NASA bersiap meluncurkan satelit baru. OCO-2 yang bakal mengorbit awal Januari mendatang berfungsi mengukur kadar CO2 di atmosfer Bumi. Informasi tersebut dinilai penting untuk membuat simulasi yang lebih akurat
Iklan
Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) sedang menyiapkan peluncuran satelit pengorbit yang bertugas mengukur kadar CO2 di atmosfer bumi. Satelit bernama Orbiting Carbon Observatory 2 (OCO-2) itu akan diterbangan tanggal 1 Juli mendatang. Menurut NASA, satelit observasi diperlukan mengingat kadar CO2 yang telah mencapai titik tertinggi sejak 800.000 tahun.
Satelit OCO-2 akan menyediakan gambaran detail dan menyeluruh tentang emisi CO2 yang disebabkan aktivitas manusia atau secara alami. Selain itu satelit tersebut juga akan mengukur dampak karbondioksida yang "tenggelam" ke dalam samudera atau ditelan oleh hutan.
Dua Tahun Mengukur CO2
"Karbondioksida di atmosfer bumi memainkan peranan penting terhadap keseimbangan energi di planet kita dan menjadi faktor penentu untuk memahami bagaimana iklim berubah," kata Michael Freilich, Direktur Sains Bumi di NASA. "Kami ingin berkontribusi dengan menyediakan sumber infomrasi baru untuk pemahaman yang lebih baik mengenai Bumi dan masa depannya."
Satelit OCO-2 akan diluncurkan dengan menggunakan roket United Launch Alliance Delta II dari markas angkatan udara Vandenberg di California. NASA menetapkan OCO-2 akan mengorbit bumi setiap 99 menit dari ketinggian 705 kilometer. Satelit tersebut didesain untuk beroperasi selama dua tahun.
April silam konsentrasi bulanan CO2 di atmosfer bumi melewati angka 400 partikel per juta di langit utara. Menurut NASA, angka tersebut adalah catatan tertinggi kadar CO2 selama 800.000 tahun. Aktivitas manusia, termasuk di antaranya membakar bahan bakar fosil seperti minyak, gas alam dan batu bara, bertanggungjawab terhadap 40 miliar ton CO2 setiap tahunnya. Kadar tersebut membuat akumulasi gas rumah kaca di atmosfer bumi.
Kombinasi Data Satelit dan Observatorium Bumi
Sebagian besar pakar iklim sepakat, kenaikan emisi CO2 yang berasal dari aktivitas manusia, terutama dari pembakaran minyak, batu bara dan deforestasi hutan, merusak perputaran karbon alami bumi dan memicu kenaikan temperatur serta perubahan iklim secara global.
Saat ini kurang dari setengah emisi CO2 yang bersumber pada aktivitas manusia, bertahan di atmosfer bumi. Pengukuran level CO2 melalui satelit OCO-2 milik NASA akan dikombinasikan dengan informasi yang ditangkap oleh observatorium bumi, pesawat dan satelit-satelit lainnya.
rzn/ab (afp,ap)
Sentinel 1-A Menatap Bumi
Pada 3 April 2014, Sentinel-1 mulai mengorbit bumi. Satelit anyar itu adalah satelit pertama dalam program observasi bumi Copernicus. Ia bertugas mengamati iklim dan lingkungan. Kini ESA mempublikasikan citra pertama.
Foto: ESA – S. Corvaja
Citra Pertama dari Satelit Anyar
Sentinel-1 dibuat untuk mengujicoba terobosan baru, yakni pertukaran informasi tak terbatas ke luar angkasa. Satelit ini dilengkapi dengan laser khusus yang memungkinkan pengiriman data dalam jumlah besar. Fitur tersebut dinilai penting ketika waktu berarti nyawa, seperti dalam situasi bencana alam.
Foto: ESA/ATG medialab
Langkah Pertama
Sembilan hari setelah mengorbit di luar angkasa, Sentinel-1 sudah memotret gambar pertama. Sesuai dengan proyek dari Eropa, citra pertama satelit yang dibuat oleh Badan Antariksa Eropa itu adalah ibukota Belgia, Brussel.
Foto: ESA
Raksasa yang Menyusut
Gambar lain yang dibuat Sentinel-1 adalah Gletser Pulau Pine, sebuah raksasa es yang setiap tahun membawa miliaran ton es ke laut Antartika Barat. Namun gletser ini terancam oleh pemanasan global. Pintu masuk gletser yang digambarkan seperti tutup botol, telah berkurang sebanyak satu kilometer per tahun dalam satu dekade terakhir.
Foto: ESA
Air di Sambesi
Caprivi adalah sebuah daratan menyempit di timur laut Namibia. Selama musim hujan antara Desember dan Maret, sebagian besar kawasan di tepi sungai Sambesi ini kebanjiran. Caprivi yang menaungi jaringan kanal air alami adalah satu-satunya kawasan di Namibia yang menampung air sepanjang tahun dan dengan begitu menjadi habitat ratusan jenis satwa liar.
Foto: ESA
Pulau Peneliti
Sebuah semenanjung membentang di utara Antartika. Gunung setinggi 2800 meter bertaburan di atasnya. Semenanjung Antartika dianggap sebagai perpanjangan rantai pegunungan Anden di Amerika Selatan. Uniknya, kawasan ini menampung stasiun penelitian terbanyak di Antartika.
Foto: ESA
Es Bergerak
Austfonna di Norwegia yang membentang seluas 8120 Kilometer persegi adalah tudung es dan sekaligus gletser terbesar di Eropa. Pengukuran oleh Sentinel-1 dan misi milik Badan Antariksa Jerman, DLR, mengungkap, bagian tenggara Gletser Austfonna bergerak sepuluh kali lebih cepat ketimbang yang diyakini selama ini.
Foto: ESA/DLR/Gamma/University of Leeds/University of Edinburgh
Pulau Sentinel Utara
Yang diwarnai pada citra ini adalah pulau Sentinel Utara, pulau yang terletak paling barat di kepulauan Andaman di Samudera Hindia. Kunjungan ke pulau Sentinel Utara dilarang sejak 1996. Alasannya adalah penduduk suku pedalaman yang menolak hubungan dengan dunia luar.
Foto: ESA
Meranggas lalu Menjadi Garam
Salar de Uyuni adalah dataran garam terluas di dunia. Wilayah ini terbentuk lebih dari 10.000 tahun lalu ketika danau yang menaunginya mengering,. Salar de Uyuni terletak di ketinggian 3600 meter dari permukaan laut di, barat daya Bolivia.