NATO. Dari Pendirian sampai Berakhirnya Perang Dingin
27 Maret 2009Washington, 4 April 1949. Dalam suasana resmi menteri luar negeri 12 negara Amerika dan Eropa menandatangani dokumen pendirian Pakta Pertahanan Atlantik Utara-NATO. Ketika itu, walaupun Perang Dunia II masih membekas jelas dalam ingatan semua pihak, musuh bebuyutan NATO bukan Jerman yang sudah tidak punya militer lagi, melainkan Uni Sovyet. Bagi Eropa barat tidak ada alternatif lain lagi, selain persekutuan dengan AS.
Saling Membantu
Demikian dikatakan Menteri Luar Negeri Inggris, Ernest Bevin dalam sebuah pidato di radio. "Apa yang dapat dilakukan negara-negara yang cinta damai dan kebebasan? Hanya diam dan menunggu sampai satu demi satu dimusnahkan? Atau membentuk sistem keamanan kolektif yang menyatukan rakyat semua negara untuk menghadapi ancaman ini? Kami memutuskan untuk mengambil pilihan kedua."
Inti Perjanjian NATO adalah pasal 5, yaitu tentang jaminan untuk saling membantu. Dengan demikian semua negara anggota mewajibkan diri untuk saling membantu jika diserang. Tetapi bentuk dukungan tidak ditetapkan, dan tiap negara anggota bebas menentukan sendiri.
Saling Menguntungkan
Sejak awal NATO memandang diri sebagai persekutuan berdasarkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Namun demikian negara-negara yang tidak demokratis juga saat itu diterima sebagai anggota, dan ini bukan hanya karena alasan strategis. Demikian dikatakan pakar militer Fraz-Josef Meiers. Menurutnya, melalui keanggotaan dalam NATO proses demokratisasi di negara seperti Spanyol atau Yunani dapat dipercepat.
Jerman adalah kasus yang istimewa. Jerman hancur dalam PD II dan tidak memiliki militer, tetapi bagi NATO keanggotaan Jerman secara strategis penting. Oleh sebab itu tanggal 9 Mai 1955 Kanselir Jerman Konrad Adenauer menandatangani perjanjian keanggotaan NATO di Paris.
Pengawasan dan Penambahan Persenjataan
Setelah aliansi Atlantik utara diperluas, Uni Sovyet dan sekutu-sekutunya mendirikan organisasi tandingan Pakta Warsawa. Hingga runtuhnya tembok Berlin, dua blok ini selalu berhadapan dengan persenjataan lengkap. Kesiapan senjata nuklir dan ancaman penempatan militer menjadi inti politik gertakan NATO terhadap Moskow. Tetapi tahun 60-an terjadi perubahan haluan. Ketegangan mulai melonggar. NATO menjadi badan yang tidak hanya mengusahakan keamanan melalui kekuatan militer, melainkan juga melalui pengawasan persenjataan, sehingga konflik barat-timur tidak semakin tajam.
Namun akhir 70-an politik pelonggaran ketegangan berakhir. Kanselir Jerman Helmut Schmidt memperingatkan kemungkinan adanya perkembangan dengan dampak sangat fatal. "Tiap pekan ada roket tipe SS-20 dengan tiga hulu ledak yang selesai di buat, jadi 50 tiap tahunnya. AS dan sekutunya di seberang Atlantik akan mencari cara untuk mengimbangi perkembangan ini."
NATO menjawab dengan rencana penempatan roket nuklir Pershing-II. Sementara itu di Eropa terbentuk gerakan pro perdamaian terbesar sejak berakhirnya PD II. Mantan Kanselir Jerman Willy Brandt mengatakan, "Lebih dari 70% rakyat Jerman Barat tidak menerima, bahwa negaranya semakin dipenuhi dengan alat setan berkekuatan nuklir ini."
Mencari Definisi Baru
Walaupun Willy Brandt memrotes, persenjataan tetap ditambah, yaitu di jaman Helmut Kohl, yang menjabat sebagai kanselir setelah Helmut Schmidt. Tahun 1985 Michail Gorbatschov memasuki panggung politik di Moskow. Politik reformasinya menyudahi konflik barat-timur dan era perang dingin. Bersamaan dengan itu roket SS-20 dan Pershing-II juga dibesituakan. Politik baru Rusia dan runtuhnya tembok Berlin kemudian mengharuskan NATO mencari definisi baru. (ml)