1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIsrael

Negara Arab dan Israel Kikis Prasangka lewat Pendidikan

Jennifer Holleis | Emad Hassan
13 Desember 2022

Sebuah inisiatif bentukan Amerika Serikat berusaha memperdalam hubungan antara kaum muda di Arab dan Israel. Namun, keterbukaan yang dituntut dari Perjanjian Ibrahim masih terganjal isu kemerdekaan Palestina.

KTT Arab-Israel di Negev
KTT Arab-Israel di NegevFoto: Jack Guez/AFP/Getty Images

Dalam dua tahun sejak normalisasi diplomasi antara Israel dan negara-negara Arab, "Perjanjian Ibrahim" sudah menghasilkan beragam kolaborasi di bidang politik dan ekonomi. Namun, situasinya berbeda jika menyoal relasi antarbangsa.

"Perjanjian ini belum membumi sepenuhnya di kalangan masyarakat Arab," tulis Gerald M. Feierstein, peneliti senior di Middle East Institute (MEI), Washington D.C, AS, dalam sebuah esai.

Untuk mendorong dialog dan mengurangi prasangka di generasi muda, awal Desember lalu wadah pemikir AS, Atlantic Council dan Yayasan Jeffrey M. Talpins di New York menggagas sebuah pertemuan puncak yang turut mengundang perwakilan masyarakat dari kedua negara. Mereka menyebutnya sebagai Inisiatif N7. N adalah akronim untuk normalisasi antara Israel dan enam negara Arab, yakni Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan Maroko.

"Nilainya sangat penting bagi normalisasi, bahwa generasi muda bisa berkumpul dan saling belajar dari satu sama lain. Sebab itu kita fokus pada pendidikan dan kehidupan bersama," kata Oren Eisner, Presiden Yayasan Jeffrey M. Talpins, kepada DW.

KTT itu diharapkan bisa menghasilkan gagasan-gagasan praktis, seperti platform digital untuk pertukaran pelajar dan kaum muda atau proyek kampanye toleransi agama.

Iklan Perjanjian Ibrahim di gedung kedutaan UEA, Tel AvivFoto: Jack Guez/AFP/Getty Images

Perjanjian Arab ditandatangani pada 2020 dan memuat pengakuan keenam negara Arab terhadap kedaulatan Israel. PM Benjamin Netanyahu kala itu merayakan normalisasi diplomasi dengan negara Arab tanpa melibatkan isu Palestina. Sebaliknya, penguasa di enam negara dituduh mengkhianati Palestina demi kepentingan politik sejenak.

Menurut Cinzia Bianco, peneliti di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa (ECFR), isu Palestina merupakan tulang punggung sentimen pan-Arabisme. "Saya tidak yakin Perjanjian Ibrahim akan mampu membuka hubungan formal dan resmi antara Israel dengan Arab Saudi, Oman, Katar atau Kuwait," kata dia kepada DW.

"Di semua negara ini, kendati isu Palestina sudah sedikit mendingin di kalangan pemuda Arab, terutama di Arab Saudi, sikap oposisi terhadap normalisasi masih sangat tinggi."

Peluang bagi Israel

"Bagi Israel, saya akan kembali ke Kementerian Pendidikan dengan beragam gagasan untuk proyek sekolah multilateral dan pendidikan nonformal, untuk grup olahraga atau musisi," kata Dalit Atrakchi, kepala hubungan internasional di Kementerian Pendidikan Israel, seusai menghadiri KTT di Maroko.

Salah satu idenya adalah menyesuaikan kurikulum di negara-negara Arab dan Israel dan mengorganisir diskusi online antara murid seusia.

"Mereka adalah warga sipil masa depan yang bisa mewujudkan kerja sama kongkrit," kata Atrakchi, sembari menambahkan "betapa naif untuk mengatakan bahwa kami tidak perlu mengatasi banyak hambatan, terutama menyangkut prasangka."

Dia menggarisbawahi pentingnya pertukaran pribadi antara murid di kedua negara. "Hanya percakapan langsung yang bisa mengusir semua prasangka," kata dia. "Tidak ada cara yang lebih baik dibandingkan saling bertemu di dalam konteks nonkonflik dengan mediasi sesedikit mungkin."

Pandangan serupa digaungkan Ahmed al-Mansuri, bekas anggota Dewan Nasional Federal di Uni Emirat Arab. "Kami yakin tidak akan ada perdamaian jika masih ada perang antara negara di kawasan, terutama antara Arab dan Yahudi," kata dia kepada DW. "Kita harus mengatasi masalah di Timur Tengah dengan cara sipil dan diplomasi, karena metode lain terbukti tidak berguna dalam tujuh dekade terakhir."

Timnas Maroko berdemonstrasi demi Palestina di Piala Dunia 2022 QatarFoto: Martin Meissner/AP/picture alliance

Pengecualian Maroko

Di Maroko situasinya berbeda. Negeri di utara Afrika itu sudah dihuni bangsa Yahudi sejak ribuan tahun. Saat ini terdapat setidaknya 3.000 warga Yahudi di Maroko.

Dukungan bagi kehidupan Yahudi datang antara lain dari istana. Raja Mohammed VI belum lama ini meresmikan museum Yahudi di Essaouira yang diberi nama "Rumah Ingatan" atau Beit Dakira. Tidak heran jika setiap tahun lebih dari 200.000 wisatawan Israel tercatat berlibur di Maroko.

Menurut riset Arab Barometer, sebanyak "41 persen warga Maroko mendukung normalisasi hubungan dengan Israel."

Hal ini dipastikan Steffen Krueger, Direktur Yayasan Konrad Adenauer di Maroko. "Ketimpangan antara politik dan warga Maroko tidak terlalu besar seperti di negara lain," kata dia kepada DW. Kementerian Pendidikan dikabarkan sudah mulai memasukkan muatan sejarah Yahudi di Maroko ke dalam kurikulum baru.

Keterbukaan di Maroko juga memudahkan kedua negara dalam mencari model dialog yang lebih efisien. Sebaliknya, negara-negara Arab lain sejauh ini belum memperkenalkan langkah kongkrit untuk memajukan dialog damai di kalangkan kaum muda.

rzn/hp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya