1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mampukah Jerman Hadapi Invasi Rusia?

20 Mei 2024

Ketika negara harus berutang demi memperkuat pertahanan, rasa gentar terhadap invasi Rusia di kalangan penduduk Jerman perlahan pudar. Hasil survei teranyar mayoritas warga menolak untuk angkat senjata membela negara.

Parade militer Rusia di Moskow
Parade militer Rusia di MoskowFoto: Alexander Zemlianichenko/AP Photo/dpa/picture alliance

Plakat dan poster kampanye pemilihan legislatif Uni Eropa di Jerman acap dilatari ramalan muram tentang ancaman perang. Alhasil, jaminan keamanan dan kekuatan militer menjadi janji yang dirapal para kandidat demi mendapat dukungan rakyat.

Jerman sebenarnya sudah bersiap menghadapi perang sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022 silam. Agresi militer Moskow di jantung Eropa sempat mengejutkan Berlin yang menyadari lemahnya pertahanan negara akibat pemangkasan anggaran militer usai Perang Dingin.

Bundeswehr sendiri yang mengakui belum bisa secara efektif melindungi Jerman atau memenuhi kewajiban NATO secara memadai.

Defending NATO borders in Eastern Europe

26:04

This browser does not support the video element.

Polemik seputar 'rem utang'

Di awal Perang Ukraina, penyusutan kas Bundeswehr selama beberapa dekade terakhir coba direvisi pemerintah Jerman dengan berutang 100 miliar Euro, demi membiayai peremajaan sistem persenjataan Bundeswehr, termasuk pembelian pesawat tempur dari Amerika Serikat.

Namun begitu, Menteri Pertahanan Boris Pistorius tetap menuntut tambahan anggaran belanja tahunan senilai 6,5 miliar Euro, yang kemungkinan melanggar aturan "rem utang" sesuai kesepakatan koalisi pemerintahan.

Pakar keamanan Jerman Frank Sauer dari Universitas Bundeswehr juga menilai betapa angkatan bersenjata "masih kekurangan dana" meskipun ada suntikan duit segar sebesar 100 miliar Euro. Tanpa tambahan anggaran, Bundeswehr diyakini hanya mampu "merawat kekuatan yang ada, itu pun harus dengan upaya maksimal," katanya kepada DW.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Menurut Kementerian Pertahanan, sektor pertahanan negara memiliki status konstitusional yang lebih tinggi dibandingkan pembatasan utang, yang menetapkan jumlah angaran belanja hanya sebesar pendapatan negara.

Sejauh ini, Menteri Keuangan Christian Lindner dari Partai Liberal Demokrat, FDP, tetap menolak tambahan anggaran untuk Bundeswehr. Sikapnya didukung oleh Kanselir Olaf Scholz, yang menolak tuntutan rekan separtainya sendiri. Buntutnya, Pistorius, dikabarkan sempat mencurahkan kekesalannya dalam sebuah rapat kabinet.

Poll shows many Germans see threat to peace in Europe

03:02

This browser does not support the video element.

Rasa gentar warga telah pudar

Namun, ancaman keamanan yang diperingatkan oleh Pistorius tidak bergaung di masyarakat. Menurut survei YouGov baru-baru ini, hanya 36 persen warga Jerman yang mempercayai kemungkinan terjadinya serangan Rusia terhadap kawasan  NATOhingga tahun 2030 mendatang, sementara 48 persen cendrung menganggap skenario invasi sebagai sebuah kemustahilan.

Hanya 23 persen yang menganggap Jerman mungkin atau sangat mungkin menjadi sasaran serangan Rusia pada dekade ini. Adapun 61 persen responden berpendapat sebaliknya.

Ironisnya, dalam skenario invasi Rusia, hanya dua persen responden yang meyakini kemampuan Bundeswehr untuk menjamin pertahanan nasional. Dua belas persen melihat militer berada pada posisi yang "cukup baik” untuk menghalau invasi, sementara 39 persen yakin bahwa Bundeswehr sangat kurang atau kurang siap untuk melaksanakan tugas tersebut.

Survei lain yang dilakukan oleh Civey Institute pada bulan Maret lalu mencatat, hanya sekitar satu dari tiga orang Jerman yang siap mengangkat senjata demi membela negara jika terjadi invasi militer. Tapi lebih dari separuh responden mengaku tidak siap berperang.

"Kita hidup di era pergolakan sejarah yang besar-besaran,” kata Frank Sauer, pakar keamanan di Universitas Bundeswehr. Namun dia belum melihat adanya kesadaran umum mengenai situasi tersebut.

"Perubahan pola pikir memerlukan waktu. Dan kita tidak akan bisa mengajari orang hanya dengan sebilah linggis, tiga buah pidato, atau lima judul berita utama. Dibutuhkan sangat banyak persuasi," pungkasnya.

rzn/as

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait