Kekuasaan Taliban dan kemiskinan menempatkan ibu tunggal sebagai kelompok paling rentan di Afganistan. Mereka acap tidak bisa melarikan diri dan berpasrah pada uluran tangan kerabat terdekat.
Iklan
Fauzia menjanda sejak ditinggal suaminya usai pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban. Dia takut, kata ibu yang kini membesarkan seorang putra berusia 5 tahun tersebut. "Saya dulunya adalah seorang polisi dan pegawai aparat keamanan nasional," kata dia kepada DW.
"Kami hidup di Kabul ketika Taliban datang. Suami saya tiba-tiba melarikan diri. Saya dan anak saya harus bersembunyi. Sudah sejak setahun kami melarikan diri. Setiap beberapa bulan, kami berpindah dan tinggal bersama saudara."
Sejak kekuasaan Taliban, banyak bekas serdadu atau polisi Republik Islam Afganistan yang dieksekusi mati atau dihilangkan. Bagi penguasa baru di Kabul, semua pegawai pemerintahan yang lama adalah pengkhianat. Sebabnya, Fauzia harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dia mengaku tidak bisa mendapatkan jenis pekerjaan lain.
Sang ibu mengaku kebingungan, sebagaimana ibu tunggal lain di Afganistan. Dia merasa siap mengambil risiko besar. "Saya berpikir untuk menjual ginjal. Saya ingin melarikan diri dengan anak saya," katanya. Satu-satunya bantuan didapat Fauzia dari saudaranya, yang juga semakin kesulitan akibat ambruknya perekonomian.
Larangan Kuliah oleh Taliban, Hak Perempuan Afganistan Dirampas
Sejak merebut kekuasaan pada pertengahan 2021, Taliban semakin membatasi hak-hak perempuan dan anak perempuan Afganistan. Kini, mereka membatasi akses perempuan ke pendidikan tinggi hingga memicu kemarahan internasional.
Foto: AFP
Perpisahan untuk selamanya?
Perempuan tidak akan diizinkan untuk kembali berkuliah. Dalam pernyataan pemerintah pada hari Selasa (20/12), Taliban menginstruksikan semua universitas di Afganistan, baik swasta maupun negeri, untuk melarang perempuan mengenyam pendidikan. Sekarang ini semua mahasiswa perempuan dilarang masuk ke universitas
Foto: AFP
Perempuan disingkirkan
Pasukan Taliban menjaga pintu masuk sebuah universitas di Kabul, sehari setelah larangan untuk perempuan berkuliah diberlakukan. Para mahasiswi diberitahu bahwa mereka tidak bisa masuk kampus. Larangan diberlakukan hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Namun, sudah ada aksi protes di universitas, di mana siswa laki-laki batal mengikuti ujian dan beberapa dosen laki-laki juga mogok mengajar.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Pendidikan tinggi hanya untuk laki-laki
Sejumlah pembatasan telah diberlakukan sebelum ini. Setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, universitas harus memisahkan pintu masuk dan ruang kuliah berdasarkan jenis kelamin. Mahasiswi hanya boleh diajar oleh dosen perempuan atau oleh pria tua. Gambar ini menunjukkan ada batas pemisah untuk mahasiswi di Universitas Kandahar.
Foto: AFP/Getty Images
Angkatan terakhir
Mahasiswi Universitas Benawa di Kandahar, masih bisa ikut wisuda Maret lalu dengan gelar di bidang teknik dan ilmu komputer. Pembatasan baru atas hak-hak perempuan di Afganistan mengundang kecaman keras dari dunia internasional. Human Rights Watch menyebut larangan kuliah bagi perempuan sebagai "keputusan yang memalukan", sementara PBB menyatakan keputusan itu melanggar hak asasi perempuan.
Foto: JAVED TANVEER/AFP
Dampaknya menghancurkan masa depan negara
Ribuan perempuan dan anak perempuan mengikuti ujian masuk universitas pada Oktober lalu, salah satunya di Universitas Kabul. Banyak yang ingin belajar kedokteran atau menjadi guru. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, larangan Taliban "tidak hanya melanggar persamaan hak perempuan dan anak perempuan, tetapi akan berdampak buruk pada masa depan negara."
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Tutup peluang pendidikan untuk perempuan
Larangan untuk perempuan berkuliah adalah satu lagi pembatasan pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan. Selama lebih dari setahun, gadis remaja hanya bisa bersekolah sampai kelas tujuh di sebagian besar provinsi. Gadis-gadis yang berjalan ke sekolah di Afganistan timur ini beruntung karena beberapa provinsi yang jauh dari pusat kekuatan Taliban mengabaikan larangan tersebut.
