Lebih 200 juta perempuan, termasuk anak-anak, mengalami mutilasi genital, jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya, kata laporan UNICEF. Indonesia ada di peringkat ketiga, setelah Mesir dan Etiopia.
Iklan
Laporan tentang praktik mutilasi genital pada perempuan (female genital mutilation -FGM) dirilis UNICEF di kantor pusat PBB di New York hari Jumat (05/02). Inilah laporan paling lengkap tentang mutilasi genital yang mencakup data-data dari 90 survei nasional di 30 negara.
Laporan UNICEF menyebutkan, setengah dari mereka yang terkena dampak mutilasi genital perempuan tinggal di Mesir, Ethiopia dan Indonesia. Sekitar 44 juta perempuan yang mengalami FGM berusia di bawah 14 tahun.
"Dalam setiap kasus, praktek FGM melanggar hak-hak anak dan perempuan," kata Geeta Rao Gupta, wakil direktur eksekutif UNICEF.
"Menunjukkan luasnya praktek mutilasi genital pada perempuan sangat penting, untuk menghapuskan praktik-praktik itu," sambung Gupta. "Kita semua harus mempercepat upaya - pemerintah, profesional kesehatan, tokoh masyarakat, orang tua dan keluarga - untuk menghilangkan praktik ini."
Secara keseluruhan, angka mutilasi genital pada perempuan dan anak perempuan tahun 2014 jauh lebih tinggi daripada perkiraan sebelumnya.
Para ahli memperingatkan, bahwa peledakan populasi penduduk di beberapa negara membuat upaya penghapusan FGM makin sulit.
"Jumlah anak perempuan dan perempuan yang mengalami FGM bisa meningkat secara signifikan dalam 15 tahun ke depan," kata UNICEF dalam laporan terbarunya.
Yang mencolok, setengah dari anak perempuan dan perempuan yang mengalami mutilasi genital berasal dari hanya tiga negara: Mesir, Ethiopia dan Indonesia.
Tahun 2014, Indonesia tidak masuk catatan statistik UNICEF, karena tidak ada data-data yang dianggap bisa dipercaya. Baru tahun 2015 data-data dari Indonesia masuk ke tabulasi UNICEF.
"Mutilasi genital perempuan berbeda antar daerah dan budaya, tapi beberapa praktiknya merupakan resiko kesehatan dan mengancam jiwa," kata Geeta Rao Gupta.
Pendarahan Fatal
Masyarakat yang mendukung FGM sering menganggapnya sebagai prasyarat untuk menikah. Banyak juga melihatnya sebagai kewajiban agama.
Tapi FGM dapat menyebabkan sejumlah masalah fisik dan psikologis. Dalam beberapa kasus, perempuan meninggal kehabisan darah atau karena infeksi yang disebabkan oleh alat potong yang kotor.
Negara dengan angka FGM tertinggi adalah Somalia, di mana 98 persen anak perempuan dan perempuan berusia antara 15 dan 49 mengalami mutilasi genital.
Secara keseluruhan, tingkat prevalensi FGM memang turun dalam tiga dekade terakhir, tapi kemajuan itu tidak merata, kata UNICEF.
Mutilasi Genital di Afrika
Mutilasi organ kelamin perempuan sudah dilarang di banyak negara Afrika, tapi masih dipraktikan secara meluas. Misalnya di kalangan anak perempuan etnis Pokot di Kenya.
Foto: Reuters/S. Modola
Silet Pemotong
Seorang dukun wanita memegang silet, alat utama pemotongan bagian kelamin anak perempuan etnis Pokot di kawasan Rift Valley, Kenya. Tradisi mengerikan ini di kalangan sejumlah etnis di Afrika menandai peralihan dari masa kanak-kanak menjadi perempuan dewasa. Walaupun sejumlah negara melarang praktik ini, tapi tradisi tetap dilakukan secara luas terutama di pedesaan.
Foto: Reuters/S. Modola
Persiapan Ritual
Perempuan dan anak-anak etnis Pokot menghangatkan diri di api unggun menjelang ritual penyunatan perempuan. Di sejumlah etnis Afrika, perempuan yang tidak disunat, kecil peluangnya untuk menarik lelaki agar mengawininya. Di banyak kawasan, perkawinan merupakan satu-satunya jalan agar ekonomi rumah tangga tetap bergulir. Perempuan yang menolak tradisi ini biasanya akan dikucilkan oleh warga.
Foto: Reuters/S. Modola
Mustahil Melawan
Sebelum disunat anak perempuan dimandikan. Mereka juga tahu masalah yang dihadapi setelah disunat: gangguan kesehatan, kemandulan, infeksi kista atau kompilkasi saat melahirkan. Tradisi mutilasi kelamin perempuan dilaporkan dipraktikan di 28 negara Afrika, semenanjung Arab dan di Asia.
Foto: Reuters/S. Modola
Tegang Menunggu
Anak peremuan Pokot ini dengan tegang menunggu seremoni penyunatan. Kenya resmi melarang praktik mutilasi kelamin perempuan itu sejak 2011. Praktik penyunatan perempuan kebanyakan dilakukan tanpa bius dan alat yang steril. Dampak kesehatan sering harus diderita sepanjang hidup.
Foto: Reuters/S. Modola
Tidak Boleh Menangis
Seorang dukun sedang melakukan penyunatan yang berbahaya. Anak perempuan yang disunat tidak boleh menangis dan harus tunjukkan ketabahan. WHO melaporkan 10 persen anak perempuan tewas sesaat setelah disunat, 25 persen meninggal akibat dampak ikutannya. Tidak ada data statistik angka mutlak jumlah anak perempuan yang meninggal setelah penyunatan.
Foto: Reuters/S. Modola
Batu Berdarah Tanda Bukti
Bagian kelamin yang dimutilasi berbeda di tiap etnis. Etnis Pokot menjahit Vulva hingga rata. WHO mencatat tiga jenis mutilasi, yakni pemotongan Klitoris, pemotongan Klitoris dan Labia serta pemotongan Labia besar dan menjahit alat kelamin perempuan hingga tinggal bukaan kecil.
Foto: Reuters/S. Modola
Tubuh Diwarnai Putih
Ritual etnis Pokot adalah mewarnai tubuh anak perempuan yang hendak disunat dengan warna putih. Jika anak yang disunat meninggal akibat kehilangan darah atau infeksi, hal itu diterima sebagai nasib buruk. Berbagai penyuluhan tentang bahaya mutilasi kelamin perempuan sulit diterima warga yang kurang pendidikan. Kenya membentuk polisi pengawas aturan larangan sunat.
Foto: Reuters/S. Modola
Trauma Untuk Hidup
Anak yang mengalami Trauma setelah disunat diselimuti kulit binatang. Sekarang mereka siap untuk dikawinkan dan minta mahar tinggi. Banyak etnis menganggap perempuan yang disunat lebih higienis dan lebih reproduktif. Suaminya juga akan lebih setia. Realitanya kerusakan akibat mutilasi kelamin, sering tidak bisa dipulihkan lagi lewat operasi Plastik.
Foto: Reuters/S. Modola
Tradisi Berlanjut?
Anak perempuan ini sepanjang hidupnya tidak akan melupakan prosedur brutal menyakitkan itu. Apakah nanti setelah dia menjadi ibu, bisa atau bersedia melawan tradisi mengerikan itu? Tren justru menunjukkan kebalikannya. Kini main banyak praktik penyunatan dilakukan pada bayi perempuan, karena bayi lebih cepat sembuh dan tidak menunjukkan gejala kesakitan seperti pada anak remaja.
Foto: Reuters/S. Modola
9 foto1 | 9
Negara-negara yang memperlihatkan penurunan tajam antara lain Liberia, Burkina Faso dan Kenya. Laporan UNICEF tidak memuat data dari semua negara di mana FGM dipraktikkan. Data-data yang tidak masuk antara lain dari India, Kolombia, Malaysia, Oman, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.