1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Normalisasi UEA-Israel, Arab Saudi Tolak Disebut Pengkhianat

13 September 2020

Pekan mendatang, hubungan Israel-Uni Emirat Arab akan resmi pulih. Sejauh ini belum ada negara lain di kawasan Teluk yang segera menyusul berbaikan dengan Israel, termasuk Arab Saudi.

Perempuan melakukan protes pemulihan hubungan Uni Emirat Arab dan Israel di Gaza, Palestina
Protes pemulihan hubungan Uni Emirat Arab dan Israel di Gaza, PalestinaFoto: picture-alliance/Zuma/M. Issa

Khotbah Jumat yang dibacakan oleh Imam Masjid Agung Mekkah, Abdulrahman al-Sudais, di Arab Saudi pekan lalu sempat menghebohkan beberapa bagian dunia Arab dan Islam. Dalam khotbahnya, imam tersebut mengampanyekan toleransi terhadap non-Muslim, ia juga secara positif menceritakan hubungan Nabi Muhammad dengan kaum Yahudi.

Namun, oleh banyak orang, khotbah tersebut dianggap membawa pesan politik tersembunyi. Pasalnya, negara tetangga mereka yaitu Uni Emirat Arab baru saja mengumumkan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Sebuah langkah yang dipandang kontroversial.

"Pengkhianatan di mimbar suci"

Jejaring media sosial di jazirah Arab lantas dipenuhi oleh kritik. Kata-kata yang datang dari khotbah tersebut dituduh memiliki agenda untuk mempersiapkan landasan bagi Arab Saudi dalam rangka ikut menormalisasi hubungannya dengan Israel. Ini adalah "normalisasi dan pengkhianatan dari mimbar suci," kritik cendekiawan Islam asal Mesir, Mohammed al-Sagheer, di Twitter.

Memang telah lama terjadi sejumlah perubahan kecil dan cukup spesifik dalam hubungan Israel-Saudi. Di awal September, Saudi mengumumkan bahwa negaranya akan membuka wilayah udara bagi penerbangan antara Israel dan UEA, menyusul kesepakatan antara UEA dan Israel sebelumnya. Lalu pada Maret 2018, Riyadh juga memberikan izin maskapai Air India untuk menggunakan wilayah udara Saudi bagi penerbangan langsung antara New Delhi dan Tel Aviv. 

Penerbangan perdana pesawat yang menghubungkan Israel dan Uni Emirat Arab pada 31 Agustus 2020.Foto: Reuters/N. Elias

Namun, jika melihat pengumuman resmi dari Riyadh, saat ini hanya terdapat sedikit bukti bahwa Arab Saudi akan segera menyusul UEA dalam menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Sebelumnya, dalam sebuah percakapan telepon dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Raja Salman menyerukan adanya solusi yang "adil" bagi Palestina. Menteri Luar Negeri Faisal bin Farhan pun menegaskan dalam pernyataan berbahasa Arab di Twitter pada awal September bahwa: "Posisi kerajaan dalam kaitannya dengan perjuangan rakyat Palestina adalah tegas."

Sertakan juga Palestina

Riyadh kini tampaknya lebih berhati-hati dalam mengatur nada diplomasinya. Arab Saudi tidak ingin dipandang oleh para kritikus dan lawan politiknya sebagai ‘pengkhianat’ perjuangan rakyat Palestina dan klaim umat muslim terhadap kota suci Yerusalem.

Selama ini Saudi dipandang sebagai penjaga situs-situs bersejarah muslim dan karena itu memiliki pengaruh yang jauh lebih besar. Financial Times mengutip seorang pejabat yang tidak ingin disebutkan namanya yang mengatakan, "UEA lebih kecil dan tidak memiliki elemen religius (seperti Saudi)." Arab Saudi tampaknya khawatir akan kemungkinan datangnya cibiran dari dunia muslim. 

Saudi juga terlihat enggan untuk segera mengikuti contoh Emirat, demikian juga negara lain di kawasan Arab, ujar Hugh Lovatt, pakar Timur Tengah di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri (ECFR). "Dapat diasumsikan bahwa penolakan Arab Saudi saat ini untuk berhubungan langsung dengan Israel adalah alasan, atau setidaknya menjadi dalih, bagi negara-negara Teluk lain seperti Bahrain atau Oman untuk mengurangi ekspektasi Amerika (dalam menjalin hubungan dengan Israel)," kata Lovatt dalam wawancara dengan DW.

Di bawah Mohammed bin Salman, hubungan mungkin berubah

Presiden AS Donald Trump pada momen kesepakatan antara Israel dan UEA dengan gembira mengumumkan adanya prospek perjanjian historis lainnya dengan negara-negara Arab dan Islam. Namun klaim ini sebagian besar belum terbukti. Satu negara mayoritas muslim yang tertarik untuk menjalin hubungan dengan Israel justru terdapat di Eropa, yakni Republik Kosovo.

Mengenai dunia Arab, pakar Timur Tengah Lovatt mengatakan bahwa kebijakan penguasa Arab Saudi saat ini masih bisa berubah jika Raja Salman kehilangan pengaruh di bidang politik Israel dan Palestina kepada penggantinya yaitu Pangeran Mohammed bin Salman.

Sebagai putra mahkota yang kini pengaruhnya semakin kuat di negara itu, Mohammed bin Salman bersikap jauh lebih kritis terhadap kepemimpinan Palestina, kata Lovatt. Selain itu, karena alasan ekonomi dan untuk membatasi pengaruh Iran, sang pangeran mahkota kemungkinan besar akan sangat tertarik untuk membangun hubungan baik dengan Israel. 

"Karena Mohammed bin Salman kemungkinan akan menjadi kepala kerajaan berikutnya, hubungan antara Arab Saudi dan Israel kemungkinan besar akan berubah di masa depan," ujar Lovatt. (Ed.: ae/yp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait