1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nobel Perdamaian bagi Obama dan Kebangkrutan Yunani

10 Desember 2009

Sejumlah pihak berpendapat, Presiden Obama belum layak menerima hadiah Nobel perdamaian. Selain itu, kebangkrutan Yunani tak seharusnya menjadi tanggungan seluruh Uni Eropa.

Presiden Obama menerima penghargaan Nobel perdamaian di OsloFoto: AP

Harian Inggris The Times yang berhaluan konservatif mengomentari pemberian hadiah Nobel perdamaian kepada presiden AS Barack Obama dengan skeptis:

"Sungguh ironis, bahwa seorang presiden yang pekan lalu memutuskan pengiriman 30.000 tentara ke kawasan perang minggu ini dianugerahi penghargaan Nobel perdamaian. Komite hadiah Nobel mengetahui bahwa Obama bersikap ramah pada sejumlah pihak yang tidak menyenangkan. Di Myanmar, keramahan itu berujung pada sejumlah kunjungan dan dialog, tapi tidak berhasil menggerakkan junta militer untuk membebaskan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi, di Cina, keramahan Obama memberikan isyarat tepat terkait perubahan iklim, tapi tidak dalam hal hak asasi manusia. Dan di Rusia, keramahan AS hanya membuat Rusia bersikap sedikit lebih ramah. Beberapa uluran tangan ini mungkin membuat dunia menjadi sedikit lebih aman, tapi secara keseluruhan ini tidak pantas dihargai dengan hadiah Nobel perdamaian. Jika Obama ingin menunjukkan bahwa ia layak menerimanya, ia harus mengawinkan kata-kata yang ramah dengan tindakan politik yang tegas."

Harian Perancis L'Independant" menulis:

"Selain bagi fans setianya, Obamania kini mulai pudar. Aura yang menyelimuti lelaki kulit berwarna pertama yang berhasil menjadi presiden AS kini tampak suram. Ini bukan merupakan kesalahannya. Dengan memberikan penghargaan Nobel perdamaian kepada Obama, komite Nobel turut melengserkan Obama dari takhtanya. Mengapa? Karena komite ini salah paham dan memahami niat sebagai tindakan nyata. Komite Nobel menganugerahkan penghargaan yang paling bergengsi kepada seseorang yang belum berhasil membuktikan apa-apa."

Harian Perancis Le Monde yang terbit di Paris menyoroti krisis utang yang dihadapi Yunani.

“Sebelum mata uang Euro diciptakan, pimpinan Bank Sentral Eropa yang bermarkas di Jerman memperingatkan akan risiko yang muncul dari keanggotaan negara-negara Eropa Selatan. Tapi peringatan itu tidak diindahkan. Perhitungan politik mengalahkan kepentingan ekonomi. Kawasan pengguna mata uang Euro menerima Yunani. Sekarang harus diakui bahwa argumen yang saat itu diajukan pihak Jerman, yaitu kurangnya persaingan, lemahnya industri dan struktur yang kadaluarsa, ternyata tidak salah. Secara teori, perjanjian Maastricht melarang pemberian bantuan kepada negara kawasan pengguna mata uang Euro yang bangkrut. Tapi pada kenyataannya, tidak jelas bagaimana negara Eropa Utara dan Bank Sentral Eropa bisa membiarkan negara anggota bangkrut, tanpa memunculkan suatu krisis kepercayaan terhadap mata uang Euro.“

Harian Austria Die Presse yang terbit di Wina mengomentarí ancaman kebangkrutan yang dihadapi Yunani:

“Dana yang harus dikucurkan cukup besar sehingga menghadapkan Uni Eropa pada suatu dilema: apakah Uni Eropa harus turun tangan dan membantu Yunani atau berdiam diri saja dan mengamati apakah negara itu berhasil keluar dari lubang utang dengan sendirinya? Tentu, Uni Eropa dapat merujuk pada kesepakatan Maastricht yang dengan jelas melarang anggota mengalihkan utangnya pada negara Uni Eropa lainnya.

Alasannya sangat jelas: Mengapa Spanyol, Jerman atau warga Austria harus menanggung akibatnya jika negara lain tidak mampu mengurus anggarannya? Masalah lainnya adalah siapa yang akan menjamin bahwa negara anggota lainnya menjaga agar defisitnya tidak melambung kalau pada akhirnya Uni Eropa turun tangan dan menyelamatkannya dari kebangkrutan?“

(ZER/HP/dpa/afp)