1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Nonton di Stadion Bukan Akhir Perjuangan Perempuan Iran

Kalika Mehta
20 Desember 2023

FIFA menyebut izin yang diberikan kepada perempuan Iran untuk menyaksikan pertandingan sepak bola di stadion sebagai "kemajuan." Bagi aktivis Maryam Shojaei ini hanya kemenangan kecil dalam perjuangan bagi persamaan hak.

Iran Teheran Weibliche Fans auf der Tribuene
Foto: Mohammad Karamali/DeFodi Images/picture alliance

Untuk pertama kalinya sejak revolusi Iran 44 tahun lalu, perempuan diizinkan hadir dalam pertandingan di Teheran.

Presiden FIFA Gianni Infantino menyebut kehadiran 3.000 perempuan penggemar sepak boladi Azadi Stadium untuk menonton pertandingan seri antara klub sepak bola Persepolis dan Esteghlal Kamis lalu sebagai kemajuan.

Namun menurut aktivis Maryam Shojaei yang mendirikan gerakan #Noban4Women, ini sebenarnya jauh dari kemenangan yang dirayakan Infantino serta FIFA

"Memang ini untuk pertama kalinya sejak revolusi, perempuan bisa datang ke stadion untuk menonton pertandingan," kata Shojaei dalam wawancara dengan DW.

"Hal yang lebih penting adalah, Federasi Sepak Bola Republik Islam Iran (FFIRI) tetap tidak mau melepas kontrol sepenuhnya.

"Bagi saya ini masalah ego. Walaupun mereka berjanji kepada FIFA bahwa mereka akan memperbolehkan perempuan hadir secara bebas, tapi mereka sepertinya tetap tidak mau menerima kekalahan," katanya.

Jika orang bisa memberikan 3.000 tiket, berarti mereka bisa memberikan lebih banyak lagi di stadion yang kapasitas penontonnya 78.000 orang. Demikian dikatakan Shojaei.

"Ini bukan kemenangan" 

Bagi para perempuan yang menonton pertandingan di stadion, itu momen spesial yang berjalan lancar.

Ini kontras besar dibanding Maret 2022, ketika perempuan dilarang hadir dalam pertaningan kualifikasi Piala Dunia pria antara Iran dan Lebanon in Mashhad, dan beberapa video kemudian muncul dan menunjukkan pendukung perempuan disemprot merica di luar stadion.

Walaupun diizinkan menonton di stadion di Teheran, perempuan dipaksa masuk dari pintu berbeda dan duduk di bagian yang dipisah dari pria.

"Saya tidak menyuarakan kemenangan," kata Shojaei. Tentu ini momen yang menyentuh perasaan, dikatakan Shojaei lagi. "Saya melihat foto seorang perempuan tua yang menutupi tubuhnya dengan bendera tim favoritnya. Setelah beberapa dasawarsa akhirnya dia boleh menonton di stadion."

"Tapi kami ingin sesuatu yang lazim di dunia, bahkan di negara Muslim Arab seperti Arab Saudi dan lainnya, di mana tiket bisa dijual merata (baik kepada pria maupun perempuan)."

Ini antara lain juga agar seorang anak perempuan kecil bisa menonton pertandingan bersama ayahnya, kata aktivis itu.

Aksi protes di Roma akibat tewasnya Jina Mahsa Amini di tahanan polisi Iran (29/10/2022)Foto: Andrea Ronchini/NurPhoto/picture alliance

Simpati bagi yang tidak bisa hadir

Shojaei mengungkap, walaupun upayanya dan kelompk aktivis lainnya sudah menghasilkan buah, baru tiga bulan lalu, dia sudah menulis surat ke FIFA untuk menegakkan peraturan yang ditetapkan FIFA sendiri.

2019 badan urusan sepak bola sudah menyerukan kepada pemerintah Iran untuk mengizinkan perempuan memasuki stadion, sesuai peraturan yang sudah diterima FFIRI sebagi anggota FIFA. Alternatifnya adalah larangan untuk ikut kompetisi internasional.

Walaupun di atas kertas FFIRI mematuhi peraturan, mereka terus mencari alasan untuk tidak mengikutsertakan pendukung perempuan dalam pertandingan sepak bola. Ini sulit diterima oleh Shojaei.

Bagi dia pribadi, itu bukan hanya tentang olah raga, melainkan menuntut hak.

"Melihat kaum perempuan yang masuk ke stadion bagi saya adalah pengalaman yang manis sekaligus pahit, karena saya juga ingat mereka yang sudah meninggal seperti Jina Mahsa Amini," kata Shojaei.

"Ada pula yang lain, yang harus membayar mahal, misalnya seorang perempuan yang berada di pengasingan di Turki. Itu hanya karena dia berusaha masuk stadion beberapa kali. Dia harus meninggalkan Iran, seolah dia melakukan tindak pidana!"

Indikasi perubahan di Iran?

Kecaman internasional terhadap perlakukan atas perempuan sudah memudar lebih dari setahun sejak Jina Mahsa Amini meninggal di tahanan setelah ditangkap "polisi moral" Iran karena katanya tidak mengenakan hijabnya dengan benar.

Namun demikian, kata Shojaei, perempuan terus akhitf dalam perlawanan, walaupun tidak terlihat oleh mata dunia.

Ia mengambil contoh seorang perempuan muda yang mengenakan celana olah raga, sweater lengan panjang dan topi wol dan rambutnya yang tergerai.

"Anak perempuan di Iran yang bukan aktivis, hanya penggemar sepak bola, datang ke stadion untuk melihat pertandingan," kata Shojaei, dan menekankan bahwa larangan datang ke stadion sepak bola hanya sebagian dari pergerakan luas berupa perlawanan sipil.

Isu lain adalah kewajiban mengenakan hijab, yang menurut Shojaei, tidak ingin dilepas oleh pemerintah Iran, karena takut itu akan jadi pembuka pintu bagi permintaan lebih banyak lagi dari kaum perempuan.

"Jika orang berada di jalanan Iran, pasti akan melihat perlawanan ini. Ada jutaan perempuan Iran di berbagai pojok negeri, yang tidak menutupi rambut mereka lagi," Shojaei menggambarkan itu sebagi "salah satu kebahagiaan dalam hidup saya."

"Saya jadi saksi sejarang, melihat para remaja muda memberikan saya energi lebih banyak dan membuat saya bangga menjadi perempuan Iran." (ml/hp)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW? Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!