Tahun 2025 mungkin tidak terlihat menjanjikan bagi Iran. Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih dan perlawanan para perempuan di dalam negeri, menjadi perhatian rezim teokrasi Iran.
Iklan
"Iran telah lama berada dalam situasi sulit, dan sadar tidak ada jalan lain selain berubah,” ujar pakar Iran, Arash Azizi, dalam perbincangan dengan DW menanggapi kondisi aktual yang dihadapi negara di Timur Tengah itu.
"Pimpinan di Republik Islam Iran perlu mengubah kebijakannya, dan membuat kesepakatan dengan negara-negara Barat untuk mengatasi sanksi internasional dan keruntuhan ekonomi negara itu, lanjut Azizi, seorang sejarawan sekaligus dosen di Universitas Clemson, Amerika Serikat (AS).
Rezim teokrasi Iran juga "khawatir terhadap kembalinya kebijakan 'tekanan maksimum' di bawah pemerintahan Trump mendatang".
Donald Trump akan resmi duduki Gedung Putih pada 20 Januari 2025, dan kebijakannya terhadap Iran akan semakin meningkatkan tekanan pada penguasa di Teheran.
Para pemimpin Teheran sudah sejak beberapa dekade mengalami tahun yang penuh gejolak. Situasi politik ini membuat banyak warga Iran bertanya-tanya, apakah kali ini pemimpin mereka akan menghadapi musim dingin yang cukup berat?
Bendera Oposisi Suriah Berkibar di Moskow
00:39
Sembilan bulan yang dramatis
Sembilan bulan terakhir ditandai dengan serangkaian peristiwa dramatis bagi Iran.
Kematian Raisi yang sangat mendadak, memicu digelarnya pemilihan presiden dini, yang secara mengejutkan dimenangkan oleh Massud Peseshkian, yang dianggap sebagai politisi moderat.
Pada musim panas, pembunuhan yang ditargetkan terhadap pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, saat berada di Teheran juga mengguncang Iran. Hamas dianggap sebagai organisasi teroris oleh Jerman, AS, dan beberapa negara barat lainnya.
Kematian Haniyeh itu menghilangkan tokoh kunci dalam "poros perlawanan" terhadap Israel dan negara-negara Barat. Beberapa bulan kemudian, pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah tewas dalam sebuah aksi militer Israel dan disusul runtuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah baru-baru ini. Rangkaian peristiwa itu menyebabkan runtuhnya "poros perlawanan" tersebut.
Lini Masa Pertikaian Arab Saudi dan Iran
Bukan kali pertama Iran dan Arab Saudi bersitegang. Sepanjang sejarahnya, hubungan kedua negara acap mengalami pasang surut menyusul konflik politik atau agama. Inilah sejarah modern permusuhan dua ideologi dalam Islam
Foto: DW Montage
Damai berbayang kecurigaan
Hubungan Iran dan Arab Saudi baru tumbuh sejak kekuasaan Syah Reza Pahlevi dan Raja Khalid. Kedua negara sebelumnya sering direcoki rasa saling curiga, antara lain karena tindakan Riyadh menutup tempat-tempat ziarah kaum Syiah di Mekkah dan Madinah. Perseteruan yang awalnya berbasis agama itu berubah menjadi politis seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan Revolusi Islam 1979.
Foto: picture alliance/AP Images
Pendekatan usai Revolusi Islam
Raja Khalid sempat melayangkan ucapan selamat kepada Ayatollah Khomeini atas keberhasilan Revolusi Islam 1979. Tapi hubungan kedua negara memburuk menyusul perang Iran-Irak dan kisruh Haji 1987. Puncaknya, Riyadh memutuskan hubungan pada 1987, ketika Khomeini mengecam penguasa Saudi sebagai "Wahabi yang tidak berperikemanusiaan, ibarat belati yang menusuk jantung kaum Muslim dari belakang."
Foto: Getty Images/Afp
Keberpihakan dalam Perang Iran-Irak 1980
Saat berkobar perang Iran-Irak, Arab Saudi sejak dini menyatakan dukungan terhadap rejim Saddam Hussein di Baghdad. Riyadh memberikan dana sumbangan sebesar 25 milyar US Dollar dan mendesak negara-negara Teluk lain untuk ikut mengisi pundi perang buat Irak. Demi menanggung biaya perang, Arab Saudi menggenjot produksi minyak yang kemudian mengakibatkan runtuhnya harga minyak di pasar dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Kisruh Haji 1987
Mengikuti ajakan Ayatollah Khomeini, jemaah Iran setiap tahun berdemonstrasi di Mekkah dan Madinah menentang Israel. Tradisi sejak 1981 itu tidak pernah diperkarakan, kecuali pada 1987, ketika polisi memblokade jalan menuju Masjid al-Haram. Akibat bentrokan, 402 jemaah Iran tewas dan 649 luka-luka. Setelah kedutaannya di Teheran diserbu massa, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Foto: farhangnews
Kontroversi program nuklir Iran
Arab Saudi sejak awal menolak program nuklir Teheran. Sikap itu tidak berubah bahkan setelah tercapainya Perjanjian Nuklir di Vienna tahun 2015. Riyadh menilai kesepakatan tersebut "sangat berbahaya." Desakan kepada Iran untuk bekerja sama dengan pengawas nuklir PBB juga disampaikan Saudi pada awal 2023.
Foto: Irna
Pemberontakan Houthi di Yaman, 2004
Hubungan Iran dan Arab Saudi kembali menegang setelah kelompok Syiah Zaidiyah di Yaman mengobarkan pemberontakan. Riyadh menuding Teheran mengompori perang bersaudara dan mencampuri urusan dalam negeri Yaman dengan memasok senjata. Iran sebaliknya menuding Arab Saudi menghkhianati perannya sebagai mediator konflik dengan membombardir minoritas Houthi di utara Yaman.
Foto: picture alliance/Y. Arhab
Perang proksi di Suriah, 2011
Dukungan Iran atas rejim Bashar Assad di Suriah sejak lama dianggap duri dalam daging oleh Arab Saudi. Sejak 2011, Riyadh aktif memasok senjata buat oposisi Sunni di Suriah. Kerajaan di Riyadh juga menjadi yang pertama kali mengecam Assad seputar "tindakan represif pemerintahannya terhadap demonstrasi anti pemerintah," ujar Raja Abdullah saat itu.
Foto: picture-alliance/AP/Vadim Ghirda
Tragedi Mina 2015
Bencana memayungi ibadah Haji 2015 ketika lebih dari 400 jemaah Iran meninggal dunia di terowongan Mina akibat panik massa. Iran menuding pemerintah Arab Saudi ikut bertanggungjawab. Riyadh sebaliknya menyelipkan isu bahwa tragedi itu disebabkan jemaah haji Iran yang tak mau diatur. Kisruh memuncak saat pangeran Arab Saudi, Khalid bin Abdullah, mendesak agar Riyadh melarang masuk jemaah haji Iran.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Eksekusi Mati Al-Nimr 2016
Sehari setelah pergantian tahun Arab Saudi mengeksekusi mati 46 terpidana, antara lain Syeikh Nimr al-Nimr, seorang ulama yang aktif membela hak-hak minoritas Syiah yang kerap mengalami represi dan diskriminasi di Arab Saudi. Al-Nimr didakwa terlibat dalam terorisme. Sebagai reaksi Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei melayangkan ancaman, bahwa Saudi akan mendapat "pembalasan tuhan."
Foto: picture alliance/dpa/Y. Arhab
Drama di Lebanon
Pada November 2017 Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengumumkan pengunduran diri dari Riyadh, Arab Saudi, dan menyalahkan Iran terkait kebuntuan politik di Beirut. Langkah itu diyakini bagian dari manuver Arab Saudi untuk memprovokasi perang antara Iran dan Hizbullah dengan Israel. Saudi dan Iran berebut pengaruh di Lebanon pasca penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/Lebanese Official Government/D. Nohra
Narasi damai di awal 2023
Menyusul mediasi Cina, pemerintah Arab Saudi sepakat memulihkan hubungan dengan Ira pada Maret 2023. Kesepakatan tersebut disusul pembukaan kembali relasi dengan Suriah dan perundingan damai dengan pemberontak Houthi di Yaman. Sebelumnya, negara-negara Teluk juga sepakat mengakhiri perpecahan dengan Katar, sekutu dekat Iran di Teluk Persia.
