Para peneliti menemukan mutasi gen yang menjadi indikasi dan pemicu seseorang punya risiko mengembangkan skizofrenia. Temuan ini diharap membantu pengembangan terapi dan obat baru.
Iklan
Para ilmuwan mengakui pengetahuan kita tentang skizofrenia sejak beberapa dekade ibarat macet dalam kotak hitam. Para pakar medis mengatakan, hingga saat ini mereka tidak mengetahui persis apa yang terjadi di dalam otak penderitanya.
Yang diketahui, skizofrenia adalah kondisi gangguan mental serius, dengan karakter khas halusinasi, yakni periode psikosis di mana persepsi dan pikiran terganggu serta tercerabut dari realita. WHO menaksir pervalensi skizofrenia global cukup tinggi, yakni satu dari 300 orang atau 0,3% populasi.
"Pengetahuan kita terkait skizofrenia sejauh ini nyaris nol," kata Stephan Ripke, peneliti di rumah sakit Charite di Berlin dan penulis laporan ilmiah yang dipublikasikan jurnal Nature pada Rabu (06/04).
Tim peneliti Ripke dan sebuah tim penelitian internasional lainnya melaporkan, berhasil membuat temuan yang akan jadi acuan baru dalam pemahaman biologi dari skizofrenia. Dua tim peneliti yang berbeda, berhasil menemukan paling tidak 10 mutasi genetika, yang memberi pengaruh sangat kuat bagi kemungkinan seseorang mengembangkan penyakit ini. Selain itu, ada 120 mutasi genetika lainnya yang diduga atau dapat memainkan peranan.
Apa Faktor Penting Pembentuk Manusia, Genetika atau Lingkungan?
01:43
Terapi baru berdasar temuan baru
Para peneliti mengatakan, sekarang mereka memiliki pemahaman lebih baik, tentang bagaimana munculnya skizofrenia secara biologis akibat mutasi gen. Sebelumnya, para peneliti lebih terfokus pada apa yag disebut faktor lingkungan, seperti kekurangan nutrisi saat dalam kandungan atau apakah mereka mengkonsumsi narkoba.
Ripke mengatakan, penemuan mutasi gen itu tidak serta merta membuat diagnosis pasien skizofrenia menjadi lebih mudah atau lebih dini. Tapi, temuan ini bisa membantu para ilmuwan memperkirakan risiko seseorang terhadap skizofrenia, serta membantu meningkatkan terapi dengan obat-obatan untuk penyakit psikis.
Memang selama ini sudah ada obat-obatan untuk skizofrenia, tapi tidak untuk memerangi akar permasalahannya. Obatnya lebih banyak untuk meringankan efek dari penyakitnya. "Obat yang ada di pasaran saat ini, berbasis pada hasil riset tahun 1950-an,” kata peneliti dari Berlin itu.
Chlorpromazine misalnya, pada awalnya dikembangkan sebagai obat anestesi. Namun, secara kebetulan para dokter mengamati obat ini bisa membantu mencegah halusinasi pada pasien dengan gangguan psikis.
Mengungkap Misteri Otak dalam Seni dan Sains
Bagaimana otak kita bekerja? Sebuah pameran di Bundeskunsthalle di Bonn, Jerman, menggabungkan sains dan karya seni yang menawarkan beberapa jawaban tentang otak manusia.
Foto: Antonio Gravante/dpa/picture alliance
Jiwa manusia seperti burung
Apa yang mendefinisikan manusia: pikiran, perasaan, atau jiwa? Banyak agama dan aliran pemikiran temukan jawaban mereka sendiri atas pertanyaan ini. Di Mesir kuno, orang menghubungkan jiwa manusia dengan gambar seekor burung yang naik ke surga setelah kematian. Salah satu "burung jiwa" seperti itu, berusia 2.400 tahun sekarang dipajang di Bundeskunsthalle dalam sebuah pameran tentang otak manusia.
Foto: KHM-Museumsverband
Dari kotak kardus dan lampu Natal
Sejak zaman kuno, orang telah membentuk gambaran tentang apa yang terjadi di dalam tengkorak kita. Filsuf Aristoteles misalnya, menganggap otak sebagai unit pendingin aliran darah. Pada tahun 2011, seniman Israel Yaron Steinberg merancang patung otak ini ibarat arsip dari kotak kardus dan laci yang penuh dengan pikiran dan kenangan. Bahkan, lampu Natal memiliki tempat di dalamnya.
Potret diri yang tidak biasa
Seniman Jerman Isa Genzken mendekati pertanyaan tentang otak dengan cara yang hampir medis: "Otak Saya" adalah titel karya fotografinya tahun 2010, di mana ia menggunakan gambar CT dari kepalanya sendiri. Pemeriksaan sinar-X 3D ini menghasilkan gambar penampang tubuh. Karya Genzken berfungsi sebagai potret diri; di mana otak sama uniknya dengan wajah seseorang.
Foto: VG Bild-Kunst, Bonn 2022
Inspirasi yang ramah
Selama berabad-abad, bidang medis bekerja keras untuk meneliti otak manusia. Dan teknik pencitraan abad ke-20 yang membawa terobosan nyata. Namun, banyak pertanyaan yang belum terjawab: Bagaimana pikiran dan perasaan kita muncul? Lukisan karya Maria Lassnig (1919-2014) berjudul "Inspirasi" ini menampilkan sesosok makhluk hijau mengacungkan jari telunjuk di atas pasangan yang sedang berbaring.
Foto: Maria Lassnig Foundation/VG Bild-Kunst, Bonn 2021/22
Tengkorak Descartes
Rene Descartes (1596-1650) adalah seorang filsuf, matematikawan, dan ahli ilmu alam Prancis. Dialah yang menciptakan pepatah "cogito ergo sum": "Saya berpikir, maka saya ada." Tengkorak dari pemikir terkenal yang tulisannya dilarang oleh Paus setelah kematiannya, saat ini menjadi salah satu benda paling berharga di Musee de l'Homme di Paris, yang sekarang dapat dilihat di pameran di Bonn.
Foto: Muséum national d’histoire naturelle – JC Domenech
Melakukan kontak dengan otak
Apa yang membedakan sains dari agama? Itulah yang sedang diselidiki oleh seniman Tiongkok Lu Yang. Dalam simulasi permainan komputernya, dewa Buddha dari empat elemen: tanah, air, api, dan udara, melakukan kontak dengan otak kita melalui stimulasi otak dalam. Saat ini, obat-obatan sudah menggunakan "alat pacu otak" untuk mengobati penyakit parkinson, epilepsi, dan depresi.
Foto: Lu Yang and Société
'Mimpi' Kiki Smith
Apakah ego dan tubuh saya sama? Banyak orang bertanya pada diri sendiri dengan pertanyaan itu. Separasi tubuh dan jiwa terus membentuk pemikiran kita, bahkan tentang kematian. Pertanyaan tentang kehendak bebas juga terkait dengan subyek ini, atau pertanyaan tentang bagaimana kita bermimpi. Kiki Smith dari Jerman-Amerika memebri judul etsa dua warna dari tahun 1992 sebagai "Traum" ("Mimpi").
Foto: Lehmbruck Museum, Duisburg
Yesus membawa jiwa Maria
Apa yang terjadi pada jiwa setelah kematian? Ini adalah pertanyaan yang direnungkan oleh orang-orang Kristen Abad Pertengahan. Patung kayu dari Danau Constance, "Kristus dengan Jiwa Maria," dari sekitar tahun 1320, mencerminkan hal ini. Kristus membawa jiwa ibunya Maria dalam bentuk seorang anak dalam pelukannya. Penggambaran melambangkan keyakinan bahwa jiwa adalah entitas independen dari tubuh.
