1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Usul Larangan Jilbab Anak Gadis Picu Perdebatan di Jerman

11 April 2018

Negara bagian Nordrhein-Westfalen mempertimbangkan rencana melarang anak gadis di bawah usia 14 tahun mengenakan jilbab di sekolah. Dewan Islam telah mengritik usulan itu.

Hamburgs Schulsystem macht Fortschritte/Mädchen mit Kopftuch
Foto: picture-alliance/dpa/A. Heimken

Asosiasi Pengajar Jerman (Deutscher Lehrerverband, DL) menyambut usulan dari pemerintah negara bagian paling padat di Jerman, Nordrhein-Westfallen (NRW) untuk melarang anak perempuan di bawah usia 14 tahun mengenakan jilbab dalam pelajaran sekolah.

"Larangan jilbab akan membantu, setidaknya secara umum, untuk melemahkan diskriminasi atas dasar agama dan intimidasi anti-agama," ujar Ketua DL, Heinz-Peter Meidinger, seperti dikutip dari harian Bild. Dia mengakui bahwa realitasnya mungkin berbeda untuk gadis-gadis yang lebih tua. Namun ia menyerukan untuk mengakhiri "tampilan simbol-simbol agama yang dipaksakan di antara anak-anak dengan latar belakang agama."

Menteri Urusan Integrasi NRW Joachim Stamp mengumumkan inisiatif itu akhir pekan lalu seraya mengatakan anak-anak yang berusia sangat muda tidak boleh dipaksa menutupi rambut mereka karena alasan agama.

"Semakin banyak guru sekolah dasar yang melaporkan kasus anak perempuan usia tujuh tahun yang datang ke kelas dengan jilbab,” ujar Serap Güler, pejabat kementerian integrasi NRW. Güler, yang merupakan keturunan Turki, mengatakan bahwa ibunya sendiri mengenakan jilbab. "Tapi dia membuat pilihan itu sebagai wanita dewasa." Demikian dikutip dari Telegraph.

Pemerintahan Angela Merkel didera perdebatan pada hari Selasa (10/04) ketika Annette Widmann-Mauz, menteri integrasi nasional, memperingatkan larangan itu bisa jadi kontra-produktif. "Larangan tidak menyelesaikan masalah mendasar di baliknya. Kita harus menjangkau orang tua dan memastikan gadis-gadis diberdayakan untuk membuat pilihan mereka sendiri. Pada saat yang bersamaan, perempuan yang secara sukarela memilih untuk mengenakan jilbab tidak boleh dirugikan. ”

Sementara itu, Haci Halil Uslucan dari Dewan Penasehat Jerman tentang Integrasi dan Migrasi mengatakan: "Dari perspektif agama Islam, tidak ada alasan untuk mengenakan jilbab sebelum mencapai kematangan seksual."

Memicu kritik

Susanne Lin-Klitzing, kepala Asosiasi Filologi Jerman, mengatakan kepada harian Bild bahwa dalam demokrasi tidak boleh ada jenis kelamin yang berada dalam posisi di bawah jenis kelamin lainnya. "Jilbab bisa saja dilihat sebagai simbol tersebut, jadi tidak ada tempat untuk itu di dalam kelas."

Tokoh Muslim Liberal Seyran Ates, yang juga merupakan salah satu pendiri Masjid Ibn Rusyd-Goethe di Berlin, mengatakan larangan tersebut  "sudah lama tertunda."

Dewan Islam Jerman mengkritik usulan NRW yang dianggap memicu perdebatan yang "populis, sangat simbolis dan tanpa substansi."

Baca juga:

Separuh Warga Iran Ingin Penghapusan Kewajiban Pemakaian Jilbab

Jilbab, Kewajiban atau Bukan?

Proposal 'Populis'

Ketua dewan tersebut, Burhan Kesici, mengatakan gagasan bahwa gadis-gadis Muslim dipaksa untuk menutupi rambut mereka sudah ketinggalan zaman. "Mewajibkan jilbab dan larangan  jilbab berada dalam nada yang sama: keduanya membahayakan umat Islam."

Dia mengatakan bahwa meskipun mungkin ada sejumlah kecil yang dipaksa mengenakan jilbab, adalah "tidak proporsional dan tidak konstitusional" bagi negara bagian NRW untuk "membatasi kebebasan beragama semua wanita Muslim" sebagai kaum minoritas.

Kepala Konferensi Kementerian Pendidikan, Helmut Holter, juga menolak gagasan itu. Ia menambahkan bahwa seharusnya ada fokus yang lebih besar pada penguatan pendidikan demokratis di sekolah.

"Semua anak harus bisa berkembang menjadi individu yang bebas dan ditentukan sendiri," katanya kepada Bild.

Sebelumnya, pemerintah konservatif Austria pekan lalu mengumumkan usulannya untuk melarang anak perempuan mengenakan jilbab di taman kanak-kanak dan sekolah dasar."

ap/vlz (bild/telgraph/epd, kna)