Foto: Iran's Foreign Ministry/WANA/REUTERS
11 foto1 | 11
Iran berupaya mengurangi ketegangan dengan Barat
Menurut Azizi, "sangat mungkin kepemimpinan Republik Islam Iran saat ini sedang berupaya mengurangi ketegangan dengan Barat." Ia mengacu pada sebuah artikel terbaru yang ditulis oleh mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Iran Mohammad Javad Zarif di majalah Foreign Affairs.
Dalam artikel yang diterbitkan sebelum runtuhnya rezim Assad, berjudul "Bagaimana Iran Melihat Jalan Menuju Perdamaian," Zarif menekankan kesiapan Teheran untuk bernegosiasi dengan Barat, termasuk AS.
"Terkait Israel, Zarif berpendapat bahwa Iran akan menerima kesepakatan apa pun yang dicapai oleh Palestina. Ini adalah poin penting," tegas Azizi.
Ketika ditanya apakah kepemimpinan Iran akan mempertimbangkan kembali permusuhannya dengan Israel, Azizi mengatakan, "Pertanyaannya adalah bagaimana menerapkan hal ini di dalam negeri. Itu bertentangan dengan sikap Pemimpin Tertinggi Khamenei dan sikap anti-Israel seumur hidupnya."
"Saat ini, penting untuk melihat, bagaimana Presiden Trump dan Perdana Menteri Israel akan bereaksi terhadap momen melemahnya Republik Islam Iran ini," tambah Azizi.
Kekuasaan Berdarah Ayatollah Khomeini
Ayatollah Khomeini mengobarkan revolusi 1979 buat mengakhiri kekuasaan monarki yang represif dan sarat penindasan. Ironisnya negara agama yang ia dirikan justru menggunakan cara-cara serupa untuk bisa bertahan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/FY
Reformasi Setengah Hati
Iran pada dekade 1970an mengalami perubahan besar lewat "Reformasi Putih" yang digenjot Syah Reza Pahlevi. Program yang antara lain berisikan reformasi agraria dan pendidikan itu sebenarnya diarahkan untuk mempersempit pengaruh kaum Mullah dan tuan tanah. Namun Reformasi Putih menciptakan ketegangan sosial yang justru ingin dihindari pemerintah. Seluruh negeri tiba-tiba bergejolak.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Monarki Tanpa Oposisi
Iran pada era Pahlevi membungkam oposisi lewat penculikan, pembunuhan, penyiksaan dan eksekusi mati. Pada demonstrasi massal 1963, sekitar 15.000 mahasiswa tewas terbunuh. Antara 1971 hingga Revolusi Islam 1979, sebanyak 100 tokoh oposisi melepas nyawa di tiang gantungan. Sampai 1975 pemerintah menahan hampir semua jurnalis, seniman, sastrawan, ulama dan akademisi yang bersimpati pada oposisi
Foto: picture alliance/Herbert Rowan
Arus Balik Khomeini
Ayatollah Khomeini yang awalnya mendukung kekuasaan terbatas Monarki Iran, berbalik arah memperkenalkan sistem pemerintahan Islam berbasis kekuasaan Ulama, Wilayatul Faqih. Oleh Pahlevi ia dikucilkan. Putra Khomeini, Mostafa, dibunuh oleh pasukan rahasia Syah Iran, Savak, setahun sebelum revolusi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/FY
Sekulerisme Islam
Namun begitu Khomeini tidak serta merta membangun pemerintahan Mullah di tahun pertama revolusi. Sebaliknya ia mengakui peran kelas menengah dalam menjatuhkan Pahlevi dengan membentuk pemerintahan sekuler di bawah tokoh liberal dan moderat Mehdi Bazargan (gambar) sebagai perdana menteri dan kemudian Abolhassan Banisadr yang merupakan aktivis HAM Iran.
