Apakah istilah untuk tindakan seseorang mengutamakan keluarganya menduduki jabatan politik tertentu? Sayang istri, anak, sepupu? Sayangnya, bukan. Istilah yang tepat hanya satu kata: nepotisme. Opini Geger Riyanto.
Iklan
Idiom memalukan ini sempat meriuhkan perbendaharaan bahasa Indonesia pada awal-awal Reformasi. Wajar, tentu. Reformasi pecah, toh, salah satunya karena kemuakan publik melihat satu keluarga—keluarga Cendana—mengacak-acak satu Indonesia. Satu anak Cendana dimandati lisensi mengimpor kebutuhan pangan vital, monopoli pembelian komoditas dari petani, dan kilang minyaknya sendiri. Anak yang lain dimandati kepemilikan televisi nasional, hak untuk mereboisasi hutan, dan juga kilang minyaknya sendiri.
Dan mereka semua menunaikan tugas yang dimandatkan negara, yang sebenarnya adalah bapaknya sendiri, dengan sangat buruk. Semua institusi dan lisensi negara yang mereka pegang, dengan sendirinya, menjadi mesin ATM mereka. Sumber uangnya? Rakyat yang kehilangan hutannya, kerja kerasnya disia-siakan, dan anggaran negaranya dikuras tepat di depan matanya.
Namun, nyaris dua dekade selepas hari-hari mengesalkan tersebut, saya tak tahu idiom nepotisme persisnya menguap ke mana. Dan bersama dengannya nampaknya menguap pula ingatan publik tentang menggerahkannya menatap tak berdaya gurita keluarga melilitkan tentakelnya ke mana-mana. Kita kini menoleransi ketua partai yang satu menunjuk anaknya menduduki jabatan menteri yang strategis, dan ketua partai yang lain menyerahkan tiket emas untuk anaknya maju di pemilihan kepala daerah. Dan itu, tentu saja, baru yang terlihat.
Apakah Anda tahu bahwa DPR-RI 2014-2019 sejak awal didesain menjadi wadah silaturahmi keluarga? Prananda Paloh, anak Surya Paloh, adalah caleg di Dapil Sumatera Utara I. Ahmad Hanafi Rais, putra Amien Rais, maju di Dapil DI Yogyakarta. Ibas—saya tak perlu lagi menyebutkan siapa figur yang satu ini—nomor urut satu Dapil Jawa Timur VII. Dan kesemua nama ini punya satu kesamaan luar biasa. Mereka ditempatkan sebagai caleg nomor urut pertama di daerah pemilihannya. Kesemuanya, kendati katanya nomor urut tak berpengaruh pada keterpilihan, kini duduk di kursi dewan perwakilan kita yang terhormat.
Saya bahkan baru menyebut tiga nama. Sempatkan diri Anda memeriksa figur-figur yang terpilih menduduki DPR dan bahkan menempati jabatan terhormat di dalamnya, Anda akan memperoleh nama-nama yang awalnya mungkin asing tetapi ternyata bukan orang asing bagi figur sentral partai-partai. Kalau bukan istri atau saudara kandung sang figur, ia dipastikan adalah ipar, keponakan, atau sepupunya.
Dinasti politik
Dan, lucunya, para pengkritik situasi ini pun tak menggunakan lagi terminologi nepotisme. Mereka mempergunakan istilah "dinasti politik” yang, kendati mengganggu para politisi pelakunya, tak bisa dikatakan setajam istilah yang datang sebelumnya. Ia tak mengingatkan kita dengan trauma kepada fenomena keluarga berpolitik sebagaimana nepotisme.
Sialnya, betapapun kita mencibir nepotisme dalam kehidupan bernegara, saya sulit membayangkan tiba-tiba satu jalan keluar merekah dan kita bisa melarikan diri dari kesemerawutan ini dalam sekejap. Pertama-tama, keluarga adalah bentuk hubungan yang masih menguasai sekujur seluk-beluk kehidupan kita. Kita harus akui ini.
Anda mungkin ingat, beberapa puluh tahun lalu Prabowo—benar, kandidat presiden kita itu—menjadi bintang muda bersinar di angkatan bersenjata. Pangkatnya melesat secara tidak lazim. Jabatan-jabatan baru diadakan hanya agar kariernya naik selekasnya. Tapi, semua yang menyaksikannya melazimkannya. Siapa, toh, pada saat itu yang tak tahu pernikahannya dengan Titiek Suharto?
Mesin Uang Gurita Cendana
Keserakahan keluarga Cendana nyaris membuat Indonesia bangkrut. Oleh banyak pihak keluarga Suharto disebut mengantongi kekayaan sebesar 200 triliun Rupiah. Inilah jurus gurita cendana mengeruk duit haram dari kas negara:
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Gurita Harta
Suharto punya cara lihai mendulang harta haram. Ia mendirikan yayasan untuk berbinis dan mendeklarasikannya sebagai lembaga sosial agar terbebas dari pajak. Dengan cara itu ia mencaplok perusahaan-perusahaan mapan yang bergerak di bisnis strategis, seperti perbankan, konstruksi dan makanan. Menurut majalah Time, Suharto menguasai 3.6 juta hektar lahan, termasuk 40% wilayah Timor Leste
Foto: AP
Yayasan Siluman
Tidak hanya menghindari pajak, yayasan milik keluarga Cendana juga mendulang rejeki lewat dana sumbangan paksaan. Cara-cara semacam itu tertuang dalam berbagai keputusan presiden, antara lain Keppres No. 92/1996 yang mewajibkan perusahaan atau perorangan menyetor duit sebesar 2% dari penghasilan tahunan. Dana yang didaulat untuk keluarga miskin itu disetor ke berbagai yayasan Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Bisnis Terselubung
Bekas Jaksa Agung Soedjono Atmonegoro pernah menganalisa laporan keuangan ke empat yayasan terbesar Suharto. "Yayasan ini dibentuk untuk kegiatan sosial," tuturnya. "Tapi Suharto menggunakannya untuk memindahkan uang ke anak dan kroninya." Soedjono menemukan, Yayasan Supersemar menggunakan 84% dananya untuk keperluan bisnis, semisal pinjaman lunak kepada perusahaan yang dimiliki anak dan kroninya
Foto: picture alliance/dpa/A. Lolong
Lewat Kartel dan Monopoli
Cara lain yang gemar ditempuh Suharto untuk menggerakkan mesin uang Cendana adalah melalui monopoli. Teman dekatnya, The Kian Seng alias Bob Hasan, misalnya memimpin kartel kayu lewat Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO). Pengusaha yang kemudian dijebloskan ke penjara itu sering disebut sebagai ATM hidup keluarga cendana.
Foto: Getty Images/AFP/Firman
Bisnis Tepung Paman Liem
Taipan lain yang juga menjadi roda uang Cendana adalah Sudomo Salim alias Liem Sioe Liong. Sejak tahun 1969 pengusaha kelahiran Cina itu sudah mengantongi monopoli bisnis tepung lewat PT. Bogasari. Dari situ ia membangun imperium bisnis makanan berupa Indofood. Pria yang biasa disapa "Paman Liem" ini juga menjadi mentor bisnis buat putra putri Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Uang Minyak
Bukan rahasia lagi jika Pertamina pada era Suharto menjelma menjadi dompet raksasa keluarga Cendana. Sejak awal sang diktatur sudah menempatkan orang kepercayaannya, Ibnu Sutowo, buat memimpin perusahaan pelat merah tersebut. Sutowo kemudian memberikan kesaksian kepada majalah Time, tahun 1976 ia dipaksa menjual minyak ke Jepang dan menilap 0,10 Dollar AS untuk setiap barrel minyak yang diekspor.
Foto: picture-alliance/dpa
Pewaris Tahta Cendana
Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut sejak awal sudah diusung sebagai pewaris tahta Cendana. Putri tertua Suharto ini tidak cuma menguasai puluhan ribu hektar lahan sawit, stasiun televisi TPI dan 14% saham di Bank Central Asia, tetapi juga memanen harta tak terhingga lewat jalan tol. Hingga 1998 kekayaannya ditaksir mencapai 4,5 triliun Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Merajalela Lewat Bulog
Dari semua putera Suharto, Bambang adalah satu-satunya yang paling banyak berurusan dengan Liem Sioe Liong. Setelah mendirikan Bimantara Grup, Bambang terjun ke bisnis impor pangan lewat Badan Urusan Logistik yang saat itu didominasi Liem. Menurut catatan Tempo, selama 18 tahun kroni Suharto mengimpor bahan pangan lewat Bulog senilai 5 miliar Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa
Duit Cengkeh untuk Tommy
Melalui monopoli Hutomo Mandala Putra meraup kekayaan hingga 5 triliun Rupiah. Tahun 1996 ia mendapat status pelopor mobil nasional dan berhak mengimpor barang mewah dan suku cadang tanpa dikenai pajak. Selain itu Tommy juga menguasai Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh yang memonopoli penjualan dari petani ke produsen rokok. BPPC ditengarai banyak membuat petani cengkeh bangkrut.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Akhir Pahit Diktatur Tamak
Secara lihai Suharto membajak pertumbuhan ekonomi untuk kepentingan keluarga. Menurut Bank Dunia, antara 1988 hingga 1996, Indonesia menerima investasi asing senilai USD130 miliar. Tapi struktur perekonomian yang dibuat untuk memperkaya kroni Cendana justru menyeret Indonesia dalam krisis ekonomi dan mengakhiri kekuasaan sang jendral. (rzn/yf: economist, times, bloomberg, bbc, kompas, tempo)
Foto: Gemeinfrei
10 foto1 | 10
Mengapa orang-orang melazimkannya?
Sederhana. Karena demikianlah hukum dari kehidupan yang mereka jalani—cara dunia Anda dan saya bekerja bahkan sampai dengan detik ini. Orang-orang akan memupuskan impian mereka untuk naik jabatan tinggi-tinggi kala di suatu instansi, partai katakanlah, ada anggota keluarga dari figur sentral instansi bersangkutan. Mereka sudah naik ke gerbong yang salah sedari awal dan tak akan mengutuk siapa-siapa kecuali nasib naasnya sendiri. Misalnya, "Ah! Mengapa saya ada di dapil yang sama dengan anak ketua partai?”
Dan bahkan, dunia politik kita tak pernah enggan menggambarkan koalisi, relasi, intrik yang bergulir di dalamnya dengan hubungan keluarga. Perbendaharaannya diliputi idiom-idiom kekeluargaan. Anda, tentu, sudah mendengar nama koalisi termutakhir di ranah politik kita—"koalisi kekeluargaan.” Longok lebih ke belakang lagi, Anda akan menemukan kita mempunyai cara yang unik untuk menamai organisasi-organisasi politik besar di negeri ini. Apa sebutan bagi Partai Golkar sekaligus setiap organisasi sayapnya? "Keluarga Besar Golkar.” Lantas, sebutan bagi ABRI dan setiap organisasi afiliasinya? "Keluarga Besar ABRI.”
Dan perihal sapaan "bapak” terhadap pejabat—pernahkah kita berpikir ini bukan hal yang dengan sendirinya wajar? Kendati kita pernah dijajah Belanda dan sapaan yang lazim dipergunakan terhadap pejabat adalah "mijnheer” atau "meneer,” kita tak menyerap istilah yang netral dari konotasi kekeluargaan ini menjadi sapaan selepas kemerdekaan. Kita malah mempergunakan "bapak” yang mengandung arti "orang tua laki-laki.”
Pernah, memang, pada satu periode kita memanggil presiden kita "Bung.” Kita pun tak memanggil para pejabat seperti perdana menteri, menteri dengan bapak melainkan "Mr.” "Mr. Sjahrir,” "Mr. Amir Sjarifuddin,” "Mr. Mohammad Roem.” Namun periode ini hanya selingan yang amat ringkas dalam sejarah Indonesia. Suharto lantas menjabat presiden dan citra diri yang diangkatnya, Anda tahu, adalah "Bapak Pembangunan.” Panggilannya sehari-hari dalam siaran berita adalah "Pak Harto.”
Dan hal-hal buruk pun terjadi mengikutinya. Yang merebak selanjutnya adalah ia memperlakukan Indonesia seakan properti keluarga. Urusan-urusan negara berjalan dengan asas-asas kekeluargaan dan masalahnya kian pelik tatkala segenap pejabat di bawahnya mencontoh keteladanannya dengan baik. Di mana-mana semua persoalan menjadi bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan—"dibicarakan baik-baik.” Di mana-mana selalu ada "jatah untuk keluarga.”
Dus, ketika hari ini kita mengeluhkan maraknya gurita keluarga dalam dunia politik Indonesia, saya jadi berpikir, barangkali kita yang keliru. Barangkali kita adalah anak-anak dari kebudayaan luar Indonesia yang terlalu muluk-muluk, yang kelewatan naif tak mau menerima, demikianlah memang aturan permainannya. Anda bukan bagian dari keluarga? Anda kurang beruntung. Sesederhana itu.
Jadi, delapan belas tahun setelah Reformasi, apa yang akan terjadi bila Anda menyambitkan tudingan "nepotisme” ke pihak-pihak tertentu yang jelas-jelas melakukannya? Yang tindak-tanduknya memenuhi kata per kata definisi KBBI tentang "nepotisme?”
Mungkin Anda akan dikenai pasal pencemaran nama baik.
Penulis: Geger Riyanto (ap/rzn)
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di Universitas Indonesia. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Koruptor Paling Tamak Dalam Sejarah
Hampir tidak ada diktatur di dunia yang tidak menilap uang negara. Tapi ketika sebagian puas dengan vila atau jet pribadi, yang lain rakus tanpa henti. Berikut daftar koruptor yang paling getol mengumpulkan uang haram
Foto: AP
#1. Soeharto, Indonesia
Selama 32 tahun berkuasa di Indonesia, Suharto dan keluarganya diyakini menilap uang negara antara 15 hingga 35 miliar US Dollar atau sekitar 463 trilyun Rupiah. Jendral bintang lima ini lihai menyembunyikan kekayaannya lewat berbagai yayasan atau rekening rahasia di luar negeri. Hingga kini kekayaan Suharto masih tersimpan rapih oleh keluarga Cendana
Foto: picture alliance/CPA Media
#2. Ferdinand Marcos, Filipina
Ferdinand Marcos banyak menilap uang negara selama 21 tahun kekuasaanya di Filipina. Menurut Transparency International, ia mengantongi setidaknya 10 milyar US Dollar. Terutama isterinya, Imelda, banyak menikmati uang haram tersebut dengan mengoleksi lebih dari 3000 pasang sepatu. Imelda kini kembali aktif berpolitik dan ditaksir memiliki kekayaan sebesar 22 juta USD
Foto: picture-alliance/Everett Collection
#3. Mobutu Sese Seko, Zaire
Serupa Suharto, Mobutu Sese Seko berkuasa di Zaire selama 32 tahun. Sang raja lihai memainkan isu invasi negara komunis Angola untuk mengamankan dukungan barat. Ketika lengser, Mobutu Sese Seko menilap hampir separuh dana bantuan IMF sebesar 12 milyar US Dollar untuk Zaire dan meninggalkan negaranya dalam jerat utang.
Foto: AP
#4. Sani Abacha, Nigeria
Cuma butuh waktu lima tahun buat Sani Abacha untuk mengosongkan kas Nigeria. Antara 1993 hingga kematiannya tahun 1998, sang presiden meraup duit haram sebesar 5 milyar US Dollar atau sekitar 66 trilyun Rupiah. Sesaat setelah meninggal, isterinya lari ke luar negeri dengan membawa 38 koper berisi uang. Polisi kemudian menemukan perhiasan senilai jutaan dollar ketika menggeledah kediaman pribadinya
Foto: I. Sanogo/AFP/Getty Images
#5. Slobodan Milosevic, Serbia
Slobodan Milosevic yang berkuasa di Serbia antara 1989-1997 dan kemudian Yugoslavia hingga 2000 tidak cuma dikenal berkat serangkaian pelanggaran HAM berat yang didakwakan kepadanya, melainkan juga kasus korupsi. Selama berkuasa Milosevic diyakini menilap uang negara sebesar 1 milyar US Dollar atau sekitar 13 trilyun Rupiah.
Foto: picture-alliance/dpa/dpaweb
#6. Jean-Claude Duvalier, Haiti
Selama 15 tahun kekuasaannya di Haiti, Jean-Claude Duvalier tidak cuma bertindak brutal terhadap oposisi, tetapi juga rajin mengalihkan uang negara ke rekening pribadinya di Swiss. Saat kembali dari pengasingan 2011 silam, Duvalier didakwa korupsi senilai 800 juta US Dollar.
Foto: picture-alliance/AP/Dieu Nalio Chery
#7. Alberto Fujimori, Peru
Alberto Fujimori berkuasa selama 10 tahun di Peru. Buat pendukungya, dia menyelamatkan Peru dari terorisme kelompok kiri dan kehancuran ekonomi. Tapi Fujimori punya sederet catatan gelap, antara lain menerima uang suap dan berbagai tindak korupsi lain. Menurut Transparency International ia mengantongi uang haram sebesar 600 juta US Dollar atau sekitar 8 trilyun Rupiah.