1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nelayan Cina Dituduh Beroperasi Ilegal di Afrika Timur

Yu-chen Li | Chia-Chun Yeh
3 Mei 2024

Sebuah investigasi teranyar membeberkan bukti pelanggaran ‚sistematis’ aturan lingkungan dan hak buruh oleh armada nelayan Cina di lepas pantai Afrika Timur. Namun penanggulanggannya terhadang isu geopolitik.

Kapal ikan Cina di Samudera Hindia
Kapal ikan berbendera Cina di barat daya Samudera Hindia.Foto: Environmental Justice Foundation

Tidak ada „kata istirahat” di kapal ikan Cina, tutur seorang mantan awak kapal kepada tim penyelidik Environmental Justice Foundation, EJF, sebuah organisasi lingkungan di Inggris. "Kalau ikannya banyak, pengerjaannya bisa memakan waktu sampai 22 jam.”

Kesaksian tersebut terangkum dalam laporan EJF yang mencatat bagaimana armada penangkapan ikan Cina melakukan pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia di barat daya Samudera Hindia.

Saat ini, industri Penangkapan ikan Perairan Jauh, DWF, milik Cina adalah yang terbesar di dunia baik dari segi volume tangkapan maupun jumlah armada. Menurut Indeks Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur, IUU, Cina menempati peringkat terburuk di antara 152 negara di seluruh dunia.

Aktivitas armada DWF Cina sebenarnya sudah mendapat pengawasan ketat di Amerika Selatan dan Afrika Barat. Kini, laporan EJF menjadi investigasi komprehensif pertama terhadap aktivitas nelayan Cina di lepas pantai Afrika Timur.

Salah satu bukti penyiksaan terhadap hewan yang dilindungi oleh awak kapal ikan Cina di Samudera Hindia Barat Daya.Foto: Environmental Justice Foundation

Penangkapan ilegal dan 'sistematis' oleh Cina

Meskipun Cina tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas penangkapan ikan ilegal di Afrika Timur, pemerintah di Beijing tetap dipandang sebagai salah satu aktor utama. 

Negara-negara yang paling terdampak di Afrika Timur, antara lain, adalah Madagaskar dan Mozambik, yang termasuk negara termiskin di dunia.

Callum Nolan, peneliti senior EJF yang memimpin sebagian besar penelitian, mengatakan "ada kekhawatiran nyata” bahwa penangkapan ikan ilegal armada nelayan Cina berlangsung secara "sistematis,” ujarnya kepada DW.

"Masalahnya bukan disebabkan segelintir oknum atau kapten yang jahat, melainkan terjadi di seluruh armada perikanan jarak jauh Cina,” tambahnya.

Laporan EJF dirilis ketika Cina sedang menggiatkan kerja sama dengan negara-negara pesisir Afrika Timur demi mengembangkan infrastruktur perikanan, meski saat yang sama Beijing juga mengirimkan armada ikannya ke perairan Afrika Barat.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Dalam risetnya, EJF mewawancarai 44 nelayan yang pernah bekerja di armada perikanan Tiongkok di Samudera Hindia, yang merupakan divisi kelautan terbesar ketiga di dunia.

Ketika ditanya tentang aktivitas ilegal di atas kapal Cina, 80 persen nelayan melaporkan lazimnya praktik mengambil sirip hiu dan membuang sisa hiu kembali ke laut. Adapun 59 persen nelayan melaporkan praktik penyiksaan terhadap satwa laut yang dilindungi, antara lain pari manta, lumba-lumba dan hiu.

"Hiu-hiu itu ditangkap. Mereka hanya mengambil sirip dan membuang mayatnya," kata seorang nelayan kepada EJF dalam sebuah wawancara video.

Perilaku ilegal lainnya yang umum terjadi adalah memasuki zona penangkapan ikan khusus untuk nelayan lokal, kata Nolan.

Menurutnya, nelayan lokal mengabarkan betapa kapal pukat Tiongkok memasuki zona penangkapan pada malam hari dan menyebabkan tabrakan antara perahu nelayan.

"Aktivitas Cina menciptakan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat setempat,” kata Nolan. 

Makanan 'busuk' dan sulingan air laut

Kapal DWF Cina sangat bergantung pada nelayan asing, yang sebagian besar  berasal dari Indonesia dan Filipina.

Dios Lumban Gaol, koordinator serikat pekerja migran Indonesia SBMI, mengatakan kepada DW bahwa laporan EJF dengan jelas menggambarkan eksploitasi, kekerasan dan buruknya kondisi kerja yang dihadapi oleh awak kapal Indonesia di atas kapal Cina. Menurutnya, pelanggaran itu masih "berlanjut hingga saat ini.”

