Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg memperingatkan bahwa NATO harus melanjutkan perjuangan melawan ISIS pasca penarikan pasukan AS dari Suriah.
Iklan
Sekjen NATO Jens Stoltenberg menyambut seruan Jerman untuk kehadiran internasional di Suriah sebagai solusi politik yang memungkinkan.
Dalam konferensi pers penetapan agenda untuk pertemuan NATO yang akan datang, Stoltenberg mengatakan perang melawan ISIS harus berlanjut.
"Mengakhiri ISIS adalah alasan NATO masuk (ke timur laut Suriah). Kita harus menjaga keuntungan itu. Kita juga harus mengerti bahwa perang melawan ISIS belum berakhir, mereka bisa kembali", ucap Stoltenberg.
Ia memastikan NATO akan terus mendukung perang melawan ISIS di Irak dan Afghanistan, terutama melalui pelatihan pasukan lokal.
Solusi politik untuk Suriah
Stoltenberg berulang kali menyerukan solusi politik untuk konflik antara Turki dan Kurdi Suriah, dengan menangani perjanjian antara AS, Turki dan Rusia. Beberapa poin penting lainnya, adalah:
Memahami bahwa Turki telah memikul beban besar serangan teroris dan menampung para pengungsi;
Masih terlalu dini untuk menilai konsekuensi dari perjanjian Sochi antara Rusia dan Turki;
Menyambut baik kesepakatan antara Turki dan AS, dengan mengurangi tindakan kekerasan sebagai langkah pertama menuju solusi politik;
Menyambut seruan menteri pertahanan Jerman baru-baru ini untuk kehadiran internasional di Suriah timur laut sebagai proposal yang mendorong untuk solusi politik, serta menambahkan solusi lain yang harus melibatkan aktor di lapangan.
Apa usulan Jerman untuk Suriah?
Menteri Pertahanan Jerman, Annegret Kramp-Karrenbauer, dalam keterangannya kepada DW pada hari Senin (21/10), menyerukan pasukan internasional untuk menciptakan "zona aman" di timur laut Suriah untuk membantu melanjutkan perang melawan ISIS, menstabilkan kawasan itu, dan membangun kembali kehidupan sipil. Pengumuman itu membuat beberapa sekutu NATO terkejut, meskipun Kramp-Karrenbauer bersikeras ia telah membahas proposal dengan rekan-rekan Prancis dan Amerika. (ha/vlz)
Siapa Yang Berperang di Konflik Suriah?
Konflik di Suriah memasuki babak baru setelah militer Turki melancarkan serangan terhadap posisi milisi Kurdi di timur laut Suriah. Inilah faksi-faksi yang berperang di Suriah.
Foto: Atta Kenare/AFP/Getty Images
Perang Tiada Akhir
Suriah telah dilanda kehancuran akibat perang saudara sejak 2011 setelah Presiden Bashar Assad kehilangan kendali atas sebagian besar negara itu karena berbagai kelompok revolusioner. Sejak dari itu, konflik menarik berbagai kekuatan asing dan membawa kesengsaraan dan kematian bagi rakyat Suriah.
Foto: picture alliance/abaca/A. Al-Bushy
Kelompok Loyalis Assad
Militer Suriah yang resminya bernama Syrian Arab Army (SAA) alami kekalahan besar pada 2011 terhadap kelompok anti-Assad yang tergabung dalam Free Syrian Army. SAA adalah gabungan pasukan pertahanan nasional Suriah dengan dukungan milisi bersenjata pro-Assad. Pada bulan September, Turki meluncurkan invansi militer ketiga dalam tiga tahun yang menargetkan milisi Kurdi.
Foto: picture alliance/dpa/V. Sharifulin
Militer Turki
Hampir semua negara tetangga Suriah ikut terseret ke pusaran konflik. Turki yang berbatasan langsung juga terimbas amat kuat. Berlatar belakang permusuhan politik antara rezim di Ankara dan rezim di Damaskus, Turki mendukung berbagai faksi militan anti-Assad.
Foto: picture alliance/dpa/S. Suna
Tentara Rusia
Pasukan dari Moskow terbukti jadi aliansi kuat Presiden Assad. Pasukan darat Rusia resminya terlibat perang 2015, setelah bertahun-tahun menyuplai senjata ke militer Suriah. Komunitas internasional mengritik Moskow akibat banyaknya korban sipil dalam serangan udara yang didukung jet tempur Rusia.
Sebuah koalisi pimpinan Amerika Serikat yang terdiri lebih dari 50 negara, termasuk Jerman, mulai menargetkan Isis dan target teroris lainnya dengan serangan udara pada akhir 2014. Koalisi anti-Isis telah membuat kemunduran besar bagi kelompok militan. AS memiliki lebih dari seribu pasukan khusus di Suriah yang mendukung Pasukan Demokrat Suriah.
Foto: picture-alliance/AP Images/US Navy/F. Williams
Pemberontak Free Syrian Army
Kelompok Free Syrian Army mengklaim diri sebagai sayap moderat, yang muncul dari aksi protes menentang rezim Assad 2011. Bersama milisi nonjihadis, kelompok pemberontak ini terus berusaha menumbangkan Presiden Assad dan meminta pemilu demokratis. Kelompok ini didukung Amerika dan Turki. Tapi kekuatan FSA melemah, akibat sejumlah milisi pendukungnya memilih bergabung dengan grup teroris.
Foto: Reuters
Pemberontak Kurdi
Perang Suriah sejatinya konflik yang amat rumit. Dalam perang besar ada perang kecil. Misalnya antara pemberontak Kurdi Suriah melawan ISIS di utara dan barat Suriah. Atau juga antara etnis Kurdi di Turki melawan pemerintah di Ankara. Etnis Kurdi di Turki, Suriah dan Irak sejak lama menghendaki berdirinya negara berdaulat Kurdi.
Foto: picture-alliance/AA/A. Deeb
Islamic State ISIS
Kelompok teroris Islamic State (Isis) yang memanfaatkan kekacauan di Suriah dan vakum kekuasaan di Irak, pada tahun 2014 berhasil merebut wilayah luas di Suriah dan Irak. Wajah baru teror ini berusaha mendirikan kekalifahan, dan namanya tercoreng akibat genosida, pembunuhan sandera serta penyiksaan brutal.
Foto: picture-alliance/dpa
Afiliasi Al Qaeda
Milisi teroris Front al-Nusra yang berafiliasi ke Al Qaeda merupakan kelompok jihadis kawakan di Suriah. Kelompok ini tidak hanya memerangi rezim Assad tapi juga terlibat perang dengan pemberontak yang disebut moderat. Setelah merger dengan sejumlah grup milisi lainnya, Januari 2017 namanya diubah jadi Tahrir al-Sham.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Nusra Front on Twitter
Pasukan Iran
Iran terlibat pusaran konflik dengan mendukung rezim Assad. Konflik ini juga jadi perang proxy antara Iran dan Rusia di satu sisi, melawan Turki dan AS di sisi lainnya. Teheran berusaha menjaga perimbangan kekuatan di kawasan, dan mendukung Damaskus dengan asistensi startegis, pelatihan militer dan bahkan mengirim pasukan darat.