumatera dan gerilya di Jawa termasuk serangan-serangan umum.

"Berita perlawanan terhadap Belanda disiarkan melalui radio-radio yang menyebar dari Sumatera Tengah ke Aceh, ke Burma lalu India hingga ke PBB di New York. Siaran ini menjadi bahan perjuangan diplomatik para perwakilan RI di New York yang menyuarakan dan menyatakan bahwa Indonesia masih ada, masih eksis. Sehingga klaim Belanda tak bisa diterima dan memaksa Belanda harus duduk lagi berunding hingga diselenggarakannya Perundingan Roem-Royen lalu menuju Konferensi Meja Bundar. Akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia," kata Fadli.

"Saya sangat yakin museum PDRI ini akan menjadi salah satu ikon museum sejarah di Indonesia, karena hadir di tengah semangat kuat dalam bela negara. Mudah-mudahan ke depan akan makin banyak penulisan sejarah, hingga kita bisa mendapatkan sejarah yang utuh bahwa perlawanan terhadap penjajah dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat di daerah-daerah di Indonesia," imbuhnya.

Fadli pun berpesan agar peresmian Museum PDRI dan peringatan Hari Bela Negara menjadi semangat bersama dalam perjuangan untuk bangsa dan negara.

"Nilai-nilai perjuangan dan cinta tanah air harus terus dikobarkan di setiap dada manusia Indonesia. Sebab ke depan, tantangan zaman akan lebih berat dan kompleks lagi", pungkas Fadli.

Tak lupa, ia pun mengapresiasi lahan kawasan museum yang merupakan hibah dari masyarakat Koto tinggi. Menurutnya, Museum PDRI dan kawasan ini dapat menjadi pusat budaya dan destinasi wisata, sehingga kedepannya kegiatan ekonomi di sini dapat tumbuh.

Selain sarana untuk belajar sejarah, menurut Fadli, museum juga dapat digunakan untuk berbagai kegiatan budaya, dan Kementerian Kebudayaan akan mendukung kegiatan-kegiatan tersebut.

Sekilas Tentang Museum PDRI

Sebagai informasi, Koto Tinggi dipilih karena wilayah ini merupakan salah satu tempat penting PDRI, ketika Ibukota saat itu, Yogyakarta, direbut dan para pemimpin negara seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim dan sejumlah tokoh ditangkap oleh Belanda.

Gagasan dibangunnya Museum PDRI berawal dari pembangunan Monumen Bela Negara. Sejumlah tokoh masyarakat Sumatera Barat dipimpin Wakil Gubernur Muslim Kasim sekitar awal tahun 2012 menemui Mendikbud ketika itu.

Dalam rapat-rapat di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan, disepakati Monumen PDRI akan dibangun di Nagari Koto Tinggi. Dengan kesadaran penuh masyarakat Koto Tinggi langsung menyerahkan lahan dengan luas sementara 20 Ha dari 50 Ha.

Pembangunan Monumen Bela Negara yang didalamnya terdapat Museum PDRI direncanakan melalui serangkaian kegiatan, antara lain: Seminar Nasional Tahun 2012, FGD, Sayembara Desain Monumen dan Museum PDRI pada tahun 2012.

Pembangunan Museum PDRI dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 2013 sampai 2016. Setelah sempat terhenti pada tahun 2017-2018, pada akhir tahun 2018 dilaksanakan pertemuan antara pemangku kepentingan yang menghasilkan keputusan untuk melanjutkan pembangunan Museum PDRI. Pada tahun 2019 Pembangunan dua buah bangunan Gedung Museum dan Auditorium PDRI telah selesai.

Pada tahun 2020, pekerjaan tata pamer terkendala bencana COVID-19 sehingga sasaran diarahkan kepada perencanaan kajian dan tata pamer museum. Pada tahun 2021, tata pamer museum yang memberikan gambaran perjuangan secara nasional telah selesai dilakukan. Dengan hadirnya Kementerian Kebudayaan, finalisasi perbaikan dilakukan dua bulan terakhir agar Museum PDRI bisa dibuka untuk umum.

Pada peresmian Museum PDRI, hadir para tamu mulai dari Gubernur Sumatera Barat, bupati 50 kota, Wali Kota Padang, perwakilan kementerian dan lembaga, DHD Angkatan 45, keluarga Sjafroeddin Prawiranegara dan keluarga M. Rasjid, para pemangku adat, dan masyarakat umum. (hp)

Baca artikel Detiknews

Selengkapnya: "Museum PDRI Diresmikan, Fadli Zon: Ikon Museum Sejarah di Indonesia”