1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAsia

Normalisasi Arab Saudi dan Iran Rugikan Israel?

5 Mei 2023

Pulihnya hubungan antara Iran dan Arab Saudi memperkuat keraguan terhadap masa depan Perjanjian Ibrahim dan proses rekonsiliasi antara negara-negara Arab dan Israel. Analisa oleh Kersten Knipp

Menteri Luar Negeri Cina, Iran dan Saudi: Wang Yi, Ali Shamkhani dan Musaad bin Mohammed Al Aiban
Perjanjian damai Iran dan Saudi atas mediasi CinaFoto: CHINA DAILY via REUTERS

Hari-hari ini, Arab Saudi sibuk merombak kebijakan luar negerinya, terutama setelah bersepakat damai dengan Iran yang dimediasi Cina.

Tidak hanya Raja Salman mengundang Presiden Iran Ebrahim Raisi ke Riyadh, Saudi juga dalam tempo kilat memulihkan hubungan dengan rejim Bashar Assad di Suriah.

Manuver diplomasi Saudi berlanjut dengan mengundang Presiden Badan Otonomi Palestina, Mahmoud Abbas. Pada saat yang sama, harian Times of Israel melaporkan kunjungan delegasi tingkat tinggi Hamas ke Saudi, antara lain Ismail Haniya, kepala Politbiro Hamas.

Kunjungan itu tidak diakui baik oleh Hamas dan Saudi. Padahal, Riyadh sebelumnya sempat diisukan akan memulihkan hubungan dengan Israel.

Surutnya Perjanjian Ibrahim

Karena berbeda dengan negara Teluk lain, Arab Saudi tidak menandatangani Perjanjian Ibrahim. Proses yang dicanangkan bekas Presiden AS Donald Trump itu seyogyanya mendamaikan Israel dan jiran Arab.

Oleh sebagian analis, pembentukan aliansi antara negara-negara Arab dan Israel dipahami sebagai upaya mengisolasi Iran.

Meski memperluas kerja sama keamanan dengan Israel, Arab Saudi sejauh ini bersikeras menolak menandatangani Perjanjian Ibrahim. Sebab itu pemerintah Israel diyakini mengkhawatirkan kedekatan baru antara Saudi dan Iran.

"Misi mengisolasi Iran terlihat bukan lagi prioritas bagi sebagian negara Arab," kata pakar Timur Tengah Jerman, Peter Lintl. Di sisi lain, pemerintahan Benjamin Netanyahu terkesan belum memiliki jawaban untuk merespons perkembangan tersebut.

"Perkara terbesar adalah pendekatan antara Saudi dan Hamas. Perjanjian Ibrahim seharusnya tidak cuma mengisolasi Iran, tetapi juga sekutunya di Jalur Gaza atau Suriah. Sasaran itu tidak hanya meleset, tapi bahkan berpotensi memperkuat Hamas", kata Lintl menambahkan.

Berimbas ke negara lain

Bagi Arab Saudi, satu-satunya keuntungan normalisasi dengan Israel adalah jika AS mau memberikan imbal balik dengan bantuan militer atau transfer tekologi nuklir sipil. Dengan mendekat ke Teheran, Riyadh pun melenyapkan motivasi terbesar bagi Israel untuk berdamai dengan jiran Arab, yakni isolasi terhadap Iran.

"Hal ini berpotensi berimbas ke negara lain di kawasan", tulis pengamat politik Timur Tengah di AS, Sarah Zaaimi. Bahkan negara-negara yang sudah berdamai dengan Israel bisa mengkaji ulang kebijakan luar negerinya.

"Kita bisa berspekulasi, bahwa negara-negara seperti Mesir, Bahrain dan Maroko akan mengikuti contoh Arab Saudi dan memperbaiki relasinya dengan Iran," kata Zaaimi.

Kedekatan baru antara Saudi dan Hamas juga sepatutnya dikhawatirkan Israel. Hamas sempat berseteru dengan Iran di Suriah dan kini bisa kembali mendekat. "Bagi Israel situasinya sangat mengancam."

Sebaliknya, eskalasi konflik di Yerusalem kian memicu rasa tidak senang para pemimpin Arab. Situasi ini tidak dipermudah oleh narasi radikal yang digaungkan pejabat pemerintah Israel, seperti ucapan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich yang menolak mengakui adanya bangsa Palestina.

"Pernyataan dan gestur semacam itu sangat provokatif," kata Lintl. Menurutnya, Perjanjian Ibrahim "memang tidak akan dicabut, tapi dibatasi" oleh negara-negara Arab.

rzn/as

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya