Namibia Pindahkan Patung Penguasa Kolonial Jerman ke Museum
25 November 2022
Patung pejabat kolonial Jerman, Curt von Francois, akan dipindahkan ke museum setelah para aktivis mengritiknya sebagai simbol penindasan dan kolonialisme.
Iklan
Pihak berwenang di ibu kota Namibia, Windhoek, pada hari Rabu (23/11) akhirnya memindahkan patung gubernur kolonial Jerman, setelah para aktivis menggalang kampanye untuk penggusurannya. Patung itu ada di Independence Avenue, jalan utama di pusat kota Windhoek.
Juru bicara kota Windhoek Harold Akwenya mengatakan kepada kantor berita Jerman dpa, patung Curt von Francois – yang dianggap oleh banyak orang sebagai pendiri kota Windhoek – akan dipindahkan ke Museum Kemerdekaan untuk diamankan.
Patung von Francois telah berdiri di pusat kota sejak 1965. Namun, banyak warga Namibia yang menuntut penurunannya dalam sebuah petisi, yang dimulai pada tahun 2020 oleh aktivis dekolonisasi Hildegard Titus.
Sejarah Kebiadaban Kolonial Jerman
Jejak kolonialisme Jerman sudah banyak dilupakan. Namun kebiadaban pemerintahan kolonial lebih dari seabad silam masih menghantui hingga kini. Inilah penggalan sejarah kelam Jerman yang tak tuntas.
Foto: public domain
'Masa depan di Samudera'
Di Bawah kanselir Otto von Bismarck, Jerman menjajah Namibia, Kamerun, Togo dan sebagian wilayah Tanzania dan Kenya. Warisan Bismarck dilanjutkan Kaisar Wilhelm II (gambar) dengan membangun armada laut untuk memperluas wilayah kolonial Jerman. Bismarck sebenarnya bukan "pria kolonial." Agresi Jerman dilakukan cuma buat "melindungi rute perdagangan."
Foto: Hulton Archive/Getty Images
Jajahan Jerman
Jerman lalu membeli sejumlah wilayah jajahan di Pasifik, antara lain wilayah utara Papua Nugini, Kepulauan Bismarck, Kepulauan Marshall dan Solomon serta Qingdao di Cina. Sebuah konfrensi negara kolonial Eropa di Brussels tahun 1890 juga menelurkan hak buat Jerman untuk menduduki kerajaan Rwanda dan Burundi. Hingga akhir abad ke-19, perluasan wilayah kolonial Jerman resmi berakhir.
Foto: picture-alliance / akg-images
Manusa Kelas Dua
Populasi "kulit putih" di wilayah jajahan Jerman tidak lain adalah sekelompok kecil warga Eropa yang menikmati berbagai hak dan imunitas. Tahun 1914 sebanyak 25 ribu warga Jerman hidup di wilayah kolonial, hampir separuhnya menetap di Namibia. Sementara 13 juta penduduk lokal dianggap sebagai manusia kelas dua tanpa hak sipil.
Foto: picture-alliance/dpa/arkivi
Genosida Pertama Abad ke-20
Pembantaian terhadap etnis Herero dan Nama di Namibia adalah kejahatan terbesar Jerman di era kolonialisme. Pada pertempuran Waterberg, 1904, pasukan Jerman memblokir akses terhadap air buat pemberontak Herero yang melarikan diri ke gurun Namib. Akibatnya 60.000 orang mati kehausan.
Foto: public domain
Kejahatan yang Terlupakan
Cuma sekitar 16.000 anggota etnis Herero yang hidup setelah pemberontakan gagal. Mereka ditahan di kamp konsentrasi. Hasilnya sebagian meninggal dunia. Hingga kini jumlah pasti korban masih diliputi misteri. Berbeda dengan kejahatan NAZI di Perang Dunia II, Jerman belum pernah membayar ganti rugi atas pelanggaran HAM di era kolonialisme.
Foto: public domain
Alergi Masa Lalu
Antara 1905 dan 1907 berbagai kelompok etnis di wilayah yang kini bernama Burundi, Tanzania dan Rwanda bersatu untuk melawan Jerman setelah penduduk dipaksa menanam kapas untuk diekspor. Sekitar 100.000 pasukan pemberontak tewas dalam perang Maji-Maji. Hingga kini sejarah kelam tersebut jarang dibahas di Jerman. Sebaliknya pemberontakan itu adalah bagian penting dalam sejarah Tanzania.
Foto: Downluke
Reformasi Dernburg
Setelah berbagai perang pemberontakan, Jerman akhirnya merestrukturisasi pemerintahan kolonial untuk memperbaiki situasi penduduk di wilayah jajahan. Bernhard Dernburg (gambar) yang seorang pengusaha itu diangkat sebagai Menteri Kolonial dan menggulirkan reformasi untuk memperbaiki kebijakan Jerman di wilayah jajahannya. Dernburg terutama membidik manfaat ekonomi dari kolonialisme.
Foto: picture alliance/akg-images
Akhir Kolonialisme
Takluk di Perang Dunia I, Jerman lalu menandatangani perjanjian damai di Versailles tahun 1919. Dalam proses negosiasi Berlin harus menarik diri dari semua wilayah jajahannya. Akibatnya kas negara yang hampir kosong akibat perang semakin menciut. Jerman pun memasuki dekade penuh ketidakpastian ekonomi.
Foto: ullstein bild - histopics
Perundingan Alot
Negosiasi seputar pembantaian etnis Herero dan Nama kini memasuki fase tersulir. Jerman masih enggan memberikan uang ganti rugi. Perwakilan Herero akhirnya mengajukan keberatan resmi kepada PBB setelah tidak dilibatkan dalam proses perundingan.
Foto: Dagmar Wöhrl
9 foto1 | 9
Keturunan Francois kritik penyingkiran patung
Mantan Wali Kota Windhoek Job Amupanda mengatakan kepada dpa, pemindahan patung itu adalah "awal dari proses dekolonisasi Windhoek." Namun, tidak semua warga Namibia senang melihat pemindahan patung Curt von Francois.
Iklan
Media lokal "The Namibia” berbicara dengan salah satu cicit Curt von Francois, Ruprecht von Francois, yang mengatakan bahwa langkah tersebut tidak menghormati warisan Curt von Francois dan sama saja dengan diskriminasi terhadap sejarah etnis Damara.
Ruprecht von Francois mengatakan bahwa leluhurnya menikah dengan nenek buyutnya — Amalia ǃGawaxas, yang merupakan seorang putri Damara — dan bahwa sebagai pendiri kota Windhoek dia "telah melakukan banyak hal untuk negara ini."
Siapa Curt von Francois?
Curt von Francois adalah perwira senior pasukan kolonial Jerman dan menurut sejarah kolonial mendirikan kota Windhoek pada tahun 1890. Ketika itu, kawasan yang sekarang menjadi negara Namibia adalah kawasan yang dinamakan penguasa kolonial Jerman sebagai "Barat Daya Afrika-Jerman."
Pada tahun 1893, terjadi pertempuran antara tentara Jerman yang dikirim untuk melindungi pemukim Jerman di Namibia dan klan lokal, termasuk etnis Herero dan Nama. Curt von Francois lalu memerintahkan penyerangan terhadap kepala suku Nama Hendrik Witbooi dan desa Hornkranz, di mana para perempuan, anak-anak, dan orang tua dibantai.
Pasukan kolonial Jerman secara brutal menekan setiap upaya pemberontakan di Namibia, sebagaimana yang dilakukan oleh para penguasa kolonial di derah-daerah jajahannya di Afrika. Pada tahun 1904 hingga 1907, terjadi aksi pembunuhan massal terjadi dan periode sejarah ini sekarang diterima secara luas sebagai genosida pertama abad ke-20.
Sengketa soal pembayaran "ganti rugi”
Pada Mei 2021, pemerintah Jerman mengakui kekejaman yang dilakukan pasukan Jerman terhadap Herero dan Nama sebagai genosida dan berjanji untuk membayar dana kompensasi 1,1 miliar euro selama 30 tahun untuk bantuan infrastruktur dan pembangunan di Namibia.
Bantuan itu tidak termasuk pembayaran reparasi resmi. Pemerintah Namibia menyetujui pembayaran itu, tetapi kalangan oposisi dan para tokoh Herero dan Nama mengeritik pembayaran itu dan menyebutnya "tidak dapat diterima." Mereka menuntut negosiasi ulang.
Jerman sejauh ini telah menolak tuntutan untuk negosiasi baru dengan Namibia dan bersikeras menerapkan kesepakatan yang sekarang jadi kontroversi.