1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikAmerika Serikat

Nonton Film Ternyata Bisa Ubah Sikap Politik

24 Oktober 2024

Studi ilmiah terbaru menyebut nonton film tentang seorang laki-laki yang menerima ketidakadilan dapat meningkatkan empati terhadap para napi dan meningkatkan dukungan reformasi sistem peradilan pidana di AS.

Salah satu adegan di film "Just Mercy"
Penelitian mencari tahu reaksi penonton terhadap film "Just Mercy" dan cara film biopik ini mengubah pandangan politik merekaFoto: Warner Bros./courtesy Everett Collection

Seni bertutur sejatinya dapat mengubah pikiran, tak terkecuali sebuah film. Sejak adanya gambar bergerak pada tahun 1980-an, sineas telah menggunakan trik sinema untuk mengubah persepsi dan kompas moral masyarakat.

Baru-baru ini, ilmuwan di Amerika Serikat (AS) telah mengukur pengaruh menonton film dalam mengubah kemampuan seseorang untuk memahami emosi dan posisi moral mereka dalam sistem peradilan pidana.

Penelitian ilmiah yang diterbitkan pada 21 Oktober 2024 di jurnal PNAS ini menemukan bahwa menonton film bergenre drama dokumenter tentang upaya pembebasan seorang terdakwa hukuman mati akibat tidak mendapat peradilan yang adil dapat meningkatkan empati terhadap orang-orang dipenjara dan dukungan untuk mereformasi sistem peradilan pidana di AS.

"(Penelitian kami) menunjukkan kalau film ini membuat peserta lebih bersedia atau lebih mampu memahami manusia lainnya, terlepas dari stigma masyarakat terhadap mereka. Hal ini lebih dari sekadar perasaan sesaat, melainkan sebuah kemampuan,” kata Ilmuwan Kognitif di Universitas Stanford AS, Marianne Reddan, yang ikut memimpin penelitian tersebut.

"Riset ini menunjukkan kepada kita bahwa mengekspos pengalaman pribadi seseorang yang menjalani kehidupan yang berbeda dengan kehidupan mereka sendiri sangat penting untuk pengembangan komunitas dan struktur politik yang sehat.”

Drama dokumenter ‘Just Mercy' tingkatkan empati

Pada tahun 1986 seorang penebang kayu di Alabama yang bernama Walter McMillian (45), ditangkap atas tuduhan pembunuhan. Laki-laki dengan kulit berwarna itu tidak bersalah, dia menghadiri pertemuan keluarga saat kejahatan itu terjadi. Lantaran adanya kesaksian palsu, dia divonis bersalah. Selama enam tahun dia berstatus sebagai terdakwa hukuman mati, sampai akhirnya pengadilan membatalkan vonis tersebut.

Kemudian kisah nyata ini diangkat dalam film biografi berjudul "Just Mercy” yang dirilis pada tahun 2019 dan dibintangi oleh pemenang Oscar, Jamie Foxx, yang berperan sebagai McMillian.

Setelah menonton "Just Mercy”, para responden mengalami peningkatan skor tes empati terhadap laki-laki yang pernah dipenjara. Dampak ini ditemukan pada partisipan yang berhaluan politik liberal dan konservatif.

Dalam “Just Mercy,” Jamie Foxx berperan sebagai Walter McMillian, seorang terpidana mati yang dituduh melakukan pembunuhanFoto: Warner Bros./courtesy Everett Collection

"Penelitian ini mengukur lebih dari sekadar perasaan empati, tetapi juga kapasitas responden untuk memahami emosi orang yang pernah dipenjara, yang belum pernah mereka temui sebelumnya,” kata Reddan.

Menonton film ini juga meningkatkan dukungan untuk reformasi peradilan pidana, misalnya gagasan penggunaan uang pajak untuk mendanai program pendidikan di penjara atau meningkatkan perlawanan untuk menolak hukuman mati.

Para peneliti juga menemukan bahwa orang-orang yang menonton film tersebut, 7,7% lebih berpotensi menandatangani petisi untuk mendukung reformasi peradilan pidana dibandingkan dengan partisipan dalam kelompok kontrol.

"Studi ini menggarisbawahi pengaruh konten audiovisual dalam membentuk opini publik dan berpotensi memotivasi tindakan kolektif. 'Just Mercy' tidak hanya mengubah persepsi orang, tapi juga perilaku mereka,” kata seorang peneliti di bidang ilmu kognitif dan studi film di University of Jyvaskyla di Finlandia, Jose Cañas Bajo, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Para peneliti menemukan bahwa 'Just Mercy' mengubah persepsi masyarakat terhadap sistem peradilan pidana di Amerika SerikatFoto: Warner Bros./courtesy Everett Collection

Film, emosi dan polarisasi

Cañas Bajo mengatakan bahwa kebaruan dari penelitian ini terletak pada metode untuk mengukur bagaimana film dapat mengubah persepsi dan sikap penonton, khususnya bagaimana film "Just Mercy” dapat berfungsi sebagai ajakan untuk bertindak.