Foto: Iranian.com
Kebangkitan Islam Militan
Tapi menguatnya militansi pengikut Khomeini yang ditandai dengan penyerbuan Kedutaan Besar Amerika Serikat menyudahi peran kaum liberal. Terutama sejak perang Iran-Irak, Khomeini banyak memberangus oposisi. Antara 1981 dan 1985, pemerintah Islam Iran mengeksekusi mati 7900 simpatisan oposisi.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Pengkhianatan Ayatollah
Untuk mempertahankan idenya tentang kekuasaan Ulama, Khomeini tidak cuma mengucilkan perdana menterinya sendiri, ia juga memenjarakan ulama besar Syiah, Ayatollah Sayid Muhammad Kazim Shariatmadari (gambar) dengan tudingan makar dan calon penggantinya, Ayatollah Hossein-Ali Montazeri karena menentang tindakan represif pemerintah.
Foto: tarikhirani.ir
Dekade Berdarah
Dekade 1980-an menandai kekuasaan berdarah Khomeini. Dalam Tribunal Iran, PBB menuding rejim Islam Iran melakukan "pelanggaran berat Hak Azasi Manusia." Selama tahun 1980-an, sebanyak 20.000 tahanan politik meninggal dunia di penjara dan lusinan media diberangus paksa.
Foto: sarafsazan.com
Derita di Balik Jeruji
Pengadilan Kejahatan HAM Iran yang digelar di Den Haag tahun 2012 silam mengungkap berbagai kesaksian mantan tapol. Sebagian besar mengabarkan penyiksaan di penjara, antara lain digantung terbalik selama berhari-hari dan dipaksa melihat adegan penyiksaan terhadap rekannya, serta dikurung di sel isolasi tanpa sinar matahari selama berminggu-minggu.
Foto: iranwebgard.ir
Eksekusi Massal
Hingga kini Iran menjadi salah satu negara dengan jumlah hukuman mati tertinggi di dunia terhadap tahanan politik. Setahun menjelang kematiannya (3 Juni 1989), Khomeini menggulirkan gelombang eksekusi massal terhadap tokoh oposisi. Tidak jelas berapa jumlah tahanan politik yang tewas. Sebuah sumber menyebut jumlah tapol yang dieksekusi mati mencapai 30.000 orang.
Foto: picture-alliance/dpa
9 foto1 | 9
Peningkatan senjata nuklir untuk mengamankan rezim?
Kemunduran yang dialami Iran dan sekutunya dalam beberapa bulan terakhir, telah menghidupkan kembali perdebatan di negara itu tentang strategi pencegahan militernya, termasuk beberapa pihak yang menyerukan dipacunya pengembangan senjata nuklir Iran.
Pada awal Desember, Ahmad Naderi, anggota parlemen di Teheran menyatakan, sudah saatnya Iran melakukan uji coba senjata nuklirnya.
Karena khawatir adanya potensi ketegangan yang meningkat, Jerman, Prancis, dan Inggris mengadakan pembicaraan dengan Iran pada akhir November lalu, untuk membahas pembatasan program nuklir negara itu. "Pembicaraan ini lebih seperti persiapan untuk diskusi selanjutnya," kata Cornelius Adebahr, analis politik berbasis di Berlin, kepada DW.
"Mengadakan pembicaraan ini sebelum Trump menjabat adalah suatu keharusan. Begitu Trump menjabat, ia mungkin akan merasa tertekan dengan satu atau lain cara. Akan ada suara-suara yang menyarankannya untuk mengambil tindakan tegas," tambah Adebahr.
"Memiliki rencana, atau setidaknya kerangka rencana, akan sangat membantu pihak Eropa," kata Adebahr menambahkan.
Makin Banyak Perempuan Memimpin Gerakan Sosial di Asia
Aksi protes menentang kebijakan pemerintah melanda banyak negara Asia, termasuk Afghanistan, India, Iran dan Pakistan. Perempuan sering ada di garis depan aksi unjuk rasa, berhadapan langsung dengan aparat keamanan.
