1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Nadhira Afifa: Wisuda Harvard, COVID-19 dan Public Health

11 Juni 2020

Nadhira Nuraini Afifa jadi sorotan karena jadi pembaca pidato dalam wisuda online di Harvard School of Public Health, AS. Situasi pandemi jadi pengingat, wisuda tidak selalu harus dimaknai dengan selebrasi dan pesta.

Indonesien Nadhira und ihr Team mit Jakartas Gouverneur Anies Baswedan
Nadhira dan timnya membahas pandemi Covid-19 dengan Pemda DKI JakartaFoto: Privat

Sosok Nadhira Nuraini Afifa, mahasiswi Indonesia yang baru saja menyelesaikan pendidikan magister di Harvard T.H. Chan School of Public Health, Amerika Serikat (AS), belakangan jadi sorotan. Pada 28 Mei lalu, ia berhasil menjadi pembaca pidato alias commencement speaker dalam wisuda online mewakili angkatannya di fakultas kesehatan masyarakat di Harvard.  

Pandemi virus corona yang saat ini terjadi, telah mengubah banyak hal dalam kehidupan, termasuk berbagai kebijakan di dunia pendidikan yang membuat sejumlah universitas di dunia, terpaksa menyelenggarakan wisuda online untuk merayakan kelulusan mahasiswanya. 

Nadhira Nuraini AfifaFoto: Privat

Nadhira tak menampik bahwa dirinya sempat bersedih ketika tahu bahwa ia akan menjalani wisuda yang berbeda dari biasanya, apalagi kehadiran orang tuanya dalam acara kelulusan di Harvard itu sudah direncanakan jauh-jauh hari. Namun, semakin kesini ia yakin bahwa wisuda sejatinya hanya menjadi momentum sementara yang “tidak selalu harus dimaknai dengan selebrasi dan pesta”.  

“Yang penting itu perjalanannya selesai dan apa yang bisa aku lakukan setelah aku wisuda”, kata Nadhira saat dihubungi DW, Rabu (10/06). 

Dipandang sebelah mata

Di tengah suramnya situasi akibat pandemi yang melanda dunia saat ini, Nadhira mengakui bahwa terpilihnya ia sebagai pembaca pidato dalam acara kelulusan di Harvard telah menjadi kejutan manis di akhir perjalanan pendidikannya di universitas kenamaan AS itu. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya solidaritas global dalam menghadapi pandemi corona saat ini. 

“Hanya melalui kesehatan masyarakat, kita dapat melihat seluruh negara mengesampingkan perbedaan mereka dan menarik sumber dayanya”, ujarnya saat menyampaikan pidato, 28 Mei lalu. 

“Orang-orang dipersatukan melalui upaya kesehatan masyarakat, terlepas dari perbedaan etnis, kebangsaan dan spiritualitas,” tambahnya. 

Yang menarik, dalam penutup pidatonya, Nadhira turut menyinggung bahwa meskipun kesehatan masyarakat adalah bidang pekerjaan yang sangat penting, peran tersebut sejatinya kerap ‘kurang mendapat apresiasi’.  

“Seringkali memang kita kurang menghargai peran teman-teman dari public health. Banyak di Kementerian Kesehatan atau yang ditunjuk sebagai leader di institusi kesehatan itu justru mereka yang dari dokter umum yang sebenarnya wawasan tentang kesehatan masyarakatnya itu tidak sebanyak teman-teman public health,” jelas lulusan sarjana kedokteran dari Universitas Indonesia itu. 

Meski begitu, ia mengakui masa pandemi saat ini telah berhasil membuka mata publik tentang pentingnya peran ahli kesehatan masyarakat di tanah air, sehingga dapat menjadi momen kebangkitan bagi lulusan kesehatan masyarakat untuk bisa berkontribusi lebih bagi bangsa dan negara. 

Perbaiki masalah koordinasi 

Sebagai seorang master of public health, Nadhira menilai, penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Salah satu yang menurutnya perlu mendapat perhatian lebih adalah masalah tes COVID-19 yang pelaksanaannya ia sebut cenderung terlambat. 

“Telat start, telat panik jadi memang sudah terlanjur banyak baru paniknya itu baru muncul di pemerintah. Baru akhirnya bisa kayak sekarang testing ditargetkan 20.000 yang mana sangat bagus per hari 20.000 tapi memang terkesan agak terlambat,” ujarnya. 

Di samping banyak kekurangan, menurutnya masyarakat juga harus mengerti bahwa Indonesia tidak bisa dibandingkan secara ‘apple to apple’ dengan negara maju yang sumber dayanya jauh lebih baik dalam menangani pandemi corona. “Pemerintah harus memperbaiki kebijakan mereka dalam testing dan tracing, masyarakat juga harus bisa lebih toleran dan lebih berkontribusi dengan cara social distancing dan mematuhi peraturan yang diatur pemerintah”. 

Koordinasi antar pemangku kebijakan baik di pemerintah pusat, pemerintah daerah dan NGO menurutnya jadi satu hal yang paling mungkin diperbaiki dalam penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia saat ini, yaitu “bagaimana mengkoordinasikan semua bantuan dan semua kebijakan itu secara relevan sehingga bisa tersalurkan dengan baik”. 

Inovasi baru dalam penanganan corona 

Sebagai seorang dokter umum dan ahli kesehatan masyarakat, Nadhira berharap kedepannya ia dapat menjalani dua peran tersebut secara seimbang. Namun, ia mengakui bahwa karir utama yang ingin ia kejar di masa depan adalah bekerja di pemerintahan, yang berfokus pada kesehatan masyarakat.  

“Mungkin nanti setelah aku sudah spesialis dan punya degree yang lebih tinggi di bidang kedokterannya,” jelasnya. 

Selain menjalankan praktek di rumah sakit secara part time, kini Nadhira turut berkontribusi di Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam penanganan COVID-19 di ibu kota.  

Baru-baru ini ia dan timnya berkolaborasi dengan Pemprov DKI Jakarta meluncurkan sebuah inovasi baru bernama JakCLM yang dihadirkan pada aplikasi JAKI yang bisa diunduh di ponsel pintar. Fitur ini memungkinkan warga untuk mencari tahu kondisi kesehatan mereka berdasarkan gejala menggunakan kalkulator COVID-19, tanpa harus mengikuti tes ke rumah sakit atau puskesmas.  

Dari hasil tes yang didapatkan, warga akan diberikan rekomendasi tentang apakah rapid test atau PCR test perlu dilakukan atau tidak, sehingga penggunaan PCR yang sejatinya terbatas bisa menjadi lebih efektif. 

“Kita pengen dengan PCR kita yang sangat terbatas jumlahnya, itu benar-benar ditujukan untuk orang-orang yang memang kemungkinan untuk positifnya itu tinggi jadi akan lebih efektif penggunaan PCR,” ujarnya. (gtp/as)