Tidak seperti etnis Rohingya, Myanmar, yang begitu hiruk-pikuk mendapat sambutan luas nan antusias oleh publik Muslim di Indonesia dan belahan dunia lain, nasib etnis Kurdi hampir-hampir tidak ada yang peduli.
Foto: Eddy van Wessel
Iklan
Tidak ada segelintir pun umat atau ormas Islam yang selama ini rajin teriak-teriak membela Palestina atau Rohingya, yang membela nasib, penderitaan, dan kepentingan warga Kurdi yang sudah lama hidup sengsara dan terlunta-lunta di bawah rezim politik non-Kurdi (Arab, Persia, Turki, dan lain sebagainya).
Nasib etnis Kurdi ini seperti etnis Darfur di Sudan barat yang juga sepi dari uluran tangan umat Islam meskipun mereka lama menjadi korban diskriminasi dan kekerasan. Padahal, mayoritas, jika bukan semuanya, etnis Kurdi, sebagaimana Darfur, juga Muslim dan perpaham Sunni sama seperti mayoritas umat Islam di Indonesia.
Dari segi jumlah, populasi masyarakat Kurdi juga jauh lebih besar ketimbang Rohingya. Diperkirakan ada sekitar 50 juta masyarakat Kurdi yang tersebar di berbagai negara: Irak, Turki, Iran, Suriah, Yordania, dan berbagai negara di Barat. Bandingkan dengan penduduk Rohingya yang hanya sekitar 1,3 juta jiwa.
Dari aspek sejarah perjuangan, Kurdi jauh lebih lama, yaitu sejak Timur Tengah dikuasai oleh rezim Turki Usmani (Ottman) yang kemudian dilanjutkan oleh kolonial Inggris dan Perancis. Bandingkan dengan Rohingya, yang baru mulai "berjuang” sejak akhir 1990-an, meskipun diskriminasi dan kekerasan terhadap etnis ini sudah terjadi sebelum era itu.
Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: S. al Qurtuby
Dari aspek hubungan kultural dan kesejarahan dengan masyarakat Islam di Indonesia, Kurdi juga jauh lebih dekat daripada Rohingya. Ada cukup banyak ulama Kurdi yang menjadi panutan umat Islam di Indonesia.
Kitab Maulid al-Barzanji atau Barzanji yang sangat populer di Indonesia dan dilantunkan setiap malam Jum'at dan terutama di bulan Maulud itu ditulis oleh seorang ulama Kurdi bernama Syaikh Ja'far bin Husan al-Barzanji. "Al-Barzanji” adalah nama sebuah suku atau klan Kurdi di kawasan Sulaimaniyah di Irak Kurdistan. Kitab yang judul aslinya Iqd al-Jauhar fi Maulid al-Nabi al-Azhar yang berisi puji-pujian terhadap Nabi Muhammad itu telah disyarahi (dikomentari dalam sebuah kitab khusus) oleh berbagai ulama terkemuka termasuk Syaikh Ja'far bin Ismail al-Barzanji (mufti mazhab Syafii di Medina di abad ke-19), Syaikh Muhammad Ulaysh (mufti mazhab Maliki di Kairo di abad ke-19), dan Syaikh Nawawi al-Bantani (ulama Banten yang menetap di Makkah dan wafat tahun 1898).
Ulama Kurdi lain yang berengaruh adalah Shaikh Ibrahim al-Kurani yang menjadi guru sejumlah ulama Nusantara terkemuka seperti Syaikh Abdul Rauf al-Sinkili (Aceh) dan Syaikh Yusuf Makasar.
Kurdi - Kaum Yang Mencari Kebebasan
Referendum yang diadakan warga Kurdi di kawasan otonomi di Irak Utara sudah mulai menarik perhatian internasional. Siapakah kaum yang bergelut mencari kebebasan ini?
Foto: picture-alliance/AP Photo/E.Gurel
Orang Kurdi dan tempat tinggalnya
Populasi Kurdi besarnya sekitar dua puluh lima sampai tiga puluh juta orang. Orang-orang ini tinggal di daerah pegunungan yang tersebar di lima negara, yaitu Irak, Suriah, Turki, Iran dan Armenia.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Feher
Hubungan tidak harmonis
Kaum Kurdi tidak memiliki negara sendiri yang terpisah. Tapi mereka sejak lama telah berkampanye untuk otonomi atau kemerdekaan. Itulah sebabnya hubungan mereka dengan pemerintah negara Turki, Irak, Suriah dan Iran tidak harmonis
Foto: picture-alliance/dpa/B. Feher
Kurdistan
Pada tahun 1992, Pemerintah Daerah Kurdistan dibentuk di Irak. Majelis Nasional Kurdistan, parlemen pertama yang dipilih secara demokratis di wilayah Kurdistan Irak, membentuk pemerintah ini.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Vinogradov
Punya militer
Kurdistan memiliki parlemen sendiri, juga pasukan yaitu Peshmerga. Para pejuang Peshmerga sering jadi kepala berita, terutama karena sukses melawan kelompok teror ISIS. Pemerintah Kurdistan juga memiliki kebijakan perbatasan dan luar negerinya sendiri.
Foto: picture-alliance/AP Images/M. Sohn
Keyakinan agama
Kebanyak orang Kurdi memeluk Islam Suni. Tetapi ada juga juga yang memeluk agama-agama lain, seperti Kristen, Yazidi, Alevi dan agama etnis Kurdi.
Foto: Reuters/A. Lashkari
Mimpi dari negara yang berbeda
Setelah jatuhnya Kekaisaran Ottoman di masa Perang Dunia Pertama, koalisi negara-negara Barat yang menang perang memecah belah Kurdistan dan menempatkannya dalam beberapa negara. Itu didasari kesepakatan yang disebut Traité de Sèvres dari 1920.
Foto: A. Spyra
Kekhawatiran negara tetangga Irak
Turki dan Iran khawatir bahwa karena referendum kemerdekaan yang diadakan di Irak Utara, Senin 25 September 2017, warga minoritas Kurdi di negara mereka akan menuntut kebebasan juga. Kini kedua negara itu mengancam akan menghentikan hubungan bisnis mereka dengan kawasan otonomi Kurdi di Irak Utara.
Foto: picture-öalliance/dpa/B. Rössler
Bagaimana hubungan dengan Amerika Serikat?
Banyak negara barat juga menolak untuk menerima referendum orang Kurdi. Mereka mengatakan itu bisa memperburuk situasi Timur Tengah yang saat inipun sudah tidak stabil. Foto: polisi anti huru-hara dikerahkan ketika warga pro Kurdi berdemonstrasi di Istanbul (26/10/2017). Penulis: Ashok Kumar (ml/as)
Foto: picture-alliance/AP Photo/E.Gurel
8 foto1 | 8
Mengapa perlakuannya berbeda?
Lalu, kenapa umat Islam di Indonesia khususnya sama sekali tidak tergerak untuk membela masyarakat Kurdi yang sudah seabad lebih berjuang mendirikan "Negara Kurdistan” tetapi tak kunjung terwujud menjadi kenyataan?
Jawabannya sangat sederhana: tidak seperti Rohingya atau Palestina atau Mindanao, para pelaku tindakan kekerasan dan diskriminasi atas warga Kurdi adalah umat Islam dan rezim Muslim itu sendiri. Ini sama dengan yang menimpa warga Darfur di Sudan.
Sudah sangat lama, warga Kurdi menjadi korban penindasan, kekejaman, dan ketidakadilan. Puncaknya di zaman rezim Saddam Husain dari Partai Ba'ath yang berkuasa sejak 1979 dan tumbang tahun 2003, digempur pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat. Saddam dan tentaranya, dengan alasan "memerangi kelompok separatis”, telah mengobrak-abrik kawasan Kurdi dan membunuh puluhan ribu warga Kurdi termasuk meracun mereka dengan senjata kimia. Akibat kekejaman rezim Saddam inilah, banyak warga Kurdi Irak yang migrasi ke berbagai negara Barat, termasuk Amerika Serikat, di bawah perlindungan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa).