Gagasan tentang sebuah film dapat mengubah pikiran bukanlah hal yang baru. "Para sineas itu layaknya seorang pesulap. Mereka telah meneliti bagaimana cara mempengaruhi persepsi dan emosi penonton dengan trik penyuntingan sejak masa-masa awal film,” katanya.

Alfred Hitchcock mendemonstrasikan efek ini dengan memfilmkan adegan seorang perempuan dengan seorang anak, yang kemudian dipotong ke seorang laki-laki yang tersenyum, tampak simpatik. Namun jika adegan seorang wanita dan anaknya diganti dengan seorang perempuan yang mengenakan bikini, kata Hitchcock, senyum laki-laki itu tampak bejat.

Di Jerman, Ilegal kalau Tidak Bantu Orang!

00:29

This browser does not support the video element.

Cañas Bajo menjelaskan bahwa para sineas kerap bermain dengan pengetahuan kalau film adalah ruang yang aman, sehingga para penonton dapat merasakan emosi yang biasanya tidak mereka rasakan. Oleh karena itu, kata Cañas Bajo, para sineas punya tanggung jawab terhadap para penontonnya ketika bercerita.

Dalam penelitian ini, para pembuat film "Just Mercy” menggunakan keterampilan mereka untuk mempengaruhi empati penonton terhadap seorang laki-laki yang dipenjara dengan tuduhan pembunuhan yang tidak pernah dilakukannya. Film ini digunakan sebagai alat untuk perubahan sosial yang progresif dalam sistem peradilan pidana.

Namun para pembuat film dapat menggunakan trik yang sama untuk menciptakan antipati, kebalikan dari empati, terhadap orang-orang yang mereka gambarkan dalam citra buruk. Propaganda lewat film telah lama digunakan untuk merendahkan martabat manusia dan membenarkan kekerasan atau perang atau untuk mendorong narasi palsu dan pseudosains.

"Beberapa film dokumenter tentang kejahatan memicu antipati terhadap para pelaku, yang dapat memicu tuntutan untuk tindakan yang lebih keras, termasuk hukuman mati,” ungkap Cañas Bajo.

Mantan terpidana mati yang dibebaskan, dari kiri, Randall Padgent, Gary Drinkard dan Ron Wright, termasuk di antara hampir seratus demonstran yang berkumpul di gedung DPR negara bagian Montgomery, Alabama, Selasa (23/01/2024) untuk meminta Gubernur Kay Ivey menghentikan rencana eksekusi Kenneth Eugene Smith.Foto: Mickey Welsh/The Montgomery Advertiser/AP Photo/picture alliance

Berapa lama rasa empati bertahan?

Ada sebuah pertanyaan terbuka dari penelitian ini tentang berapa lama perasaan empati bertahan setelah menonton. Apakah menonton satu film saja cukup untuk menciptakan perubahan yang bertahan lama pada pandangan politik atau moral?

Reddan mengatakan bahwa timnya saat ini sedang melakukan penelitian baru tentang daya tahan efek ini selama tiga bulan.

"Bukti awal menunjukkan beberapa efek ini bertahan setidaknya selama tiga bulan. Kami juga sedang mengumpulkan data pencitraan saraf dari paradigma ini untuk memahami bagaimana film mempengaruhi pemrosesan empati di tingkat otak,” kata Reddan.

Namun, secara terpisah Cañas Bajo menjelaskan kesulitannya adalah menguraikan efek dari satu film.

Ketika menonton sebuah film, manusia selalu membandingkannya dengan ingatannya sendiri dan film-film lain yang mungkin pernah ditonton. Film tidak harus dibuat oleh orang yang sama untuk dapat terhubung secara emosional satu sama lain. Hal itu terjadi di dalam kepala para penonton.

Reddan mengatakan bahwa inilah alasan mengapa penonton harus memperhatikan jenis media yang dikonsumsinya.

"Media yang sebagian besar kita konsumsi untuk hiburan memiliki dampak yang signifikan terhadap bagaimana kita berhubungan satu sama lain,” pungkasnya.

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

 

Sumber: Reddan, MC., et al. Film intervention increases empathic understanding of formerly incarcerated people and support for criminal justice reform. Proceedings of the National Academy of Sciences, 2024; 121 (44)

DOI: 10.1073/pnas.2322819121