Negeri Para "King Maker "
6 Mei 2025
Sudah umum diketahui, adalah Sufmi Dasco Ahmad yang didapuk menjadi "king maker " rezim sekarang. Sebenarnya masih ada satu nama lagi, yaitu Hashim Sujono (adikPresiden Prabowo Subianto), namun pembawaan Hashim yang cenderung bergaya aristokrat, rupanya menjadi kendala dalam menguasai lapangan.
Keberadaan king maker yang beririsan dengan kekuasaan formal, merupakan fenomena unik dalam politik Indonesia. Sekitar satu dekade silam, praktis nama Dasco belum banyak dikenal, kini tiba-tiba namanya melesat, Dasco telah pula menjadi media darling.
Dalam second liner Partai Gerindra, adalah Fadli Zon yang lebih dahulu populer, mengingat Fadli Zon diketahui sudah akrab dengan Prabowo sejak era Orde Baru, ketika Prabowo masih aktif sebagai komandan pasukan.
Itu sebabnya publik sedikit terheran-heran, ketika yang menjadi king maker ternyata adalah Dasco, bukan Fadli. Nama terakhir ini sudah cukup nyaman sebagai Menteri Kebudayaan, posisi yang telah menjadi impiannya sejak belia.
Sekadar perbandingan, pada era Jokowi, adalah Luhut Panjaitan (LBP) yang menjadi king maker, kini LBP secara alamiah sudah surut ke belakang, salah satunya karena faktor usia.
Bila LBP yang menjadi king maker, publik bisa mahfum, karena nama besar LBP sebelumnya.
Rekam jejak LBP dalam bidang militer dan politik, tidak diragukan lagi. LBP sudah menjadi tokoh publik, bahkan sejak Orde Baru, ketika nama Jokowi sama sekali belum dikenal. Sementara terkait masa lalu Dasco, publik masih meraba-raba.
Di Jakarta telah muncul olok-olok, banyak tokoh telah masuk waiting list untuk "sowan” Dasco. Sowan sendiri adalah istilah jawa yang artinya (menghadap), biasanya istilah sowan digunakan untuk menghadap raja atau elite pemerintahan.
Dengan menggunakan kata (sowan), meski sekadar olok-olok, sudah memberikan gambaran posisi Dasco dalam belantara politik kekuasaan hari ini. Bahkan untuk menyebut Dasco, kini masih ditambah lagi dengan Don, sebutan lengkapnya menjadi Don Dasco, yang semakin memperkuat pencitraannya.
Bermula dari Ali Murtopo
Tidak ada yang benar-benar baru dalam sejarah. Guna menjaga keberlangsungan kekuasaannya, adalah biasa bila seorang presiden banyak dibantu oleh orang-orang kepercayaannya.
Untuk fenomena king maker, bisa disebut nama Ali Murtopo sebagai perintis posisi informal (dalam lingkaran kekuasaan) tersebut. Saat berkuasa dulu, Soeharto (Presiden RI 1966 – 1998) banyak bersandar pada Ali Moertopo, setidaknya di awal kekuasaannya.
Posisi formal Ali Murtopo dalam pemerintahan mungkin tidak terlalu signifikan, kira-kira setara Wakil Kepala BIN, yang di masa lalu disebut Deputi Kepala BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Namun kekuasaan Ali Murtopo nyaris tanpa batas, karena memang sangat dipercaya oleh Soeharto.
Situasinya mirip dengan Megawati saat berkuasa dulu, yang sangat percaya pada Mayjen Purn Theo Syafei (Akmil 1965). Jabatan formal Theo "sekadar” anggota DPR RI dari PDIP, namun karena sangat dipercaya (Presiden) Megawati, menjadikan Theo memiliki ruang politik yang sangat luas.
Pola hubungan antara penguasa dengan king maker, seperti antara Soeharto dan Ali Murtopo, atau antara Megawati dan Theo Syafei, bisa dipastikan antara keduanya sudah berkawan sejak lama, dalam hal ini, jauh sebelum Soeharto atau Megawati secara resmi berkuasa. Dan kebersamaan itu bisa dideteksi publik berbasis fakta yang tersedia.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Ali Murtopo misanya, sudah mendampingi Soeharto, sejak masih sama-sama berdinas di Kodam Diponegoro, untuk selanjutnya Ali Murtopo membantu memuluskan jalan Soeharto menuju kekuasaan. Soal Ali Murtopo kemudian disingkirkan selepas Peristiwa Malari (1974), adalah soal lain, dan itu merupakan teks sejarah tersendiri.
Demikian juga dengan Theo Syafei, sebagai bagian dari lingkaran Benny Moerdani, Theo secara "senyap” ikut mendukung Megawati untuk bisa memimpin PDI (belum lagi memakai label Perjuangan) pada dekade 1990-an. Benny adalah perwira tempur dan intelijen yang sangat legendaris, memiliki cara tersendiri dalam melawan Soeharto, yaitu dengan melindungi anak-anak Bung Karno, terutama Megawati dan Guntur (Mas Tok).
Kemudian pada era Gus Dur, setidaknya ada dua king maker yang mungkin masih diingat publik: Marsillam Simanjuntak dan Gus Im (Hasyim Wahid). Sebagaimana kita tahu, Marsilam adalah teman masa kecil Gus Dur, mereka berdua bertetangga sejak kecil di daerah Matraman (Jakarta Timur), kemudian Gus Im adalah adik (bungsu) Gus Dur.
Ihwal bagaimana "riwayat” hubungan antara Prabowo dan Dasco di masa lalu, untuk sementara masih samar, belum tersedia informasi yang benar-benar valid. Mungkin sudah "garis tangan” Dasco, yang terkesan dadakan menjadi orang yang sangat dipercaya penguasa, dan untuk selanjutnya menjadi king maker.
Sebagaimana sudah disebut sekilas di atas terkait Fadli Zon, yang seharusnya sangat layak menjadi king maker, mungkin keberuntungan Fadli ada di posisi lain, bukan sebagai king maker.
Masa lalu Dasco yang masih samar, segera tergantikan dengan gencarnya pemberitaan soal aktivitas Dasco di lapangan. Salah satu yang menjadi berita besar adalah ketika Dasco bertemu sejumlah tokoh gerakan mahasiswa 1980-an, yakni Syahganda Nainggolan (ITB) , Jumhur Hidayat (ITB), dan intelektual publik Rocky Gerung (UI), awal April yang lalu.
Melalui akun media sosialnya, Syahganda secara terbuka sangat memuji-muji Dasco, sementara Rocky Gerung lebih hati-hati, meski bisa dikatakan nadanya juga positif. Penulis secara pribadi masih percaya pada integritas Rocky, yang (selamanya) tidak berminat pada kekuasaan, sebagaimana disampaikannya dalam akun media sosialnya.
Tentu ada banyak pertemuan serupa yang sudah dilakukan Dasco, namun pertemuan yang sedang kita bahas ini, termasuk istimewa. Mengingat tamu-tamu Dasco tersebut, sejak lama dikenal selalu bersikap kritis terhadap kekuasaan, terutama terhadap rezim Orde Baru, dan tetap (berupaya) kritis pada rezim-rezim berikutnya.
Saya sendiri menyebutnya, pertemuan itu sebagai anakronisme sejarah, mengingat nama-nama yang menjadi tamu Dasco, terbilang tokoh gerakan mahasiswa generasi 1980-an, generasi yang menyebut Pilpres 2029 nanti sebagai "the last battle”. Karena faktor usia, aktivis generasi 1980-an akan segera surut, mungkin termasuk Dasco juga, yang kabarnya adalah teman bermain masa remaja Jumhur Hidayat.
