N'Djamena Membara, Penduduk Mulai Mengungsi
6 Februari 2008Iklan
Jika ada dua gajah yang bertarung, yang jadi korban adalah pelanduk di tengah. Begitulah kira-kira ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi di Republik Chad saat ini.
Bentrokan bersenjata antara pasukan pemerintah melawan kelompok pemberontak di ibu kota N’Djamena menyebar ketakutan di antara penduduk setempat. Bayangkan, pertempuran yang terjadi baru-baru ini antara militer dan pemberontak saja sudah menewaskan ratusan orang.
Sekitar 50.000 orang mengungsi dari rumah mereka, menuju wilayah selatan, atau lebih tepatnya ke kota Kuseri, di dekat perbatasan Kamerun. Rasa panik, kebingungan, dan ketakutan tampak membekas pada wajah para pengungsi.
Sampai saat ini, tidak ada satupun bantuan internasional yang sampai ke Kuseri. Setiap pengungsi harus mengurus dirinya masing-masing. Beberapa pekerja Palang Merah yang ditugaskan di perbatasan kewalahan menghadapi lautan manusia yang kian hari kian membanjiri kamp pengungsi Kuseri.
“Di sini ada beberapa bocah yang tadi jatuh ke sungai Chari. Anak-anak lain mungkin tersesat atau terpisah dari orang tuanya. Ada juga yang orang tuanya sudah meninggal. Kami juga menampung bayi-bayi yang baru berusia dua hingga tiga bulan. Kami tidak tahu lagi apa yang harus kami perbuat. Kami cuma bisa berdoa kepada tuhan," tandas salah seroang pekerja palang Merah.
Gelombang pengungsi di perbatasan Kamerun tersebut menambah daftar masalah yang harus ditanggulangi oleh dunia internasional. Pasalnya di timur Chad, sudah ada 400.000 pengungsi yang melarikan diri dari kawasan konflik Darfur di Sudan. Bertahun-tahun lamanya para pengungsi itu menunggu penyelesaian masalah Darfur yang tak kunjung tiba, apalagi saat ini pemerintah Chad sedang disibukkan dengan perang melawan kelompok pemberontak.
Kendati demikian, serangkaian upaya mediasi sudah dilancarkan oleh dunia internasional, khususnya Uni Afrika. Salim Ahmad, juru runding Uni Afrika untuk masalah Darfur dan Chad memamparkan.
“Para pemimpin Afrika sepakat menyerahkan tugas mediasi kepada Presiden Republik Kongo Dennis Sassou Nguesso dan Presiden Libya Muammar Ghaddafi. Saat ini, krisis di Chad mendapatkan perhatian serius mengingat para penduduk harus mengungsi ke negara tetangga Kamerun, setelah kelompok pemberontak menyerang ibu kota N’Djamena. Keputusan tersebut diambil untuk menjamin, bahwa upaya mediasi mendapatkan peran sentral untuk mencari solusi atas krisis di Chad,” tandasnya.
Sampai saat ini pemerintah Chad masih menampik uluran tangan dunia internasional, baik itu bantuan untuk pengungsi maupun usaha mediasi dengan kelompok pemberontak. Berbicara dengan rekannya Bernd Kouchner dari Prancis, Menteri Luar Negeri Chad Ahmad Allami mengaku, pemerintahannya berhasil mengendalikan sepenuhnya situasi di ibukota N’Djamena.
Pemerintah Prancis sendiri melalaui Presiden Nikolas Sarkozy mengaku siap menurunkan kekuatan militernya untuk memulihkan stabilitas keamanan di Republik Chad. Prancis saat ini memiliki sekitar 1250 pasukan yang ditempatkan di sekitar ibu kota N’Djamena. Pasukan tersebut ditugaskan membantu evakuasi warga Prancis dan Eropa dari Chad.