Foto: AFP
Negeri tanpa kehadiran perempuan
Perempuan dan anak perempuan sekarang disingkirkan dari sebagian besar aspek kehidupan publik Afganistan. Mereka tidak diizinkan mengunjungi gym atau taman bermain di Kabul selama berbulan-bulan. Taliban membenarkan larangan tersebut dengan berkilah, peraturan tentang pemisahan jenis kelamin tidak dipatuhi, dan banyak perempuan tidak mengenakan jilbab seperti yang diwajibkan oleh mereka.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Realitas distopia
Sejumlah perempuan mengumpulkan bunga safron di Herat. Ini adalah pekerjaan yang boleh mereka lakukan, tidak seperti kebanyakan profesi lainnya. Sejak berkuasa, Taliban telah memberlakukan banyak peraturan yang sangat membatasi kehidupan perempuan dan anak perempuan. Misalnya, mereka dilarang bepergian tanpa pendamping laki-laki dan harus mengenakan hijab di luar rumah setiap saat.
Foto: MOHSEN KARIMI/AFP
Sebuah aib yang memalukan
Banyak perempuan Afganistan menolak penghapusan hak-hak mereka dan berdemonstrasi di Kabul pada November lalu. Sebuah plakat bertuliskan "Kondisi Mengerikan Perempuan Afganistan Merupakan Noda Aib bagi Hati Nurani Dunia." Siapapun yang ikut protes perlu keberanian besar. Demonstran menghadapi risiko represi kekerasan dan pemenjaraan. Para aktivis hak-hak perempuan juga dianiaya di Afganistan.
Foto: AFP
9 foto1 | 9
Perempuan berkubang nestapa
Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa, sebanyak 97 persen penduduk Afganistan hidup dalam kemiskinan. Dengan 23,7 juta dari 40 juta alias lebih dari separuh penduduk bergantung pada bantuan kemanusiaan. Saat ini, sekitar enam juta orang berada di ambang kelaparan.
Ibu tunggal mewakili kelompok besar di antara penerima bantuan, menurut wartawan Afganistan Azadah Shirzad di Kabul. "Tidak ada data statistik tentang ibu tunggal. Dalam dua tahun terakhir, saya sudah berbicara dengan setidaknya 50 ibu tunggal," kata dia.
Shirzad termasuk sedikit jurnalis yang masih diizinkan bekerja, meski dengan pembatasan dan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Sejak lama dia berusaha menggaungkan perspektif perempuan di Afganistan.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Taliban awalnya berjanji untuk menghormati hak-hak perempuan dalam kerangka hukum Syariah. Namun dalam praktiknya, sejak berkuasa pada Agustus 2021, mereka memperkenalkan sejumlah undang-undang dan kebijakan yang justru mengabaikan hak-hak dasar perempuan di seluruh negeri. Karyawan perempuan dipecat; sekolah menengah khusus ditutup dan perempuan dilarang masuk universitas.
Menurut dana anak-anak PBB, Unicef, sebanyak 1,5 juta anak perempuan dan perempuan muda secara sistematis telah dikecualikan dari hak atas pendidikan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan. Pembatasan ini dikhawatirkan akan semakin memperburuk prospek kemakmuran dan kesehatan mental generasi muda.
Iklan
Anak-anak dalam himpitan
Di bawah Taliban, perempuan hanya diperbolehkan keluar ke tempat umum jika ditemani oleh kerabat laki-laki, seorang mahram. Bagaimanapun, mereka hanya diperbolehkan keluar rumah untuk urusan mendesak dan hanya jika berjilbab. Wanita lajang yang tidak memiliki anak laki-laki di rumah dan tidak memiliki saudara laki-laki di dekatnya hampir tidak dapat meninggalkan kediaman masing-masing.
"Di ibu kota Kabul, perempuan lajang masih bisa bekerja secara diam-diam, sebagai asisten dapur, penjahit, penata rambut atau petugas kebersihan," lapor jurnalis Azadah Shirzad dari Kabul.
Aktivis Afganistan Memperjuangkan Hak-hak Perempuan
04:03
Situasinya berbeda di kota-kota kecil dan desa-desa, lanjutnya. "Di sana mereka bergantung pada belas kasihan keluarga dan kerabat mereka dan harus tunduk. Banyak yang dianiaya dan sering kali dipaksa hidup sebagai istri kedua atau ketiga."
Situasi ekonomi yang memprihatinkan memaksa banyak ibu tunggal mengirim anak-anaknya untuk bekerja. Anak laki-laki khususnya harus mengambil tanggung jawab dan mengumpulkan uang sejak dini. "Mereka bekerja sebagai pedagang kaki lima, penyemir sepatu atau di ladang di luar kota," kata Shirzad.
"Anak-anak ini dieksploitasi dan sering mengalami pelecehan seksual. Namun ibu mereka tidak punya pilihan selain mengirim mereka bekerja." (rzn/as)