Anakronisme itu terletak pada kebesaran jiwa Rocky dan kawan-kawan, yang bersedia "sowan” pada Dasco, terlebih bila kita ingat kembali, sepuluh tahun yang lalu nama Dasco sama sekali belum dikenal. Sekadar anekdot bisa disampaikan di sini, ketika Dasco masih bermain kasti di sekolahnya, Rocky sudah menulis opini di harian nasional. Dengan kata lain, pertemuan itu semakin menebalkan sebuah anggapan, betapa misterinya masa lalu Dasco.
King maker berikutnya
Fenomena king maker akan selalu hidup dalam politik Indonesia, itu sebabnya menarik juga untuk memproyeksikan siapa kira-kira king maker berikutnya, bila kekuasaan atau rezim berganti kelak.
Termasuk juga posisi Dasco saat ini, apakah akan tetap bertahan sebagai king maker, seandainya Prabowo berkuasa kembali untuk periode yang kedua. Sebagaimana pengalaman selama ini, politik Indonesia sulit diramalkan.
Kiranya masing-masing poros atau kubu sudah memiliki kandidat, siapa yang kelak pantas sebagai king maker. Untuk poros PDIP, salah satu nama yang sangat potensial adalah Andi Widjajanto. Ini seperti pameo "like father like son”, karena Andi adalah anak dari Mayjen Theo Syafei, orang kepercayaan Megawati, sebagaimana telah disebut di atas.
Kecerdasan dan intelektualitas Andi tidak diragukan lagi, dan Andi sendiri sebenarnya sudah sangat siap di panggung itu (sebagai king maker), seandainya PDIP menang Pilpres tempo hari.
Kemudian dari poros Partai Demokrat ada nama Iftitah Sulaiman (kini Menteri Transmigrasi, lulusan terbaik Akmil 1999). Keberanian Iftitah untuk pensiun dini, tentu akan memperoleh kompensasi yang setimpal, seandainya kelak AHY menjadi presiden atau wapres.
Iftitah bersedia mengorbankan prospek kariernya yang cemerlang, sebagai lulusan terbaik di Akmil (1999) dan Seskoad di AS, untuk segera bergabung dengan AHY, yuniornya di Akmil.
Nama potensial berikutnya adalah Ahmad Sahroni, dari poros Partai Nasdem. Ada kemiripan antara Sahroni dan Dasco, yakni sama-sama bukan berlatar belakang aktivis gerakan mahasiswa, atau gerakan masyarakat sipil pada umumnya. Sebelum terjun ke politik, Sahroni dan Dasco lebih dikenal sebagai pengusaha sukses, dan ternyata karier mereka di partai politik juga sama-sama cerah, sama-sama dekat dengan Ketua Umum di partai masing-masing.
Nama-nama potensial tersebut bisa belajar dari kisah luputnya kandidat king maker di masa lalu, yang sudah digadang-gadang oleh media dan publik, namun – dengan berbagai alasan - pada akhirnya hanya terhenti sampai status "kandidat” saja.
Kita bisa mengingat kembali saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru naik sebagai Presiden pada 2004 silam, ada dua nama yang diperkirakan bakal menjadi king maker, yaitu Rizal Mallarangeng dan Denny JA. Utamanya Denny JA, yang telah banyak berkontribusi pada kemenangan SBY saat itu, dalam posisi sebagai konsultan politik dan komunikasi.
Ternyata hanya seumur jagung, dua nama ini segera hilang dari lingkaran ring satu Cikeas (simbol kekuasaan SBY). Rizal kemudian lebih dikenal sebagai Direktur Freedom Institute, yang terafiliasi pada (pengusaha) Aburizal Bakrie. Sementara Denny JA kemudian lebih fokus membesarkan lembaga konsultan politik dan survei miliknya.
Sebagaimana metafora di atas, yakni soal "garis tangan” atau nasib baik, kita harus tetap hati-hati dalam ikhtiar, bahwa burung yang sudah di tangan pun, nyatanya masih bisa lepas.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial. Terima kasih