Pementasan Unik dan Melelahkan dari Ajang Ruhrtriennale
18 Oktober 2019Dalam blog sebelumnya, sudah saya ceritakan apa itu Ruhrtriennale, suatu festival seni yang berlangsung pada musim panas hingga musim gugur mulai dari Agustus hingga Oktober di Jerman, tepatnya di kawasan Ruhr di negara bagian Nordrhein-Westfalen (NRW).
Salah satu pementasan yang agak melelahkan adalah Ensaio Para Uma Cartografia, yang terjemahan bebasnya: Upaya Membuat Sebuah Kartografi. Pementasan ini tidak bisa didefinisikan dalam suatu genre.
12 wanita muda tampil mempelajari tarian yang diiringi musik dari Maurice Ravel yang sangat terkenal: Bolero. Di bagian kedua, penari memainkan sebagian Symphony nr. 7 flat major Op. 92 II. Allegretto karya Beethoven, yang terdengar sangat miring karena dimainkan dengan biola dan celli. Pada bagian ketiga mereka menginterpretasikan karya Strawinsky dengan tarian ballet. Performance berlangsung 150 menit tanpa jeda.
Musik Bolero yang dikumandangkan lewat pengeras suara bukanlah konser live, tapi bagian dari latihan suatu orkester. Sehingga terdengar juga kesalahan dari para musisi yang harus mengulangnya berkali-kali. Sementara penari di atas panggung pun harus menarikannya berulang-ulang. Pada saat mereka mencoba memainkan biola dan cello untuk karya Beethoven, terdengar benar-benar seperti orang-orang yang baru belajar instrumen musik.
Di bagian akhir, musik Bolero diputar secara keseluruhan, tanpa ulangan. Kali ini para penari yang sebelumnya formasi posisi segi tiga tampil dalam formasi chorus line, yaitu berderet dalam satu garis dan berdiri sangat dekat satu sama lain. Dari bagian belakang panggung, mereka maju selangkah ke arah penonton.
Di sini penonton diajak melihat proses pementasan mulai dari awal sekali, artinya suatu hasil karya itu mengalami proses yang hampir membosankan dan melelahkan. Namun itulah proses dalam kehidupan, yang tidak selalu membuahkan hasil yang memuaskan dengan cepat.
Di sini juga terlihat bagaimana para penari mengalami kelelahan dengan latihan yang intensif. Mereka sampai berkeringat, tapi tetap berlatih dan menjaga disiplin. Dalam interview usai pementasan, sutradara dan artis Mónica Calle menerangkan bahwa performer yang tampil memang bukan artis sebenarnya, mereka bergabung dengan grup ini di Portugal.
Mónica Calle ingin menunjukkan pada penonton bahwa hidup sebagai artis, penari atau musisi juga menjalani proses yang menyakitkan, dengan latihan berulang-ulang dan hanya itu-itu saja untuk mendapatkan hasil sempurna. Semua yang terlibat dengan orkester, grup penari atau profesi seni lainnya harus tunduk pada sistem yang berdisiplin tinggi.
Dengan pementasan ini kita jadi bisa membayangkan betapa sulit, melelahkan dan penuh emosi, tapi juga perlu disiplin yang tinggi dari setiap orang untuk mendapatkan hasil yang tinggi. Para pemeran panggung adalah cermin kehidupan yang sebenarnya bagi penonton.
Oh ya, saya lupa menuliskan bahwa mereka menari dan bermain di atas panggung sama sekali tanpa busana. Mónica Calle ingin bahwa dalam grup ini tidak ada perbedaan sama sekali, kulit putih atau hitam, gemuk atau kurus, kaya atau miskin, semua sama. Jika setiap individu mempunyai bakat, maka itulah yang paling penting untuk mencapai hasil terbaik. Mereka juga tidak menguasai instrumen musik seperti biola atau cello, tapi hanya pernah belajar kurang lebih satu tahun. Hanya sebagian saja yang menguasai ballet klassik. Ketika memasuki panggung, seluruh performer berpakaian lengkap dengan sepatu. Pada saat musik pertama berkumandang, mereka membuka pakaiannya satu-persatu di atas panggung.
Pementasan Ensaio Para Uma Cartografia membingungkan, tapi juga menarik, karena misinya memang lain dari pertunjukkan pada umumnya. Proyek ini menggabungkan musik dengan tarian serta performance. Tanpa dialog ataupun monolog. Suatu pementasan kontemporer. Festival Ruhtriennale memang selalu mengejutkan dengan program yang (ultra) modern.
*Gratcia Erlemeier-Siahaan adalah guru bahasa Inggris dan Jerman dan seorang pecinta musik klasik.
**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.