Di Amerika, mereka banyak ditolong oleh berbagai kelompok relawan, termasuk komunitas gereja, untuk dicarikan tempat tinggal dan pekerjaan. Kini banyak dari mereka yang cukup makmur hidupnya dan bahkan mampu mendirikan masjid sendiri. Dulu, waktu saya tinggal di Harrisonburg, Virginia, saya sering berkunjung ke "Masjid Kurdi” ini ditemani oleh Imam Muhammad Kakahama Asykari, tokoh masyarakat Kurdi, yang sangat mengagumi Bung Karno dan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid).
Sesaat setelah Saddam tumbang, warga Kurdi menikmati sedikit kemajuan dan kemakmuran. Erbil, kota utama Kurdistan di Irak utara, sempat digadang-gadang menjadi "Dubai”-nya warga Kurdi. Berbagai pembangunan ekonomi, bisnis, dan infrastruktur sempat berjalan cukup baik selama beberapa tahun. Tetapi itu tak berumur lama. Sejak elit politik rezim pasca-Saddam terlibat konflik (antara faksi Sunni, Syiah, dan Kurdi) ditambah dengan anjloknya harga minyak di pasaran internasional, mimpi warga Kurdi menyulap Erbil menjadi "Dubai” masih menjadi mimpi. Situasi di kawasan Kurdi semakin memburuk sejak pejuang Kurdi terlibat baku-perang, baik dengan milisi ISIS maupun tentara Irak. Banyak warga Kurdi yang menjadi korban kebutralan milisi ISIS.
Cantik dan Mematikan: Prajurit Perempuan Pelumat ISIS
Mereka cantik, tetapi juga mematikan. Buat melumat ancaman kelompok teror Islamic State, perempuan Kurdi tidak segan mengangkat senjata. Keberadaan mereka di garda terdepan mengusik sikap anti perempuan kelompok radikal.
Foto: Reuters/A. Jadallah
Ditakuti dan Dibenci
Sejak beberapa tahun terakhir pasukan bersenjata Kurdi, Peshmerga, menerjunkan kaum perempuan buat bertempur di garda terdepan dalam perang melawan Islamic State. Mereka ditakuti, tutur Kolonel Nahida Ahmad Rashid, komandan batalyon perempuan Peshmerga, "karena pejuang IS merasa mereka yang mati di tangan perempuan tidak akan masuk surga."
Foto: Getty Images/AFP/S. Hamed
Berbayar Nyawa
Kekhawatiran terbesar prajurit perempuan Peshmerga adalah ditangkap oleh gerilayawan IS. Menurut berbagai laporan, mereka biasanya disiksa dan diperkosa sebelum dibunuh. Oleh pimpinan Peshmerga setiap serdadu perempuan diperintahkan menyisakan satu butir peluru buat melumat nyawa sendiri sebelum ditangkap.
Foto: picture alliance/Pacific Press/J. Ahmad
Uluran Tangan Barat
Batalyon kedua Pesherga saat ini berkekuatan 500 serdadu yang semuanya berjenis kelamin perempuan. Satuan tempur ini berbasis di Sulaymaniyah, Kurdistan, dan terletak tidak jauh dari perbatasan Iran. Lantaran kiprahnya dalam perang melawan IS, Peshmerga sering mendapat bantuan militer dari negara-negara barat. termasuk diantaranya program pelatihan buat perempuan.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Jensen
Persamaan Gender di Jantung Kekuasaan IS
Prajurit perempuan Peshmerga ikut memanggul beban tugas yang sama seperti kaum lelaki. Mereka dikirim dalam misi pengintaian, berpatroli, menjaga pos pengawasan atau rumah sakit. "Satu-satunya perbedaan," kata Kolonel Rashid, sang komandan, "adalah para lelaki memakai senapan yang lebih berat."
Foto: picture-alliance/dpa/R. Jensen
Perempuan di Akar Tradisi
Peshmerga yang dalam bahasa Kurdi berarti "mereka yang menatap mata kematian," aktif sejak akhir Perang Dunia I. Sejak dulu sayap militer Kurdi ini bertempur melawan pemerintahan Irak. Sejak jatuhnya rejim Saddam Hussein, wilayah Kurdistan menikmati otonomi dan kemajuan ekonomi. Perempuan yang teremansipasi sudah mengakar dalam tradisi Kurdi
Foto: Reuters/Ahmed Jadallah
Ekspresi Kebebasan Perempuan Kurdi
Peshmerga pertamakali merekrut prajurit perempuan sekitar 20 tahun lalu. Selain Peshmerga, minoritas Kurdi juga memiliki kelompok bersenjata lain seperti Partai Buruh Kurdi, PKK, atau YPG yang juga banyak diperkuat oleh kaum hawa. Adalah Abdullah Öcalan, pimpinan PKK, yang pertama kali mencetuskan ide serdadu perempuan. "Jika perempuan dijadikan budak, lelaki pun mengalami nasib sama," katanya
Foto: picture alliance/Pacific Press/J. Ahmad
Perjuangan demi Kebebasan
Peshmerga bertempur di front sepanjang 1000 kilometer di utara Irak. Jika dulu rejim Saddam Hussein dianggap sebagai ancaman terbesar, maka kini peran laknat tersebut digantikan oleh Islamic State. "Kami disini karena ingin melindungi apa yang telah susah payah kami capai, yakni parlemen, keamanan dan stabilitas," kata Komandan Rashid.
Foto: Reuters/A. Jadallah
7 foto1 | 7
Nasib bangsa Kurdi dalam referendum
Meskipun sejak Saddam tumbang, Kurdi mendapat "jatah kekuasaan” di struktur baru pemerintahan Irak dan bahkan wilayah mayoritas Kurdi mendapat status semi-otonomi bernama "Kurdistan Regional Government” (KRG). Tetapi semua itu tidak membuat para elit politik dan warga Kurdi puas. Gairah untuk mendirikan sebuah negara otonom bagi "Bangsa Kurdi” yang bernama "Kurdistan” selalu berkobar-kobar.
Bagi warga Kurdi, upaya mendirikan "negara otonom” ini bukanlah yang pertama dalam sejarah sosial-politik modern Bangsa Kurdi. Sudah beberapa kali para elit Kurdi di Irak memimpin gerakan politik guna mendirikan Negara Kurdistan yang independen. Tapi selalu gagal. Hal yang sama juga dialami oleh etnis Kurdi di Iran dan Turki, meskipun sudah jungkir-balik berusaha mendirikan kawasan otonom. Akibatnya, hingga kini, Kurdi masih menyandang status sebagai "bangsa tanpa negara” sebagaimana Rohingya, Berber, Darfur, dan lain sebagainya.
Pada zaman kolonial Inggris, misalnya, Shaikh Mahmud Barzanji (1878–1956), seorang tokoh Sufi Qadiriyah, memimpin serangkaian pemberontakan melawan Inggris dan bahkan pada 1922 sempat mendirikan Kerajaan Kurdistan, meskipun usia kerajaan ini cuma dua tahun saja. Kelak, duo bersaudara Ahmad Barzani (1896–1969), seorang kepala suku Barzani di Irak utara, dan Mustafa Barzani (1903–79), seorang militer dan pemimpin Kurdistan Democratic Party, juga memimpin revolusi melawan rezim Irak. Tetapi berbagai usaha mendirikan negara otonom Kurdistan ini selalu gagal.
Sekarang, Masoud Barzani (putra Mustafa Barzani), presiden Iraqi Kurdistan Region sejak 2005, memimpin referendum untuk menentukan nasib Bangsa Kurdi ke depan. Meskipun lebih dari 90% meyatakan "YES” untuk pendirian Negara Kurdistan tetapi bukan berarti mimpi mendirikan negara independen ini segera terwujud menjadi kenyataan karena upaya ini hampir-hampir tidak mendapatkan dukungan dari negara-negara adi daya seperti Amerika Serikat dan juga negara-negara lain, termasuk negara yang mayoritas berpenduduk Muslim.
Apalagi negara-negara tetangga seperti Irak, Turki dan Iran sudah terang-terangan menolak dan bahkan mengancam Kurdi. Irak menolak karea khawatir kehilangan 1/3 wilayahnya, selain kantong-kantong minyak dan gas. Sementara Iran dan Turki khawatir karena pendirian Kurdistan bisa semakin memicu intensitas gerakan separatis Kurdi di kedua negara tersebut yang sudah bertahun-tahun ingin melepaskan diri dari cengkeraman rezim non-Kurdi. Turki bahkan akan mengancam memotong pipa minyak Kurdi-Turki yang selama ini menghasilkan sekitar $ 8 Milyar per tahun untuk ekonomi Kurdi. Negara-negara Arab juga tidak merespons positif karena pendirian Kurdistan akan menambah daftar konflik dan kepentingan regional di Timur Tengah.
Akibatnya, mimpi para elit politik Kurdi untuk mendirikan negara yang ke-194 (setelah Sudan Selatan yang bergabung pada tahun 2011) masih menjadi mimpi. Belum lagi para elit Kurdi sendiri masih berselisih karena terlalu dominannya "klan Barzani” di Kurdistan.
Terlepas dari upaya para elit politik mendirikan negara independen Kurdistan, kaum Muslim di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, memang sama sekali tidak menghiraukan nasib Bangsa Kurdi, terutama rakyat bawah, yang selama ini hidup dalam tekanan dan penderitaan. Slogan "Islam bersaudara” hanyalah slogan saja dan baru berbunyi nyaring kalau para pelaku penindasan atas umat Islam itu adalah "bangsa non-Muslim”, bukan "kalangan internal” umat Islam.
Padahal, banyak umat Islam di berbagai kawasan dari Asia Tengah dan Asia Selatan sampai Timur Tengah dan Asia Tenggara yang menjadi korban kekerasan oleh sesama Muslim sendiri hanya karena berbeda ideologi, mazhab, sekte, pemahaman keagamaan, interpretasi keislaman, atau bahkan karena perbedaan kepentingan politik dan ekonomi. Wallahu a'lam.
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
ISIS Maju, Pejuang Kurdi Bertahan
Kobani jadi sasaran serangan IS selama beberapa pekan. 180.000 warga Kurdi sudah melarikan diri, dan 2.000 orang termasuk perempuan dan anak-anak dievakuasi beberapa hari terakhir. IS belum berhasil sampai pusat kota.
Foto: Aris Messinis /AFP/Getty Images
IS Semakin Kuasai Kobane
Asap membumbung tinggi dari gedung-gedung kota Kobani di utara Suriah, dekat perbatasan dengan Turki (06/10). Islamic State (IS) telah duduki sebagian kota dan kibarkan bendera mereka di atas sebuah gedung. Namun pejuang Kurdi yang bertahan di kota itu masih perjuangkan beberapa bagian kota. Di pusat kota masih berkibar bendera Kurdi. Demikian laporan wartawan AFP dari front, Selasa (07/10).
Foto: Aris Messinis /AFP/Getty Images
Angkatan Darat Turki Ditempatkan Dekat Perbatasan
Tank-tank Turki mengambil posisi di dekat kota Suruc, provinsi Sanliurfa (06/10). Pejuang Kurdi bersumpah tidak akan menyerah, walaupun berjumlah lebih sedikit daripada teroris IS. Sementara itu, serangan udara baru di bawah pimpinan AS difokuskan pada posisi IS di wilayah barat daya Kobani, Selasa (07/10).
