Myanmar dan Bangladesh hari Kamis (23/11) menandatangani nota kesepahaman pengungsi Rohingya, kata pejabat senior Myanmar. Ratusan ribu pengungsi Rohingya lari ke Bangladesh.
Iklan
"Kami siap membawa mereka kembali sesegera mungkin setelah Bangladesh mengirim formulir kembali kepada kami," kata Myint Kyaing, pejabat senior di Kementerian Tenaga Kerja, Imigrasi dan Kependudukan Myanmar. Agar bisa kembali ke Myanmar, para pengungsi Rohingya di perbatasan Bangladesh itu harus mengisi formulir pendaftaran dengan rincian pribadi, sebelum pulang ke Myanmar.
Kesepakatan itu dicapai dalam pertemuan antara Aung San Suu Kyi dan Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hassan Mahmood di Naypyidaw hari kamis (23/11). Kesepakatan itu berkaitan dengan pemulangan ratusan ribu warga Rohingya yang telah melarikan diri dari kekerasan di negara bagian Rakhine.
Sejak Agustus lalu, sekitar 620.000 warga Rohingya menyeberangi perbatasan ke Bangladesh karena kekerasan militer di Rakhine. PBB dan Amerika Serikat menyebut kekerasan militer Myanmar itu sebagai "pembersihan etnis terhadap Rohingya."
Perundingan antara Suu Kyi dan Menlu Bangladesh dilakukan menjelang kunjungan Pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus ke kedua negara. Paus Fransiskus beberapa kali menyatakan simpati mendalam atas penderitaan Rohingya.
Kunjungan Paus akan memperpanjang daftar panjang tamu yang sebelumnya berdatangan ke Naypyidaw untuk mendesak solusi konflik Rohingya. Desakan itu terutama ditujukan kepada orang kuat di militer Myanmar, Panglima Min Aung Hlaing, yang disebut-sebut memerintahkan kekerasan militer terhadap Rohingya.
Minggu lalu, Min Aung Hlaing mengatakan bahwa "tidak mungkin menerima jumlah orang yang diusulkan oleh Bangladesh". Namun perundingan dilanjutkan dengan pertemuan antara Suu Kyi dan Menteri Luar Negeri Bangladesh.
Kisah Pengungsi Rohingya Di Perbatasan Myanmar
Dari Rakhine, Myanmar, lebih dari tiga setengah juga pengungsi Rohingya tiba di Teknaf, Bangladesh. Bagaimana hidup mereka yang penuh penderitaan dan kenangan menyedihkan?
Foto: DW/M.M. Rahman
Pengungsi Rohingya di daerah Teknaf yang sudah banyak menerima pengungsi.
Foto: DW/M.M. Rahman
Banyak anggota keluarga yang sakit dan yang sudah tua mereka gotong dan akhirnya tiba di Teknaf.
Foto: DW/M.M. Rahman
Sebagian besar pengungsi Rohingya adalah perempuan dan anak-anak.
Foto: DW/M.M. Rahman
Wanita dan anak-anak Rohingya juga harus melewati sungai, di jalan yang panjang untuk mencapai Bangladesh.
Foto: DW/M.M. Rahman
Menurut Badan Pengungsi PBB (UNHCR) sekitar 2,5 juta pengungsi Rohingya telah tiba di Bangladesh sejak 25 Agustus 2017.
Foto: DW/M.M. Rahman
Rumah-rumah keluarga Rohingya di daerah Maungdaw dan Rasidong dibakar selama tiga hari. Gambar diambil dari Pulau Shahpiar.
Foto: DW/M.M. Rahman
Banyak orang terpaksa berhenti di sisi jalan, setelah melintasi malam di bawah langit terbuka.
Foto: DW/M.M. Rahman
Pemerintah Bangladesh berupaya menampung semua pengungsi di tempat penampungan yang luas.
Foto: DW/M.M. Rahman
Lebih dari 200.000 bayi Rohingya kini berada di Bangladesh. Menurut UNHCR lebih dari 1.100 anak datang dari Rakhine tanpa disertai orang tua.
Foto: DW/M.M. Rahman
Rohingya yang cari perlindungan di daerah Teknaf menderita kekurangan makanan akut. Untuk dapat makanan mereka harus berebutan. Penulis: Mustafiz Manun (ml/hp)
Foto: DW/M.M. Rahman
10 foto1 | 10
"Mereka membahas tentang pengembangan kerja sama dan hubungan antara kedua negara untuk menerima kembali warga yang meninggalkan tempat Rakhine," kata Kementerian Luar Negeri Myanmar dalam sebuah pernyataan.
Warga Rohingya yang mayoritas beragama Islam hingga kini tidak memiliki kewarganegaraan Myanmar sehingga sering menjadi sasaran kekerasan komunal dan sentimen anti-Muslim. Mereka juga secara sistematis ditindas oleh otoritas lokal yang sangat membatasi gerakan mereka serta akses terhadap layanan dasar.
Krisis pengungsi Rohingya yang terakhir ini berawal dari serbuan kelompok separatis ke sebuah pos polisi Myanmar 25 Agustus lalu. Militer Myanmar lalu melakukan aksi balasan diikuti oleh warga Budhis yang membantai dan membakari rumah-rumah Rohingya.
Hingga kini, militer membantah semua tuduhan kekerasan, namun tidak memberi akses kepada pengamat independen berkunjung ke zona konflik. Pemerintahan Aung San Suu Kyi juga menolak kunjungan tim fakta PBB yang bertugas memeriksa tuduhan kekerasan dan pelecehan yang dilakukan militer.
Bantuan Indonesia bagi Rohingya
Rabu 13 September, Indonesia kirim bantuan tahap pertama bagi warga Rohingya yang berada di daerah perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh. Bantuan berikutnya akan menyusul pekan-pekan mendatang.
Foto: Biro Pers Setpres
Presiden Lepas Bantuan Kemanusiaan
Presiden Joko Widodo berbicang sejenak tentang masalah pengiriman bantuan yang dibawa oleh pesawat milik Angkatan Udara Indonesia, dari bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, 13 September 2017.
Foto: Biro Pers Setpres
Ditujukan Agar Secepat Mungkin Diterima
Barang bantuan diberangkatkan dengan menggunakan empat pesawat Hercules. Berbeda dengan bantuan lain yang sudah pernah diberikan Indonesia bagi Rohingya akhir tahun lalu, yang dibawa dengan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Foto: Biro Pers Setpres
Membawa Barang Yang Diperlukan
Dalam empat pesawat Hercules diangkut beras, makanan siap saji, family kit, tangki air, tenda pengungsi, pakaian anak dan selimut. Demikian dikatakan Presiden Joko Widodo saat melepas keberangkatan pesawat.
Foto: Biro Pers Setpres
Mendekati Lokasi Pengungsi
Presiden mengatakan juga, diharapkan bantuan bisa dibawa hingga sedekat mungkin dengan pesawat ke lokasi tempat pengungsi berada di perbatasan antara Bangladesh dan Myanmar. Dari pesawat barang bantuan akan diangkut dengan truk.
Foto: Biro Pers Setpres
Sokongan Semua Pihak
Saat melepas bantuan, Presiden didampingi Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala Staf TNI AU Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala BNPB Willem Rampangilei. (Penulis: ml/hp)