1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Musharraf Mundur

ging ginanjar18 Agustus 2008

Ketimbang menghadapi impeachment, Pervez Musharraf memilih mundur sebagai presiden Pakistan.

Foto: picture-alliance/ dpa

Musharaf mengawali pidato pengunduran dirinya dengan memapar berbagai keberhasilan dan pencapaiannya sebagai presiden sejak sembilan tahun lalu. Namun katanya, begitu banyak politikus yang memutar-balikan fakta, yang lalu meruwetkan keadaan politik. Yang berpuncak pada proses impeachment atau pemakzulan oleh parlemen. Dikatakan Pervez Musharraf:

"Mencermati dan mengkaji situasi-situasi itu, sesudah berkonsultasi dengan apra penasihat hukum saya. Sesudah berembuk dengan para tokoh yang mendukung saya sepenuhnya. Menyimak saran-saran dan nasihat mereka, dan demi kepentingan negara, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan saya hari ini."

Pengunduran diri merupakan langkah yang terpaksa diambil Musharraf. Kalau tidak, ia harus menghadapi proses pemakzulan atau pemecatan alias impeachment melalui parlemen. Sesuatu yang akan memperhinakan sang jenderal. Namun Musharaff sendiri berdalih, ia mundur karena proses pemakzulan itu akan menghancurkan kestabilan Pakistan.

Musharaf malah menyatakan keheranannya dengan sikap apra politikus yang bersikeras ingin memecatnya. Padahal katanya, seluruh kebijakannya selama ini diambil demi negara, dan menyertakan semua kalangan. Termasuk para ulama, tokoh masyarakat sipil, tentara, partai politik, dan semua kalangan. Karenanya sebetulnya secara hukum, Musharraf menegaskan, ia akan dengan mudah mematahkan proses pemakzulan dirinya di parlemen.

Tetapi masalahnya, kata Musharraf pula, bahkan kalaupun nanti ia mematahkan upaya pemecatan oleh parlemen, tetap akan terjadi persengketaan yang berkepanjangan antar lembaga-lembaga negara. Ini sangat berbahaya. Di lain pihak, ia mengaku tidak mau pula menyeret tentara kembali ke politik. Karena itu ia mengundurkan diri.

Maka berakhirlah periode kepemimpinan sang pensiunan jenderal yang merebut kekuasaan sembilan tahun lalu dari tangan Nawaz Shariff yang dituduh korup dan menjerumuskan Pakistan dalam ketidakstabilan dan kehancuran ekonomi. Musharraf memang berhasil menjadikan Pakistan sebagai salah satu negeri dengan tingkat püertumbuhan ekonomi paling pesat. Namun jurang akya miskin tetap menganga.

Pemerintahan Pervez Musharraf juga dirongrong kaum fundamentalis dan teroris, terutama sejak Pakistan memihak Amerika dalam invasi Afghanistan yang menggulingkan Taliban. Di kalangan sekuler pun belakangan Musharraf kehilangan dukungan karena ia menerapkan berbagai kebijakan pembungkaman untuk melestarikan kekuasaan. Seperti memberangus para tokoh kritis di Mahkamah Agung, memberlakukan keadaan darurat, menangkapi tokoh oposisi.

Musharraf berusaha memperbaiki citranya dengan memulihkan demokrasi dengan menyelenggarkan Pemilu dan mengizinkan kembalinya dua tokoh oposisi di pengasingan, Nawaz Sharif dan Benazir Bhuto yang kemudian terbunuh dalam serangan bom bunuh diri. Namun popularitasnya terus anjlok. Dan parlemen baru hasil Pemilu justru seakan melapangkan jalan bagi kejatuhan Musharraf.

Belum jelas, apakah parlemen dan pemerintah baru Pakistan akan terus memburu Musharraf yang sebelumnya pensiun dari dinas militer agar bisa sah menjabat sebagai presiden Pakistan di masa jabatannya yang terakhir. Namun Pervez Musharraf mengaku tak gentar, dan tak sudi mengemis-ngemis kesepakatan dari mereka yang kini berkuasa untuk menyelamatkan nasibnya kelak. Kata Musharraf:

"Saya tidak akan mengajukan permohonan apapun kepada siapapun. Saya menyerahkan nasib dan masa depan saya selanjurtknya kepada rakyat dan bangsa ini. Biarlah mereka yang mengadili saya nanti."