Foto: Reuters/Umit Bektas
Dukungan bagi Pejuang Kurdi
Seorang pria Kurdi tendang tabung gas air mata yang digunakan militer Turki untuk menghalau warga sipil dan reporter yang berkumpul di dekat desa Mursitpinar, tak jauh dari Kobane (06/10), agar tidak semakin dekati perbatasan. Walaupun mortir tampak berjatuhan di beberapa bagian Kobani, reporter Reuter melihat sekitar 30 orang lintasi perbatasan. Tampaknya mereka akan membantu pertahankan Kobani.
Foto: Aris Messinis /AFP/Getty Images
Perempuan Yasidi Korban ISIS
IS melancarkan serangan besar di bagian utara Irak, termasuk kota Sinjar yang jadi kediaman banyak warga Yasidi, 2 Agustus. Dalam serangan teror itu IS membunuh sejumlah besar pria Yasidi. Mereka juga membunuh, menculik serta memperkosa sejumlah besar perempuan dan anak perempuan Yasidi. Sebagian dari mereka dijual kepada teroris IS dengan harga murah, namun beberapa orang berhasil melarikan diri.
Foto: Martin Durm
Kekuatan IS
Setelah mengalahkan pasukan pemerintah dalam serangan yang diluncurkan 9 Juni, Islamic State (IS) berhasil merebut kota terbesar kedua Irak yakni Mosul dan melanjutkan serangan dan berulangkali sukses. Namun kelompok jihadi tersebut ketika itu masih relatif kecil dan kekuatannya tidak terletak dalam jumlah. Berikut alasan yang diidentifikasi oleh para ahli militer mengenai kenapa IS sukses.
Foto: picture alliance / AP Photo
Punya Senjata Baru
Islamic State menggunakan peralatan militer yang mereka rebut dari para musuh yang mereka taklukkan, termasuk tank-tank, Humvees, rudal dan berbagai senjata berat lainnya. Sejumlah perlengkapan, sebagian besar buatan Amerika, yang ditinggal kabur pasukan Irak yang melarikan diri ketika para jihadis meluncurkan serangan pertama mereka lebih dari dua bulan lalu, telah mengubah kemampuan IS.
Foto: picture alliance/AP Photo
Pengalaman Suriah
IS telah lama memiliki pijakan di Irak – yang bahkan menjadi tempat inkarnasi pertama kelahiran kelompok itu pada 2004 – namun apa yang membuat mereka kuat seperti hari ini adalah berkat pertempuran di negara tetangga Suriah. Mereka telah memerangi rezim Suriah dan kelompok pemberontak saingannya sejak 2011, kelihatan tidak takut mati dan mengadopsi taktik yang sangat agresif.
Foto: picture alliance/AP Photo
Memilih Perang dengan Cerdik
IS telah memilih perang dengan kecerdikan yang tajam, memfokuskan diri pada wilayah-wilayah Sunni di mana mereka bisa mendapatkan dukungan, infrastruktur-infrastruktur kunci atau tempat-tempat yang tidak dijaga dengan baik, serta pada saat bersamaan menghindari kekalahan yang tidak perlu untuk tetap memelihara momentum dan kesatuan di dalam organisasi.
Foto: Reuters
Propaganda Efektif
IS menggunakan faktor ketakutan untuk menaklukkan seluruh kota tanpa perlawanan. Mereka menggunggah berbagai foto mengerikan orang-orang yang dipenggal dan dimutilasi, untuk merekrut dan meradikalisasi anak muda dan pada saat bersamaan membuat musuh ketakutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Musuh Yang Lemah
Satu-satunya faktor tunggal terbesar yang membuat para jihadis itu kelihatan kuat adalah lemahnya para lawan mereka. “Angkatan bersenjata Kurdi relatif baik menurut standar Irak, tapi mereka betul-betul prajurit infantri yang “ringan”. Mereka yang berpengalaman memerangi Saddam Hussein telah pergi dan digantikan oleh orang-orang yang lebih muda,” kata Cordesman, mantan pejabat pertahanan AS.