1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

UN Palästina

29 April 2008

Kondisi pengungsi Palestina menjadi perhatian utama konferensi internasional yang diselenggarakan Rabu (30/04) ini hingga Kamis (01/05) di markas pusat UNESCO di Paris.

Kamp pengungsi Palestina di Jalur GazaFoto: Maik Meuser

Konferensi ini membahas sejauh mana Perserikatan Bangsa Bangsa bisa meringankan beban pengungsi dan bagaimana solusi yang adil dalam Konflik Timur Tengah bisa diambil dalam kerangka resolusi PBB.

Tanpa kembalinya pengungsi Palestina ke kampung halaman mereka, perdamaian dengan Israel tak akan pernah terwujud. Ini dikatakan pemimpin PLO mendiang Yasser Arafat. Ketika itu ia akhirnya menyetujui perundingan damai dengan Israel di Oslo, secara prinsip menerima hak eksistensi Israel dan untuk itu menerima Nobel Perdamaian bersama Shimon Peres dan Yitshak Rabin.

Tapi menyangkut masalah pengungsi, sampai akhir masa hidupnya, Arafat tetap tak berkompromi. Begitu juga dalam soal Yerusalem, yaitu bahwa sedikitnya bagian timur kota itu harus menjadi ibukota negara Palestina. Israel menolak kedua tuntutannya. Yerusalem selamanya ibukota Israel. Dan karena itu kembalinya pengungsi Palestina tak akan mungkin karena akan mengubah keseimbangan demografis di Israel dan karakteristik Yahudi negara itu.

Agar perundingan bisa dilakukan, kedua masalah itu disisihkan terlebih dulu, pada era Arafat hingga kini Mahmud Abbas. Sejak tahun 1948, nasib para pengungsi pun tersisihkan. Selama perang Timur Tengah I, segera setelah berdirinya negara Israel 1948/49, hampir 700.000 warga Palestina meninggalkan tanah airnya dan mengungsi ke negara-negara tetangga. Sebagian besar ditampung di kamp-kamp pengungsi di Yordania, Suriah, Libanon atau Jalur Gaza yang ketika itu di bawah administrasi Mesir.

Mereka ditangani Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina UNRWA, yang sampai kini bertanggungjawab atas kamp-kamp pengungsi tersebut. Hanya kamp di Yordania yang kini tak ada, dimana pengungsi berintegrasi, seiring berjalannya waktu. Tapi di tempat lain mereka tetap jadi orang asing dan selalu jadi penyebab keributan di dalam negeri serta sengketa internasional.

Terutama di Libanon, dimana kelompok-kelompok bersenjata Palestina di negeri itu ikut bertempur dalam perang dengan Israel, dan ikut campur dalam sengketa antarwarga Libanon sendiri. Tapi dahulu pun, PLO pernah bercita-cita menajdikan Yordania sebagai pusat pembebasan Palestina.

Kini, tinggal sedikit pengungsi yang memimpikan perebutan dengan kekerasan. Jumlah pengungsi Palestina berkembang dari sekitar 700.000 menjadi hampir 5 juta orang, lewat pertumbuhan alami dan gelombang pengungsi kedua, seusai Perang Enam Hari tahun 1967. Mereka menyadari bahwa mereka terlalu lemah untuk membebaskan tanah airnya. Pada saat yang sama mereka tampak kian frustasi, karena semua upaya proses perdamaian tidak membawa hasil apapun bagi mereka. Israel tidak membongkar satupun pemukiman di Tepi Barat, tidak mengendorkan pembatasan harian, dan masih membangun tembok pemisah yang semakin menyusahkan kehidupan rakyat Palestina.

Di Jalur Gaza, dimana sebagian besar pengungsi hidup di kamp-kamp sejak tahun 1948, situasi setelah penarikan tentara Israel pertengahan tahun 2005 juga tidak membaik. Sebaliknya, sejak pengambilalihan kekuasaan oleh organisasi radikal Palestina Hamas, Gaza mengalami situasi darurat. Bantuan internasional memang masih datang. Tapi dipersulit oleh eskalasi kekerasan dan boikot internasional terhadap Hamas. Kondisi rakyat sipil di Jalur Gaza memburuk dari hari ke hari.

Jikapun situasi kembali tenang dan bantuan tiba tanpa hambatan, itu hanya keringanan, dan bukan solusi bagi masalah pengungsi. Solusi hanya bisa dicapai jika kedua pihak, Israel dan Palestina, meninggalkan sikapnya selama ini yaitu 'semua atau tidak sama sekali', dan mau menerima kenyataan. Itu berarti, warga Palestina jangan berharap bisa kembali ke Israel. Sementara Israel, harus memungkinkan para pengungsi bisa kembali hidup dalam situasi yang manusiawi, di tempat yang bisa mereka sebut tanah air. (rp)