Foto: picture alliance/abaca
Perempuan menentang undang-undang "diskriminatif"
Banyak warga sipil India marah atas undang-undang kewarganegaraan baru yang disebut mendiskriminasi umat Islam. Aksi protes meluas di seluruh negeri. Mereka menuntut Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa membatalkan kembali undang-undang tersebut. Perempuan India menjadi ujung tombak aksi protes di beberapa negara bagian.
Foto: DW/M. Javed
Perjuangan menentang "rasisme"
Mahasiswa perempuan turun ke jalan-jalan di India, menyerukan slogan-slogan menentang langkah-langkah pemerintah yang mereka sebut "tidak konstitusional" dan bersifat rasis. Meskipun demonstrasi adalah hak warganegara, para perempuan menghadapi kecenderungan sikap fasis, kebencian terhadap perempuan, ekstremisme agama, dan kebrutalan polisi.
Foto: DW/M. Krishnan
Menolak "ideologisasi" hijab di Iran
Aktivis perempuan di Iran melepas jilbab sebagai tanda protes terhadap politik para Mullah. Meskipun ada sanksi keras terhadap perempuan-perempuan Iran yang dituduh "kebarat-baratan", mereka terus menggelar unjuk rasa di berbagai kota.
Foto: picture-alliance/abaca/SalamPix
Melawan penindasan rezim penguasa
Perempuan Iran telah mengalami penindasan patriarki sejak revolusi Islam 1979. Sekarang mereka menuntut persamaan hak, kebebasan berbicara dan berkumpul. Sekalipun sering dihina dan disepelekan pejabat pemerintahan, hal itu tidak membuat mereka mundur. Perempuan di Iran secara aktif berpartisipasi dalam semua demonstrasi politik dan sipil.
Foto: picture-alliance/AP Photo/J. Roberson
Perempuan Pakistan menyerukan "cukup adalah cukup" !
Para perempuan Pakistan yang menuntut persamaan hak sering dipandang rendah perempuan dan dijuluki "agen-agen Barat" atau "mafia LSM". Aktivis feminis umumnya ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Namun itu memotivasi para aktivis untuk bersuara lebih lantang lagi menuntut hak-hak mereka.
Foto: Reuters/M. Raza
Jadi gerakan sosial
Gerakan perempuan di Pakistan kebanyakan memang masih bersifat eksklusif, terutama fokus pada isu-isu kekerasan berbasis gender, pernikahan dini dan "pembunuhan demi kehormatan". Namun sekarang makin banyak perempuan berpartisipasi aktif dalam unjuk rasa pro-demokrasi.
Foto: DW/T. Shahzad
Jumlah kecil dengan kekuatan besar
Hak-hak perempuan bukan prioritas bagi pemerintah Afghanistan. Demi stabilitas, pemerintah Afghanistan maupun Amerika Serikat melakukan perundingan damai dengan milisi Taliban. Bagi para perempuan, kembalinya Taliban adalah ancaman besar, seperti yang pernah mereka alami selama masa-masa gelap di bawah Taliban. Hanya sedikit perempuan Afghnaistan yang turun ke jalan, tapi suara mereka lantang.
Foto: DW/H.Sirat
Lebih baik daripada di era Taliban
Di bawah kekuasaan Taliban, perempuan kehilangan hak dan kebebasan mereka. Anak-anak perempuan bahkan dilarang ikut pendidikan sekolah. Perempuan juga tidak boleh bekerja atau meninggalkan rumah tanpa pendamping. Sekarang, anak-anak perempuan bisa bersekolah dan bercita-cita tinggi. (hp/ )
Foto: DW/H. Sirat
8 foto1 | 8
"Kekhawatiran provokasi terhadap warga”
Kesepakatan dengan negara-negara Barat bukan satu-satunya tantangan yang dihadapi pemerintah Iran saat ini.
Sejauh ini belum ada solusi untuk berbagai masalah internal yang dihadapi negara tersebut, khususnya perselisihan dengan kelompok garis keras Islam, tentang undang-undang pengetatan mengenakan hijab yang wajib bagi perempuan.
Undang-undang kontroversial yang disahkan oleh parlemen pada September 2023, memberlakukan hukuman lebih berat bagi perempuan dan gadis-gadis muda yang menolak mengenakan hijab. Para perempuan akan menghadapi denda besar, penolakan layanan publik, larangan bepergian ke luar negeri, hingga dalam kasus ekstrem, hukuman penjara.
Namun, kelompok garis keras Islam terus menekan pemerintah Iran untuk segera memberlakukan undang-undang yang kontroversial ini.
Empat Agama Hidup Berdampingan di Hasan Abad, Teheran
Selama sekitar satu abad, sinagoge Mizrahi, gereja Armenia, kuil Zoroaster, dan masjid Syiah telah melayani umat di lingkungan kecil di Hasan Abad, Teheran, Iran.
Foto: Changiz M. Varzi
Umat muslim membeli salib
"Anda tidak akan percaya jika saya beri tahu Anda bahwa pelanggan utama saya yang membeli salib dan Faravahar yang merupakan simbol Zoroastrinisme adalah warga muslim," kata Mehdi Hazratifard, pemilik toko di Hasan Abad, Teheran. Menurut Hazratifard, banyak umat Islam yang tertarik dengan agama lain dan suka membeli ornamen simbol suci yang berkaitan dengan agama tersebut.
Foto: Changiz M. Varzi
Sinagoge pertama di luar pemukiman Yahudi
Sinagoge Haim di Hasan Abad selesai dibangun pada tahun 1913. Sinagoge ini merupakan sinagoge pertama yang dibangun di luar Oudlajan, lingkungan pemukiman Yahudi di Teheran di masa dinasti Qajar (1789 -1925).
Foto: Changiz M. Varzi
Jumlah terus menyusut
Menurut petugas sinagoge (gabbai), Albert Sedq, sinagog Haim saat ini hanya buka pada hari libur besar, Sabat dan acara keagamaan khusus. Sejak revolusi 1979, komunitas Yahudi terus menyusut. Jumlah orang Yahudi yang tinggal di Iran sekarang kurang dari 16.000 orang.
Foto: Changiz M. Varzi
Tiba di Iran sekitar 2.500 tahun yang lalu
Yahudi di Iran adalah kaum Mizrahi, yang pertama kali tiba di Iran sekitar 2.500 tahun yang lalu. "Kami menganggap diri kami orang Iran dan bahasa ibu kami adalah bahasa Persia," kata Albert Sedq, pemuka Yahudi.
Foto: Changiz M. Varzi
Perpaduan budaya Yahudi dan Persia
Haim adalah salah satu dari 13 sinagoge aktif yang tersisa di Teheran. Dekorasi interiornya menggabungkan tradisi Yahudi yang berkaitan dengan desain interior tempat ibadah dan seni tradisional Iran seperti karya cermin.
Foto: Changiz M. Varzi
Jarak yang berdekatan
Pintu masuk ke Kuil Api Adorian, satu-satunya kuil Zoroastrian di dalam kawasan Teheran dan hanya berjarak lima menit berjalan kaki dari Sinagoge Haim. Zoroastrianisme adalah agama resmi Iran sejak Darius Agung berkuasa pada 522 SM hingga invasi Arab ke Iran pada 656 M.
Foto: Changiz M. Varzi
Gaya bangunan Persia di zaman Qajar
Seperti yang ditunjukkan oleh prasasti di fasad, Kuil Api Adorian selesai dibangun pada tahun 1916. Tulisan bahasa Farsi di prasasti tersebut berbunyi "Ahura Mazad", roh tertinggi yang disembah di aliran Zoroastrianisme. Temboknya mencerminkan gaya periode dinasti Qajar di Iran.
Foto: Changiz M. Varzi
Di Kuil Api: Api menyala tanpa henti
Di dalam ruang ibadah utama Zoroastarian ini terdapat perapian yang apinya sudah lebih dari 1.500 tahun menyala. Api suci tersebut dibawa dari Kuil Atash Bahram di Yazd, saat kuil tersebut diresmikan. Kuil api terbuka untuk semua orang dan pengikut dari semua agama dapat memasuki tempat ibadah, tetapi pengurus tidak mengizinkan pengambilan foto api, bahkan dengan telepon genggam sekalipun.
Foto: Changiz M. Varzi
Sekolah Zoroastrian
SMA Firooz Bahram, bersebelahan dengan 'Kuil Api', hanya menerima siswa Zoroastrian. Pembangunannya didanai pada tahun 1932 oleh seorang penganut Zoroastrian, Bahramji Bikaji dari India. Rabindranath Tagore, penyair India dan pemenang Hadiah Nobel non-Eropa pertama, hadir pada upacara peletakan batu pertama untuk sekolah menengah atas tersebut.
Foto: Changiz M. Varzi
Ada pula gereja Apostolik Armenia
Gereja Saint Mary's atau Santa Maria, yang merupakan sebuah gereja Apostolik Armenia, berada di seberang jalan dari kuil api Zoroastrianus. Kebaktian diadakan oleh komunitas Armenia, namun gereja juga terbuka untuk pengikut dari semua agama.
Foto: Changiz M. Varzi
Ada 11 gereja Armenia
Konstruksi di Santa Maria dimulai pada tahun 1937 dan membutuhkan waktu tujuh tahun untuk menyelesaikannya. Gereja tersebut adalah salah satu dari 11 gereja Armenia di Teheran yang masih beroperasi. Komunitas Kristen Teheran juga dilayani oleh Gereja Ortodoks Yunani, Ortodoks Rusia, Protestan Asiria, dan Katolik Asiria.
Foto: Changiz M. Varzi
Ada pula museumnya
Pada tahun 2008, Museum Artak Manookian dibuka di salah satu gedung milik Gereja Santa Maria, yang pernah menjadi kantor Keuskupan Armenia di Teheran.
Foto: Changiz M. Varzi
Nama jalan ingin diubah menjadi Jalan Agama
Yeron Qoucasian (78), adalah salah satu pria Armenia tertua di lingkungan itu dan pemilik toko daging Mikaelian yang terkenal saat ini. "Orang-orang dari semua agama telah tinggal dan bekerja di lingkungan ini seingat saya", kata Qoucasian. “Untuk sementara pemerintah kota bahkan ingin mengubah nama jalan ini menjadi 'Jalan Agama ".
Foto: Changiz M. Varzi
Masjid di antara kuil dan gereja
Masjid Nabi Ibrahim terletak di salah satu sisi jalan di blok yang sama dengan 'Kuil Api' dan gereja-gereja. Masjid yang dibangun pada tahun 1945 ini merupakan tempat ibadah termuda di pinggir jalan dan telah beberapa kali direnovasi. (Sumber: Qantara, ap/vlz)
Foto: Changiz M. Varzi
14 foto1 | 14
Pakar psikoanalis sosiopolitik, Saba Alaleh mengatakan, "Sistem politik menyadari bahwa masyarakat kini bertumbuh dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah protes nasional dengan slogan 'Perempuan, Kehidupan, Kebebasan.' Metode penindasan dan intimidasi sebelumnya tidak lagi efektif.”
"Undang-undang baru ini justru mendorong kekerasan terhadap perempuan dan masyarakat secara keseluruhan. Aturan itu menargetkan integritas pribadi warga negara dan melanggar hak kebebasan memilih dan memutuskan sendiri."
Bahkan, seorang penasihat Pemimpin Tertinggi Khamenei, Ali Larijani ikut mengkritik undang-undang tersebut dengan mengatakan, "Kita tidak membutuhkan undang-undang seperti itu, kita justru lebih banyak membutuhkan persuasi budaya.”
Dalam sebuah wawancara dengan televisi pemerintah, Presiden Peseshkian juga melontarkan kritiknya, dan mnyebutkan pemerintahannya tidak siap untuk memberlakukan undang-undang ini, dan menekankan perlunya "perdamaian dalam masyarakat."
Presiden dan penasihatnya menyadari, sikap memprovokasi masyarakat dengan undang-undang semacam itu hanya dapat memicu protes massal, yang akan sangat berbahaya di saat Republik Islam Iran sedang melemah seperti saat ini.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!