Belanda Bertanggung Jawab Atas Kejahatan Perang 1949
28 Januari 2016
Pengadilan Belanda memenangkan gugatan seorang perempuan Indonesia yang diperkosa serdadu Belanda tahun 1949. Pemerintah Belanda diharuskan membayar ganti rugi kepada korban.
Iklan
Sebuah pengadilan di Den Haag menghukum Kerajaan Belanda sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan perang yang dilakukan para serdadu belanda di Indonesia tahun 1949.
Perempuan Indonesia yang ketika peristiwa itu terjadi berusia 18 tahun, menggugat Kerajaan Belanda karena ia diperkosa oleh beberapa serdadu Belanda bulan Februari 1949.
Pemerintah Belanda tadinya menolak tuntutan ganti rugi dengan menyatakan, kasusnya sudah kadaluwarsa. Namun pengadilan di Den Haag menolak klaim itu.
Belanda beberapa kali melancarkan apa yang disebut "aksi polisionil" ke Indonesia yang secara sepihak menyatakan kemerdekaan tahun 1945. Barulah akhir 1949 Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia setelah perundingan alot di bawah penengahan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ketika aksi polisionil dilancarkan, para serdadu Belanda dituduh melakukan beberapa kejahatan perang.
Sebelumnya, pemerintah Belanda sudah dijatuhi sanksi karena sedadunya melakukan penembakan massal di Sulawesi dalam aksi polisionil 1946 - 1949. Penembakan itu dilakukan di hadapan mata istri dan anak-anak korban. Lebih 3.000 orang diduga tewas dalam pembunuhan massal itu.
Lebih 20 anggota keluarga korban kemudian mengajukan gugatan terhadap Kerajaan Belanda dan militernya. Pemerintah Belanda ketika itu juga menolak gugatan dengan argumen bahwa kasusnya sudah kadaluwarsa. Namun pengadilan menolak argumen itu.
Pengadilan ketika itu mengikuti vonis dalam kasus yang sudah disidang sebelumnya, yaitu pembantaian massal yang terjadi 9 september 1947 di kampung Rawagede, yang terletak antara Karawang dan Bekasi. Lebih 400 penduduk desa ketika itu dibunuh oleh para serdadu Belanda.
Tahun 2012 pengadilan Den Haag memutuskan Kerajaan Belanda harus bertanggung jawab atas peristiwa kejahatan perang itu. Pemerintah Belanda diperintahkan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya, masing-masing senilai sekitar Rp. 1 miliar.
Perang Diplomasi demi Kemerdekaan Indonesia
Tanpa diplomasi Sjahrir dan tekanan internasional, Belanda masih akan bercokol di Indonesia, kendati proklamasi 45. Inilah empat tahun bersejarah yang dipenuhi intrik politik, pengkhianatan dan agresi milliter Belanda
Foto: picture-alliance/ANP
Kapitulasi Jepang, September 1945
12 Agustus 45, tiga hari setelah bom atom menghancurkan Nagasaki, Panglima Militer Jepang, Jendral Terauchi Hisaichi mengundang Soekarno dan Radjiman Wedyodiningrat ke Da Lat, Vietnam. Kepada keduanya Hisaichi mengindikasikan Jepang akan menyerah kepada sekutu dan membiarkan proklamasi kemerdekaan RI. Baru pada 2 September Jepang secara resmi menyatakan kapitulasi di atas kapal USS Missouri.
Foto: picture-alliance/dpa/United States Library Of Congres
Proklamasi, Agustus 1945
Setibanya di Jakarta, Soekarno diculik oleh pemuda PETA ke Rengasdengklok. Di sana ia dipaksa mengumumkan kemerdekaan tanpa Jepang. Malam harinya Soekarno menyambangi Mayjen Nishimura Otoshi. Kendati tidak mendukung, Nishimura menawarkan rumahnya untuk dipakai merumuskan naskah proklamasi. Keesokan hari Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan Timur No. 56
Foto: picture alliance/CPA Media
Kabinet Sjahrir I, November 1945
Soekarno dan Hatta diangkat sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Keduanya memerintahkan Sutan Sjahrir, diplomat ulung yang kemudian menjadi perdana menteri pertama, buat mencari pengakuan internasional. Tugas Sjahrir adalah mempersiapkan Indonesia menghadapi pertemuan Linggarjati. Pidatonya yang legendaris di sidang umum PBB 1947 hingga kini masih tercatat sebagai momen paling menentukan
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Perundingan Linggarjati, November 1946
Dalam pertemuan yang dimediasi Inggris, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di Jawa, Madura dan Sumatera. Tapi Belanda nyaris bangkrut dan berniat mengamankan akses ke sumber daya alam Indonesia. Sjahrir yang ingin menghindari perang sempat menyetujui pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Belanda. Idenya ditolak Sukarno, dan Sjahrir harus mundur sebulan setelah penadatanganan perjanjian.
Foto: Public Domain
Agresi Militer I, Juli 1947
Akibatnya Belanda menyerbu Sumatera dan Jawa demi merebut sumber daya alam dan lahan pertanian. Apa yang oleh Indonesia disebut sebagai Agresi Militer, dinamakan Belanda "misi kepolisian" untuk menghindari campur tangan internasional. Parlemen Belanda awalnya menginginkan perluasan agresi buat merebut ibukota Yogyakarta, tapi ancaman sanksi PBB membuat Den Haag menarik pasukannya dari Indonesia.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville, Desember 1947
Di atas kapal USS Renville, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda cuma mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan. Belanda kala itu sedang menunggu pemilu legislatif. Pemerintahan yang baru kemudian mengambil kebijakan yang lebih keras terhadap Indonesia.
Foto: Publilc Domain
Agresi Militer II, Desember 1948
Belanda memanfaatkan masa liburan natal PBB buat menggelar Agresi Militer II. 80.000 pasukan diterjunkan. Soekarno, Hatta dan Sjahrir ditangkap. Akibatnya Sjafruddin Prawiranegara diperintahkan membentuk pemerintahan darurat. Uniknya operasi militer di Indonesia didukung 60% penduduk Belanda. Sembilan hari setelah dimulainya agresi, PBB menelurkan dua resolusi yang menentang serangan Belanda
Foto: Getty Images/Keystone
Konferensi Meja Bundar, Agustus 1949
Setelah menjalin kesepakatan dalam perjanjian Roem Roijen, Indonesia dan Belanda sepakat bertemu di Den Haag atas desakan internasional. Belanda bersedia menarik mundur pasukan dan mengakui kedaulatan RI di semua kepulauan, kecuali Papua barat. Sebagai gantinya Indonesia harus membayar sebagian utang pemerintahan kolonial, termasuk yang dipakai untuk agresi militer selama perang kemerdekaan.
Foto: Getty Images/Keystone
Penyerahan Kedaulatan, Desember 1949
Ratu Juliana menandatangani akta penyerahan kedaulatan kepada RI di Amsterdam pada 27. Dezember 1949. Setelah kemerdekaan, Indonesia tenggelam dalam revolusi buat mengamankan kesatuan republik. Sementara Belanda menghadapi tekanan internasional. Sikap Den Haag soal Indonesia dan Papua bahkan nyaris membatalkan keanggotaan Belanda di NATO, yang kala itu mendukung kemerdekaan Indonesia.