3 Mei merupakan tanggal penting untuk berefleksi, apakah media sudah memenuhi perannya dalam melayani kebutuhan informasi bagi masyarakat.
Iklan
Salam #DWNesia
Hari Kebebasan Pers Internasional yang diperingati tiap tanggal 3 Mei menjadi momentum bernilai dalam merenungkan kembali praktik kebebasan pers di negara demokratis.
Di tanggal ini, para pegiat media, wartawan dan pemilik media, pemerintahan, penegak hukum serta publik diingatkan kembali akan pentingnya peran media dalam kehidupan bermasyarakat.
Media berperan penting dalam proses pembentukan masyarakat yang lebih dewasa dan modern. Bernard Cohen mengingatkan, pers lebih daripada sekadar penyuplai informasi dan opini. Pers mungkin saja kurang berhasil mendorong orang untuk memikirkan sesuatu, akan tetapi berhasil dalam mendorong masyarakat untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan. Oleh sebab itu amat penting bagi media memberikan informasi berkualitas yang mendorong demokrasi.
Masyarakat di Indonesia kini dimanjakan dengan berbagai format layanan media, mulai dari media cetak, televisi hingga online. Masing-masing memiliki kelebihannya. Dengan berkembanganya era teknologi, media elektronik kini menjadi andalan masyarakat untuk mengetahui apa yang terjadi di sekitar mereka dan berbagai belahan dunia. Dalam ulasannya, jurnalis senior Heru Hendratmoko menyentil soal kualitas media online yang kini menjadi andalan publikalam memperoleh informasi cepat.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Selain menjadi refleksi kebebasan pers, tanggal 3 Mei juga dimaksudkan untuk memberi penghargaan kepada para jurnalis yang sudah mempertaruhkan keselamatannya saat menjalankan profesi. Tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Internasional atau World Press Freedom Day(WPFD) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai pernyataan sikap terhadap Deklarasi Windhoek, prinsip dasar kebebasan pers yang diusung para wartawan Afrika tahun 1991. Lewat opininya dengan gamblang Verlyana Hitipeuw mengritik bagaimana pemilik media bahkan memberangus kebebasan pers itu sendiri. Dalam opininya, ia menjelaskan arti pentingnya hari kebebasan pers, bukan hanya bagi pelaku media, melainkan juga bagi masyarakat.
Topik lain yang juga hadir kali ini adalah sejauh mana keseriusan pemerintah Indonesia dalam pengungkapan kasus-kasus Hak Asasi Manusia di tanah air. Salah satu kasus HAM yang perlu dicermati adalah pengungkapan kasus pembunuhan tokoh HAM Munir Said Thalib.
12 tahun lamanya, pemerintah belum mau membuka secara transparan hasil penyelidikan tim pencari fakta kasus Munir. Kita menolak lupa, kita melawan lupa. Istri mendiang Munir, Suciwati, dalam ulasannya mengingatkan kembali, bahwa kasus Munir belum terselesaikan.
Sementara, dalam opininya, jurnalis DW Hendra Pasuhuk mengingatkan bahwa kasus pembunuhan Munir bisa menjadi kunci pembuka dalam pengungkapan kasus-kasus HAM lainnya. Dari sekian banyak kasus HAM di tanah air, dapat dikatakan, kasus Munir adalah salah satu yang paling baik dan lengekap terdokumentasi. Sehingga seharusnya tak sulit bagi pemerintah maupun penegak hukum menyelesaikan kasus ini.
Kami tunggu tanggapan Anda di Facebook DW Indonesia dan twitter @dw_indonesia. Seperti biasa, sertakan tagar #DWNesia dalam mengajukan pendapatmu.
Salam #DWNesia
Jokowi Dikejar Dosa HAM Hingga ke Eropa
Presiden Joko Widodo membidik kerjasama bisnis untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tapi betapapun sang presiden berusaha menghindar, ia tetap dikejar dosa HAM masa lalu
Foto: Reuters/H. Hanschke
Sambutan Kenegaraan
Jerman mempersiapkan upacara kenegaraan buat menyambut Presiden Indonesia Joko Widodo. Di jantung Eropa dia menyisakan waktu tidak barang sehari. Jokowi terutama membidik kerjasama pendidikan kejuruan buat calon tenaga kerja muda. Dengan cara itu sang presiden ingin menempatkan kualitas sumber daya manusia sebagai pondasi pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Foto: DW/R.Nugraha
Dikejar Dosa
Namun Jokowi tidak sepenuhnya bisa melepaskan diri dari isu Lingkungan dan Hak Azasi Manusia. Selama kunjungannya di Berlin sang presiden diiringi aksi demonstrasi berbagai kelompok, antara lain organisasi lingkungan Rettet den Regenwald. Sementara International People Tribunal 65 menyerahkan petisi yang berisikan tuntutan kepada pemerintah untuk menyelesaikan isu HAM masa lalu.
Foto: DW/R.Nugraha
Sentilan Sang Pendeta
Agenda serupa juga menantinya di Istana Bellevue, saat bertemu dengan Presiden Jerman, Joachim Gauck. Gauck yang bekas pendeta itu membahas hak minoritas dan hubungan antar agama di Indonesia. Ia juga menyentil sang presiden ihwal hukuman mati. Jokowi berkilah Indonesia sedang dalam darurat narkoba
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Berguru ke Jerman
Setelah bertemu Gauck, Jokowi bergegas menemui Kanselir Angela Merkel yang terpaksa menunggu selama tiga menit di kantor kekanseliran di Berlin. Bersama perempuan paling berkuasa di Bumi itu Jokowi membahas berbagai kerjasama ekonomi, terutama pendidikan vokasi dan juga isu terorisme.
Foto: DW/R.Nugraha
Terjebak Isu HAM
Namun serupa dengan Gauck, Merkel turut membahas "kasus HAM di Indonesia, terutama di Aceh dan Papua." Soal isu pembantaian 1965, Jokowi akhirnya angkat bicara ketika sudah tiba di London. "Saya belum memutuskan apa-apa," ucapnya membantah klaim Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Panjaitan.
Foto: Reuters/H. Hanschke
Bergegas Mengejar Pertumbuhan
Tanpa membuang banyak waktu presiden beserta rombongan langsung terbang ke London, lalu Belgia dan Belanda dengan selang waktu satu hari. Di Eropa Jokowi membidik perjanjian perdagangan bebas yang ia canangkan akan selesai dalam dua tahun. Selain kerjasama pendidikan vokasi dengan Jerman, Jokowi juga menggandeng Inggris untuk membenahi industri kelautan.