1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Nelayan Keluhkan Sulit Melaut di tengah Langkanya Solar

6 April 2022

Hingga kini nelayan tradisional di Indonesia masih menghadapi masalah klasik ketersediaan BBM di tengah cuaca yang kian ekstrem dan berbagai peraturan yang dinilai memberatkan.

Fischerei in Indonesien
Foto: Ampelsa/Opn Images/imago images

Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) khususnya solar bersubsidi ditambah cuaca buruk membuat ratusan nelayan di sepanjang Laut Jawa tak bisa melaut akhir-akhir ini, demikian disampaikan Ketua Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI), Riyono.

Langkanya BBM tersebut membuat antrian panjang di sejumlah SPBU di berbagai daerah di Indonesia. Riyono mengatakan banyak nelayan yang bahkan sampai menginap di SPBU demi mendapatkan solar karena sudah hampir seminggu tak bisa melaut.

Menurut catatan ANNI, terdapat sekitar 1,5 juta nelayan tradisional di seluruh Indonesia sementara subsidi solar hanya bisa diakses oleh 26% nelayan kecil. "Nelayan kecil mulai akses solar sulit, 60% yang dibutuhkan solar, mereka mau melaut dari mana?"

Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini pada Senin(04/04) menanggapi keluhan kelangkaan BBM jenis solar bagi nelayan di berbagai wilayah di Indonesia dengan melakukan koordinasi dengan Pertamina agar melakukan penambahan stasiun pengisian BBM.

"Realisasinya akan tergantung pada Pertamina karena kami tidak punya akses dan tidak bisa mengontrol langsung berapa sebenarnya yang bisa diberikan langsung oleh Pertamina kepada nelayan. Tapi kita janji bahwa kita akan terus melakukan koordinasi dengan Pertamina untuk berikan kemudahan, paling tidak untuk menghindari kelangkaan," ujarnya dalam press konferensi secara virtual.

Cuaca ekstrem dan sistem kontrak penangkapan

Riyono juga melaporkan cuaca buruk dan angin kencang yang terjadi dalam beberapa minggu ini turut menghambat nelayan untuk bisa pergi melaut. Sejak beberapa hari lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan potensi hujan lebat disertai petir melanda Jabodetabek dan beberapa wilayah di Jawa Tengah.

Bahkan beberapa wilayah di Jakarta sempat tergenang banjir. Larangan melaut saat cuaca ekstrem menurut Riyono dilakukan untuk mencegah kecelakaan laut. Gelombang tinggi dan angin kencang sangat berisiko bagi kapal-kapal kecil berkapasitas 5 GT.

"Kalau cuaca sedang ekstrem, gelombang tinggi 2,5 meter nelayan kecil juga tidak bisa melaut," katanya.

Selain itu, yang dikeluhkan nelayan adalah penerapan sistem perikanan terukur yang akan mengatur area penangkapan ikan, jumlah ikan yang boleh ditangkap, jenis alat tangkap, daerah penangkapan ikan serta jumlah pelaku usaha yang bersistem kontrak. 

Dalam sistem kontrak itu, kuota penangkapan ikan kepada setiap badan usaha perikanan minimal 100.000 ton per tahun dengan masa kontrak bisa diperpanjang setiap 15 tahun sekali. Rencananya sistem ini akan diberlakukan di beberapa area termasuk Laut Natuna dan Laut Cina Selatan.

Ia menimbang bahwa peluang untuk pemodal asing masuk sangat besar karena mendorong lebih banyak kapal berukuran besar yang dimiliki korporasi dan investor asing untuk masuk ke daerah tangkapan di laut dalam.

"Kapal kita kalah saing dari segi ukuran dan teknologi," kata dia.

Dari 660.000 kapal nelayan di Indonesia, hanya 220.000 yang menggunakan teknologi. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 1-5% yang berukuran di atas 100 GT.

Berpotensi timbulkan konflik

Sementara Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW), Mohamad Abdi Suhufan mengatakan ketidaksetujuannya terhadap sistem kontrak perikanan terukur. Menurutnya sistem ini justru berbahaya bagi keberlanjutan sumber daya ikan dan berpotensi menimbulkan konflik antara nelayan kecil dan kapal besar.

Selain itu, aturan ini juga menggambarkan lemahnya keberpihakan dan perlindungan pemerintah terhadap nelayan kecil. Contohnya, Permen KP No 18/2021 tentang penempatan alat penangkap ikan dan alat bantu penangkapan ikan di laut lepas serta penataan andon penangkapan ikan mengandung sejumlah aturan yang merugikan nelayan tradisional penangkap udang.

Pasal 26 ayat 1 dan 2 Permen tersebut menyebutkan jaring hela udang berkantong (cantrang) hanya diberikan pada kapal ukuran diatas 30 GT pada WPP 718 di jalur tangkap 3 dan 2 dengan isobar minimal 10 meter.

"Ini zona nelayan kecil dan tradisional di Aru sehingga menimbulkan gejolak sosial masyarakat dan menuntut agar nelayan kecil diberikan kesempatan yang sama," ujar dia. (td/ae)

Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait