Uly Siregar: "Bukan Salahku Punya Payudara Besar!"
18 Maret 2023Aku yang masih sering membuat hati teman-teman pria kebat-kebit, tak lagi membuat suami terlalu bergairah. Aktivitas di ranjang pun berhenti, meski intimasi tak hilang sama sekali. Lantas, distraksi orang ketiga pun tak bisa dihindari. Aku mendapati suami terlibat affair dengan teman wanitanya. Meskipun tak sampai berbagi ranjang, tetapi tetap membuat marah, sedih, dan kecewa. Namun, aku sadar, suami hanya khilaf sesaat. Ia—seperti halnya aku—hanya dua orang kesepian di dalam sebuah bahtera rumah tangga yang melelahkan dan tak lagi hangat.
Kalimat-kalimat itu ditulis Uly Siregar, penulis Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat, di buku yang baru diterbitkannya, "Nyanyi Sunyi”. Buku itu berisi kumpulan tulisannya yang bergaya esai personal. Menurut perempuan yang kini tinggal di Phoenix Metro Area, Arizona itu, kejujuran merupakan "harga mati" untuk menghasilkan esai yang berkualitas.
Ia menulis setiap potong bukunya bagai menguliti diri sendiri. Ada bagian-bagian yang sangat personal dan membuka luka lama, gelap, dan mungkin tidak menyenangkan dibaca orang-orang yang terkait.
"Salah satu prinsip dalam menulis "personal essay" adalah kejujuran kamu diharapkan untuk mengungkapkan segala sesuatunya dengan jujur, begitu. Apa yang terjadi sesungguhnya. Jadi, tidak bisa dikemas dengan diubah, supaya kamu terlihat misalnya lebih keren. Kalau seperti itu, kamu tidak perlu membuat "personal essay" atau memoar. Buat saja novel, karena kalau novel itu fiksi, kalau ini bukan fiksi," tandasnya yang tanpa tedeng aling-aling bicara soal pengalaman seksualitas atau soal payudara. Berikut potongan kalimat dalam bukunya:
Aku tak akan berbohong kepada laki-laki yang akan aku tiduri apabila aku punya penyakit seksual yang akan menularinya, atau aku tahu, aku tidak akan pernah berhasil menjadi seorang politisi besar karena aku harus berbohong tentang hal-hal buruk yang aku lakukan di masa lalu, termasuk keberadaan sebuah gambar ketika aku memamerkan payudaraku kepada beberapa orang aneh di internet. (Uly Siregar, Nyanyi Sunyi).
Dalam untaian kata mengomentari buku ini, pendiri media Narasi, Najwa Shihab di pembuka kumpulan esai ini berkomentar:
"Uly Siregar mampu mendeskripsikan rinci pengalaman lewat hal-hal sederhana. Cerita tentang apel merah, misalnya, sangat kuat. Ia bercerita dengan jujur—kadang sangat jujur— dengan suara yang jenaka namun tetap bermakna dalam. Cerita soal kegamangan saat memilih pindah ke Amerika dan mempertanyakan ulang keputusan, menyentuh perasaan senasib banyak orang. Mungkin dengan pengalaman berbeda, tapi dengan rasa yang serupa."
Kesepian di negeri orang
Sebagian besar kumpulan kisahnya adalah apa yang Uly rasakan di Amerika Serikat, dengan terkadang kembali pada pengalaman di masa lalunya di Indonesia. Seperti penggalan frasa ini:
Aku tumbuh dengan pikiran bahwa aku ini jelek dan seksualitasku adalah hal cabul yang harus disembunyikan atau dihilangkan. Saat pertama kali haid, alih-alih memberi tahu ibu, aku membuat pembalut dari waslap bekas. (Uly Siregar, Nyanyi Sunyi)
Keputusan bermukim di Amerika Serikat baginya merupakan tantangan besar yang kemudian ia temui dalam hidupnya. "Kualitas hidup, mungkin dalam banyak hal lebih baik. Tapi yang mungkin orang suka lupa, kalau kita itu tetap merasa seperti agak sedikit bingung dan kesepian. Karena pada dasarnya, hati kita itu selalu tertinggal di Indonesia. Apalagi, saya itu pindah saat usia yang sudah sangat matang. Apalagi, saya meninggalkan karier, teman-teman dan segala hal di Indonesia. Jadi, perasaan kesepian itu selalu datang, mau sampai kapan pun," ujar perempuan yang lama tinggal di Palembang dan kuliah di Bandung ini.