Kurangnya jaminan keamanan memaksa sejumlah organisasi bantuan asing hengkang dari Chad. Menyusul bentrokan berdarah di N’Djamenda, Perserikatan Bangsa-Bangsa hari ini memutuskan menarik semua pekerjanya dari Chad lantaran khawatir akan keselamatan jiwa mereka.(rn)
Bentrokan bersenjata antara pasukan pemerintah melawan kelompok pemberontak di ibu kota N’Djamena menyebar ketakutan di antara penduduk setempat. Bayangkan, pertempuran yang terjadi baru-baru ini antara militer dan pemberontak saja sudah menewaskan ratusan orang.
Sekitar 50.000 orang mengungsi dari rumah mereka, menuju wilayah selatan, atau lebih tepatnya ke kota Kuseri, di dekat perbatasan Kamerun. Rasa panik, kebingungan, dan ketakutan tampak membekas pada wajah para pengungsi.
Sampai saat ini, tidak ada satupun bantuan internasional yang sampai ke Kuseri. Setiap pengungsi harus mengurus dirinya masing-masing. Beberapa pekerja Palang Merah yang ditugaskan di perbatasan kewalahan menghadapi lautan manusia yang kian hari kian membanjiri kamp pengungsi Kuseri.
“Di sini ada beberapa bocah yang tadi jatuh ke sungai Chari. Anak-anak lain mungkin tersesat atau terpisah dari orang tuanya. Ada juga yang orang tuanya sudah meninggal. Kami juga menampung bayi-bayi yang baru berusia dua hingga tiga bulan. Kami tidak tahu lagi apa yang harus kami perbuat. Kami cuma bisa berdoa kepada tuhan," tandas salah seroang pekerja palang Merah.
Gelombang pengungsi di perbatasan Kamerun tersebut menambah daftar masalah yang harus ditanggulangi oleh dunia internasional. Pasalnya di timur Chad, sudah ada 400.000 pengungsi yang melarikan diri dari kawasan konflik Darfur di Sudan. Bertahun-tahun lamanya para pengungsi itu menunggu penyelesaian masalah Darfur yang tak kunjung tiba, apalagi saat ini pemerintah Chad sedang disibukkan dengan perang melawan kelompok pemberontak.
Kendati demikian, serangkaian upaya mediasi sudah dilancarkan oleh dunia internasional, khususnya Uni Afrika. Salim Ahmad, juru runding Uni Afrika untuk masalah Darfur dan Chad memamparkan.
“Para pemimpin Afrika sepakat menyerahkan tugas mediasi kepada Presiden Republik Kongo Dennis Sassou Nguesso dan Presiden Libya Muammar Ghaddafi. Saat ini, krisis di Chad mendapatkan perhatian serius mengingat para penduduk harus mengungsi ke negara tetangga Kamerun, setelah kelompok pemberontak menyerang ibu kota N’Djamena. Keputusan tersebut diambil untuk menjamin, bahwa upaya mediasi mendapatkan peran sentral untuk mencari solusi atas krisis di Chad,” tandasnya.
Sampai saat ini pemerintah Chad masih menampik uluran tangan dunia internasional, baik itu bantuan untuk pengungsi maupun usaha mediasi dengan kelompok pemberontak. Berbicara dengan rekannya Bernd Kouchner dari Prancis, Menteri Luar Negeri Chad Ahmad Allami mengaku, pemerintahannya berhasil mengendalikan sepenuhnya situasi di ibukota N’Djamena.
Pemerintah Prancis sendiri melalaui Presiden Nikolas Sarkozy mengaku siap menurunkan kekuatan militernya untuk memulihkan stabilitas keamanan di Republik Chad. Prancis saat ini memiliki sekitar 1250 pasukan yang ditempatkan di sekitar ibu kota N’Djamena. Pasukan tersebut ditugaskan membantu evakuasi warga Prancis dan Eropa dari Chad.
Kurangnya jaminan keamanan memaksa sejumlah organisasi bantuan asing hengkang dari Chad. Menyusul bentrokan berdarah di N’Djamenda, Perserikatan Bangsa-Bangsa hari ini memutuskan menarik semua pekerjanya dari Chad lantaran khawatir akan keselamatan jiwa mereka.(rn)
Iklan