Myanmar Cabut Sensor Internet
16 September 2011Hari Jumat (16/09), pemerintah Myanmar yang mengekang rakyat, untuk pertama kalinya dalam tahun-tahun belakangan ini mengijinkan pengaksesan sejumlah situs interrnet termasuk situs yang diolah warga Myanmar di pengasingan.
Pekan ini, badan sensor pemerintah membuka situs media dari luar negeri, termasuk Voice of America dan BBC, juga Democratic Voice of Burma, Radio Free Asia dan serta YouTube, yang antara lain menyebarkan rekaman video. Sejak internet dikenal di Myanmar sekitar 10 tahun lalu, pemerintah secara agresif memonitor aktivitas internet dan secara rutin memblokir situs yang dianggap mengkritik pemerintah.
Hukuman atas Wartawan
Junta Myanmar juga menjatuhkan hukuman tahanan berat terhadap wartawan. Menurut laporan Democratic Voice of Burma, 25 wartawan mendekam di penjara, 17 bekerja di media itu. Banyak situs diblokir sejak 2007, yaitu ketika junta militer menindak keras aksi protes pro demokrasi. Tetapi pengguna internet berhasil menembus sensor dengan menggunakan proxy server.
Wai Phyo, redaktur utama dari kantor berita swasta Weekly Eleven menyambut baik langkah pemerintah dan mengutarakan, bahwa tindakan pemerintah akan memungkinan wartawan bekerja lebih baik bagi rakyat Myanmar.
Tetap Ada Pengekangan
Shawn W. Crispin dari Perwakilan Asia Tenggara dari Komite Pengawasan Jurnalis mengatakan, kurang dari 0,3% rakyat Myanmar dapat mengakses media. Membiarkan warga mengakses internet seperti diputuskan pemerintah, tidak dapat sepenuhnya disebut langkah bagus untuk mendorong kebebasan pers, demikian Crispin.
"Masih banyak peraturan yang dapat memberikan kebebasan bagi badan pemerintah untuk menangkap dan menjatuhkan hukuman bagi siapapun yang berani membuka situs tersebut di warung internet Myanmar yang dijaga polisi dan punya ketentuan tersendiri," dikatakan Crispin dalam wawancara dengan Associated Press, Jumat (16/09) di Bangkok.
Ia menambahkan, "Situs-situs tersebut sekarang bisa dibuka di Myanmar. Tapi pengguna internet tetap harus memikul risiko ditangkap atau bahkan dipenjara karena membukanya." Dikatakannya, "Sampai rejim Myanmar menghentikan sensor terhadap media lokal dan membebaskan semua wartawan dari tahanan, negara itu akan tetap menjadi salah satu negara dengan tekanan besar atas media."
UU Yang Membatasi
Pekan ini, wartawan Sithu Zeya dari Democratic Voice of Burma dijatuhi hukuman 10 tahun penjara karena lewat internet menyebarkan sebuah laporan yang dianggap dapat "menganggu ketenangan dan persatuan dalam pemerintahan", menurut Peraturan Elektronik yang berlaku di Myanmar. Demikian laporan organisasi Reporters Without Borders.
Sithu Zeya telah dijatuhi hukuman penjara selama delapan tahun, 2010 lalu, setelah tertangkap membuat foto lokasi yang terkena serangan granat di ibukota Yangun.
Sementara itu, utusan khusus Amerika Serikat bagi Myanmar yang baru mengakhiri kunjungan singkat ke negara itu mengatakan, pemerintahnya berencana, untuk sementara waktu tetap melanjutkan sanksi terhadap negara yang didominasi militer tersebut. Tetapi pemerintah di Washington akan memberikan respon positif, jika pemerintahan sipil yang baru benar-benar melaksanakan reformasi.
Pelaksanaan Reformasi
Komisaris urusan HAM Jerman, Markus Löning mengatakan, pemerintah Myanmar harus menunjukkan bukti upaya memperbaiki situasi. Pandangan ini juga disetujui mitra-mitra pembicaraan Löning di badan urusan politik luar negeri Uni Eropa. Uni Eropa juga menetapkan sanksi terhadap Myanmar karena pelanggaran HAM dan warga minoritas.
Presiden Thein Sein mengatakan dalam pidato pelantikannya Maret lalu, bahwa peranan media harus dihormati. Agustus lalu, untuk pertama kalinya tiga harian milik negara menghentikan penempatan slogan-slogan yang mengecam media asing.
ap/kna/dpa/Marjory Linardy
Editor: Yuniman Farid