Di Arizona, Uly tinggal bersama suami, tiga putri dan anjingnya. Meski demikian rasa kesepian itu serasa terus menghantui. "Iya, sepertinya tidak bersyukur. Hidupku di sini baik-baik saja seharusnya, karena saya punya suami yang sangat baik, punya tiga orang anak yang tidak hanya cantik-cantik, sedikit bandel tapi biasa, tapi juga sangat pintar di sekolah. Tapi ini adalah sebuah perjalanan panjang yang sebenarnya kadang-kadang, tidak perlu di rantauan, di tempat tinggal kita di mana pun itu rasanya sering sunyi, begitu. Sebagai ibu, itu hal yang sangat sulit untuk dijelaskan," paparnya.
Uly pindah ke Amerika bulan Desember 2005, menikah bulan Januari 2006, hamil bulan Februari dan punya anak bulan November 2006. Perubahan itu baginya begitu cepat. "Ada banyak hal-hal yang sebenarnya tidak pernah disangka ternyata terjadi. Seperti saya pikir, saya akan mudah pulang ke Indonesia. "Ah, paling juga dua kali setahun minimal." Ternyata, tidak. Karena ketika saya punya anak, hal-hal tersebut jadi hampir mustahil. Perjalanan yang panjang, dari Phoenix ke Jakarta, itu 25 jam paling tidak. Jadi sebagai seorang ibu yang tidak punya saudara di Amerika, meskipun punya suami dan anak-anak, selalu ada perasaan sunyi bahwa apalagi mereka produk Amerika, begitu. Sulit untuk mereka bisa mengerti apa yang saya rasakan," tuturnya sedih.
Bukan salahku punya payudara besar
Ia kini tinggal di distrik yang berbeda waktu 14 jam dengan Indonesia. "Sementara suami juga tetap tidak bisa mengerti. "Aku enggak cukup ya?” Tidak cukup untuk menggantikan semua hal yang saya tinggalkan di Indonesia…," Ujar Uly lebih lanjut. Cukup lama Uly berjuang melawan depresi di tanah rantau. Ia berusaha aktif dengan kuliah lagi dan menulis.
"Salah satu yang menyelamatkan saya, menurut saya itu adalah menulis. Makanya, saya tidak bisa berhenti menulis. Saya tetap menulis, lalu mengirimkannya ke media massa di Indonesia. Itu salah satu yang sangat membantu untuk bisa selamat di sini," papar Uly. "Salah satu hal yang paling mudah untuk memupus rindu itu adalah makan makanan Indonesia," Salah satu makanan yang ia suka adalah pempek.
Meski dilanda kesepian parah, ada hal-hal yang Uly sukai dengan tinggal di negara Barat, "Ada yang berbeda dalam memandang tubuh perempuan, meskipun tetap ada yang tidak begitu juga. Dari kecil, saya sudah dilecehkan. Sejak sudah mengalami masa pubertas dan mengalami haid, tumbuh payudara, jalan kaki pun kita dicolek, disuit-suit. Dan punya payudara besar itu risikonya lebih besar lagi, karena terlihat langsung menonjol, begitu. Padahal kita tidak mengundang untuk diganggu, tapi seakan-akan punya payudara besar itu sebuah undangan...'Hai. Ayo! Ayo, lecehkan saya'.....Sedih," paparnya kesal.
Bagaimana beberapa pria memandang payudaranya membuat perasaannya terluka. "Kalau bisa dililit, dibalut. Seperti semisal kalau payudara kamu besar, itu salah kamu. Karena kamu ada di penglihatan saya dengan payudara kamu yang besar. Sedih sekali. Sementara, kita yang punya badan tidak bisa apa-apa. Bukan salah saya, kalau saya punya payudara besar!" pungkasnya.