Foto: Landesmuseum Württemberg, P. Frankenstein / H. Zwietasch
Sebuah jalinan emosi
Sosok manusia berdebat, bertarung, menderita, menyakiti, mengubah, dan mengamati, seniman Inggris Richard Ennis memotret kilasan tengkorak manusia dalam lukisannya tahun 1991. Adegan yang terkadang mengganggu secara terang-terangan mencerminkan emosi manusia. Sepertinya Ennis terinspirasi oleh buku-buku anatomi masa kecilnya.
Foto: CC BY 4.0
Penggambaran Max Ernst tentang dunia yang hancur
Seniman Jerman Max Ernst (1891-1976) tertarik pada karya psikoanalisis Sigmund Freud serta seni orang sakit jiwa. Dia melukis potret ini sekitar tahun 1913 selama masa kuliahnya di Bonn, di mana dia belajar filsafat, psikologi, dan sejarah seni di antara mata pelajaran lainnya. Dunia di sekitar orang yang digambarkan dalam lukisan ini benar-benar hancur.
Foto: VG Bild-Kunst, Bonn 2021/2022
Layak untuk dilihat lebih dalam
Otak manusia adalah sebuah fenomena, banyak ilmuwan, pemikir, seniman, dan manusia biasa yang mencoba mengungkapnya. Pameran "Otak dalam Seni & Sains" di Bundeskunsthalle di Bonn, Jerman, menyatukan banyak pertanyaan dan jawaban di semua bidang pengetahuan. Pameran berlangsung hingga 26 Juni 2022. (ha/as)
Foto: Bildagentur-online/picture alliance
11 foto1 | 11
Sekarang, setelah para ilmuwan mengetahui lebih banyak apa yang terjadi di dalam otak dan menemukan penyebabnya, mereka akan mampu mengembangkan obat-obatan baru, yang mengobati penyakit dari akarnya, dan bukan hanya mengurangi gejalanya.
Iklan
Masih banyak yang belum diketahui
Walaupun sejak lama ilmuwan mengetahui, sekitar 60 hingga 80% penyakit skizofrenia adalah kasus herediter, alias diwariskan secara genetis dari orang tua, namun mereka belum banyak memahami genetika penyakitnya.
Dua hasil penelitian terbaru tentang skizofrenia yang sudah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature itu, adalah hasil riset dengan pendekatan mutasi genetika, tapi dari dua sudut yang berbeda. Masih banyak fungsi maupun efek mutasi gen yang belum diketahui, hingga diperlukan penelitian lebih lanjut.
Riset pertama dilakukan Psychiatric Genomics Consortium (PGC) yang dipimpin para ilmuwan dari Cardiff University. Mereka menganalisi DNA dari 77.000 responden pengidap skizofrenia, dan 244.000 responden sehat. Ditemukan sekitar 300 bagian dari genom yang punya kaitan genetika pada risiko skizofrenia. Sekitar 120 gen, diduga memainkan peranan pada munculnya penyakit.
Apakah Ada Gen Penjahat?
02:11
This browser does not support the video element.
Riset lainnya dilakukan tim SCHEMA dari Broad Institute of MIT dan Harvard. Risetnya melakukan pendekatan lebih terarah, tentang peranan saraf dan sinapse pada risiko munculnya skizofrenia.
Para periset SCHEMA meneliti bagian kecil dari genom yang disebut "exome" yang berfungsi memecah kode protein. Dengan meneliti exome dari 24.000 pengidap skizofrenia dan 97.000 responden sehat, para peneliti menemukan 10 mutasi gen, dua berkaitan dengan disfungsi sinapse dan 8 mutasi gen yang terkait gangguan neuron.
Benjamin Neale, salah satu penulis jurnal ilmiah SCHEMA dan anggota PGC dalam penjelasannya mengatakan, jika kita memiliki satu saja dari mutasi gen ini, risiko bisa naik antara 10 hingga 50% untuk terkena skizofrenia. "Walau begitu, masih banyak implikasi lain yang belum diketahui, dan harus diteliti dalam riset-riset berikutnya," pungkas peneliti dari univesitas kedokteran Harvard itu.