Dari 44 awak kapal yang diwawancarai oleh EJF, semuanya melaporkan kondisi kerja dan kehidupan yang kejam, 96 persen mengaku dipaksa bekerja lembur secara berlebihan, dan 55 persen mengaku mengalami kekerasan fisik.

Para nelayan mengabarkan, setidaknya empat awak tewas di atas kapal tuna Cina antara tahun 2017 dan 2023.

Gaol mengatakan ada laporan bahwa awak kapal asal Indonesia di kapal Cina diberi sulingan air laut untuk diminum dan makanan kalengan yang sudah kadaluarsa atau busuk. 

Perlakuan berbeda dialami kapten atau awak asal Cina yang diklaim mengkonsumsi air mineral selama berada di atas kapal.

"Ironisnya, meski menangkap ikan yang bernilai tinggi, para awak kapal menghadapi kondisi hidup dan makanan yang mengerikan di atas kapal berbendera Cina,” kata Gaol.

Terikat utang dan kepatuhan

Laporan EJF juga menyebutkan bagaimana nelayan Cina cendung mendapat keleluasaan dan menikmati perlindungan di negara-negara yang terikat utang dalam skema Inisiatif Sabuk dan Jalan, BRI, karena „mungkin merasa berkewajiban” kepada Beijing.

Sejak peluncuran BRI pada tahun 2013, 52 negara Afrika telah bergabung, yang membantu Cina memperkuat pengaruhnya di Afrika dengan membiayai pembangunan jalan, jalur kereta api atau pelabuhan.

Sementara itu, pengaruh Cina yang "hampir tak tertandingi” di PBB juga berperan dalam meredam kritik terhadap aktivitasnya di Afrika, kata Elizabeth Freund Larus, asisten senior di Pacific Forum, sebuah wadah pemikir kebijakan luar negeri di Amerika Serikat.

"Inisiatif BRI benar-benar menciptakan kepatuhan besar kepada Beijing,” kata dia, merujuk pada sikap  "diam atau ragu-ragu” dari negara anggota PBB „untuk mengkritik Cina,” meski ujung-ujungnya „harus menanggung” konsekuensinya.

"Jadi, tidak seorang pun bisa berharap bahwa PBB akan menangani masalah ini hingga tuntas,” tukasnya.

Nolan menambahkan, pengawasan menyeluruh terhadap aktivitas kapal-kapal Cina di wilayah terpencil adalah nyaris mustahil. Terlebih, industri DWF Cina secara umum menjauhi transparansi, katanya.

Salah satu contohnya adalah bendera kapal yang tidak secara akurat mencerminkan kepemilikan asli atau praktik suap dan ancaman terhadap petugas pengawas kapal.

Cina bantah lakukan pelanggaran

Pemerintah di Beijing telah berulang kali membantah adanya aktivitas penangkapan ikan ilegal dan tidak diatur, IUU, di wilayahnya.

Buku putih kemaritiman  tahun 2023 tentang aktivitas perikanan di perairan jauh tidak mengizinkan penangkapan ilegal dan mengandung "tindakan dan peraturan pengelolaan paling ketat di dunia,” kata seorang juru bicara pemerintah.

Cina juga mengklaim telah membuat "kemajuan besar” dalam konservasi laut dengan sejumlah kebijakan seperti musim larangan penangkapan, kuota jumlah tangkapan dan audit secara berkala.

Daftar perusahaan Tiongkok juga dimasukkan dalam laporan EJF, termasuk "Shandong Zhonglu" dan "Zhejiang Ocean Family".

Armada penangkapan ikan tuna milik kedua korporasi dituduh sebagai pelanggar besar larangan penangkapan ikan IUU atau pelanggaran hak asasi manusia di barat daya Samudera Hindia pada tahun 2023.

Kepada DW,  Shandong Zhonglu mengatakan saat ini pihaknya sedang memverifikasi masalah yang disebutkan dalam laporan EJF.

Adapun Zhejiang Ocean Family mengatakan pihaknya telah melakukan penyelidikan internal, namun menemukan bahwa tuduhan dalam laporan tersebut tidak memiliki dasar faktual dan ketelitian.

rzn/hp

Laporan ini disusun dengan kontribusi dua koresponden DW, Kate Hairsine dan Levie Mulia Wardana.

Yu-chen Li Li adalah Jurnalis multimedia dan saat ini bekerja sebagai koresponden Taipei di DW.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait