Nigeria, produsen minyak terbesar di Afrika, tetapi tidak ada cukup kilang minyak, memaksa negara ini untuk mengimpor bahan bakar. Para ekonom berpendapat pemerintah perlu melakukan diversifikasi ekonomi.
Iklan
Nigeria adalah negara raksasa dalam hal jumlah populasi dan kekuatan ekonominya. Sekitar 220 juta orang tinggal di negara Afrika Barat itu. Bahkan, pada tahun 2050 diperkirakan jumlahnya akan mencapai 375 juta orang.
Negara bagian Lagos saja memiliki hasil ekonomi yang lebih besar dari Kenya. Selain itu, Nigeria menghasilkan Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih besar daripada gabungan semua negara Afrika Barat lainnya.
Produsen minyak mentah, tapi pengimpor minyak sulingan
Masalah utamanya adalah Nigeria hampir sepenuhnya bergantung pada impor yang mahal untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar bensinnya, meskipun negara itu merupakan produsen minyak dan gas terbesar di Afrika.
Nigeria memiliki empat kilang minyak milik negara, tetapi kilang-kilang tersebut menjadi bobrok dan menganggur karena salah urus. Pemerintah Nigeria telah mengeluarkan miliaran dolar sebagai dana subsidi bahan bakar setiap tahunnya.
Pakar sumber daya minyak di Lagos, Muazu Magaji menyebutkan bahwa strategi para politisi masih kurang dalam menangani krisis ekonomi di negaranya. "Ini adalah fakta bahwa pemerintah sendiri belum mengembangkan visi untuk ketahanan energi," kata Magaji kepada tim DW.
Meningkatnya subsidi bahan bakar
Beberapa hari yang lalu, kepala eksekutif perusahaan minyak negara Nigerian National Petroleum Company (NNPC), Mele Kyari, mengatakan bahwa Nigeria akan membutuhkan sekitar $9,1 miliar (sekitar Rp138 triliun) untuk memenuhi kebutuhan subsidi bahan bakarnya tahun ini.
Meroketnya biaya subsidi bahan bakar tersebut, ditambah dengan kerugian ekonomi akibat jatuhnya harga minyak global, membuat Nigeria mendanai anggarannya hanya dengan pinjaman darurat dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Dengan suntikan dana dari Bank Dunia, 5 miliar dolar AS (sekitar Rp75 triliun) telah mengalir ke Nigeria sejak awal pandemi COVID-19 untuk menjaga agar ekonomi terbesar di Afrika ini tidak runtuh.
Perang, Inflasi, Krisis Energi dan Kenaikan Harga Bebani 2022
Inflasi, krisis energi, ketakutan resesi - tahun 2022 ditandai dengan dampak perang Ukraina yang memicu krisis ekonomi hingga ambruknya bursa krypto. Ekonomi global sedang tidak baik, berikut kilas balik ekonomi 2022.
Foto: picture alliance / Inderlied/Kirchner-Media
Harga bahan bakar meroket
Dampak perang yang dilakukan Rusia di Ukraina terasa secara global. Harga bahan bakar di seluruh dunia naik drastis. Di Jerman, harga Solar tembus rekor baru, yakni 2,32 Euro (sekitar Rp38.000) per liter. Sejumlah negara mengambil langkah antisipasi dan penyelamatan, yang terbukti hanya aksi sementara.
Foto: Lennart Preiss/dpa/picture alliance
Krisis suplai chips komputer
Langkah AS dan Eropa melarang sebagian ekspor chips komputer dari Cina berdampak pada sektor industri. Suplai global turun drastis, sejumlah pabrikan mobil menjadwal ulang pasokan ke pelanggan. Samsung laporkan penurunan omset sekitar 30%. Intel memindahkan sebagian produksinya ke Eropa, tapi pabrik di Jerman dengan investasi 17 miliar Euro baru akan berproduksi 2027.
Foto: Intel Corporation
Bank Sentral Eropa naikkan suku bunga
Bank Sentral Eropa untuk pertamakalinya sejak 11 tahun pada bulan Juli menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,5%, yang lebih tinggi dari prediksi. Dengan begitu tingkat suku bunga acuan di Eropa pada bulan itu mencapai 2,5%. Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde mengumumkan, sehubungan dengan inflasi yang tinggi, akan ada kenaikkan berikutnya.
Foto: Kai Pfaffenbach/REUTERS
Harga energi naik drastis
Konsumen di Eropa terutama menjerit, karena harga gas dan tarif listrik naik drastis. Pasokan gas murah dari Rusia diembargo Uni Eropa, gara-gara invasinya ke Ukraina. Konsumen di Inggris, Jerman dan Spanyol harus membayar harga gas dua kali lipat lebih mahal. Toko-toko roti di Jerman juga mengeluh, karena ongkos produksi naik drastis, dan terpaksa menaikkan harga jual.
Foto: Davide Bonaldo/Zuma/picture alliance
Jaringan pipa gas Rusia disabotase
Jaringan pipa gas Rusia Nord Stream 1 dan 2 di laut Baltik dekat Bornholm, Denmark meledak dan mengalami kebocoran. NATO dan Uni Eropa menuding ada sabotase, tetapi akhirnya menghentikan pengusutan. Saat ledakan, jaringan gas sudah lama tidak dioperasikan oleh Rusia untuk memasok gas ke Eropa.
Foto: Danish Defence Command/AP/picture alliance
Bos Tesla Elon Musk akuisisi Twitter
Twitter resmi jadi milik milyarder Elon Musk. Pemilik Tesla ini membeli si burung biru seharga 44 miliar Dollar setelah proses yang alot berbulan-bulan. Setelah pembelian menyusul kekacauan. Musk mengurangi jumlah pegawai separuhnya, pengiklan menyetop order, sejumlah akun kontroversial kembali muncul dan pembersihan akun dengan centang biru dilakukan secara ugal-ugalan.
Foto: Dado Ruvic/REUTERS
Bursa mata uang Krypto bangkrut
Bursa Krypto FTX bangkrut dan pengusahanya Sam Bankman-Fried mengajukan proteksi dari para kreditor. Perusahaan yang oleh investor ditaksir bernilai 32 miliar Dollar itu ambruk hanya dalam hitungan hari. Krisis di platform perdagangan mata uang digital seperti Bitcoin, menarik pasar krypto makin dalam ke pusaran krisis.
Foto: Jonathan Raa/NurPhoto/picture alliance
Inflasi mencapai tingkat tertinggi
Jerman yang jadi lokomotif ekonomi Eropa, mencatat kenaikan harga tertinggi sejak 70 tahun terakhir. Inflasi yang diseret kenaikan harga energi dan bahan pangan, tembus angka 10%. Pemerintahan negara-negara di Asia, Eropa dan Afrika berjuang untuk mengerem inflasi, agar tidak menyeret ke krisis ekonomi yang memicu resesi. Tahun 2023 tingkat inflasi global diprediksi akan tetap tinggi. (as/pkp)
Foto: Boris Roessler/dpa/picture alliance
8 foto1 | 8
Harapan untuk kilang minyak raksasa baru
Tepat di luar Lagos, kilang minyak raksasa Dangote sedang dibangun. Setelah beroperasi, kilang ini akan mampu memasok bensin dan diesel untuk Nigeria. Pemilik kilang ini adalah miliarder Aliko Dangote, orang terkaya di Afrika. Namun, penyelesaiannya telah tertunda selama bertahun-tahun.
Kapasitas gabungan dari keempat kilang yang dimiliki pemerintah Nigeria, menghasilkan kurang lebih 450.000 barel per hari. Sedangkan kilang raksasa Dangote mampu menghasilkan 650.000 barel per harinya.
Para ahli telah lama menyerukan agar Nigeria beralih dari ketergantungannya pada minyak. "Kebijakan diversifikasi sayangnya telah berlangsung selama empat atau lima dekade," kata Magaji. "Kami telah berbicara tentang revolusi besar, ingin mempromosikan sektor pertambangan dan mengembangkan pertanian menjadi cabang yang penting, tetapi kami belum berhasil."
Menurut Magaji, Presiden Muhammadu Buhari memang lebih fokus pada pengembangan pertanian. "Kami telah berubah dari pengimpor beras, salah satu yang terbesar di dunia, menjadi swasembada," kata Magaji. "Namun masih belum cukup untuk mengekspor," tambahnya. (kp/yf)