Arab Saudi merasa ditinggalkan Amerika di saat terjepit situasi ekonomi dan masalah keamanan di kawasan. Negeri Wahabi itu lalu melampiaskannya pada Barack Obama. Hubungan kedua meregang sejak dua tahun terakhir.
Iklan
Tidak biasanya seorang presiden Amerika Serikat disambut dingin di Arab Saudi. Biasanya tamu negara dari Washington mendapat kehormatan disambut keluarga kerajaan, entah itu sang raja sendiri atau pangerannya. Tapi ketika Barack Obama tiba di Bandara Internasional King Khalid untuk menghadiri Konferensi Negara Teluk, yang menunggunya adalah gubernur Riyadh dan menteri luar negeri Adel Al-Jubair.
Sejatinya kehadiran dua pejabat tinggi tersebut cukup untuk memenuhi kriteria protokoler kunjungan seorang kepala negara. Cuma saja beberapa jam sebelumnya Raja Salman tampak hadir di bandara untuk menyambut kepala negara Arab lain yang akan hadir di pertemuan tingkat tinggi itu.
Dalam kunjungan terakhirnya di Arab Saudi, Obama menghadapi sejumlah isu yang membebani hubungan kedua negara, terutama masalah kesepakatan nuklir Iran, perang saudara di Yaman dan Suriah.
Perselisihan di Istana Erga
Baru-baru ini Arab Saudi mengancam bakal menjual asetnya di AS senilai 750 milyar Dollar jika parlemen AS menyetujui undang-undang baru yang mengizinkan keluarga korban serangan teror 11 September untuk menggugat pemerintah negara asing yang diduga membantu atau membiarkan serangan tersebut. Yang dimaksud adalah Arab Saudi.
Obama sejatinya bertamu ke Riyadh untuk membahas perang melawan kelompok teror Islamic State di Suriah. Namun agendanya itu direcoki oleh perselisihan kedua negara. BBC melaporkan dalam pertemuan di Istana Erga kedua kepala pemerintah masih berselisih ihwal isu-isu krusial.
Pemerintah Arab Saudi berhak merasa resah. Pasalnya perkonomian negeri para Emir itu sedang terbebani rendahnya harga minyak. Untuk pertamakalinya sejak tahun 1991 Arab Saudi harus meminjam uang dari bank. Terlebih negeri Wahabi itu sedang terjepit isu keamanan di jiran Yaman, Iran dan Suriah.
Berpaling di Saat Krusial
Di saat paling menentukan itu Riyadh merasa Washington membiarkan sekutunya sendirian. "Karena anda memanjakan Iran sedemikian rupa, anda melupakan nilai persahabatan dengan kerajaan yang telah berusia 80 tahun," tutur Bekas Kepala Intelijen Arab Saudi, Turki Al-Faisal, kepada CNN.
Ucapan Turki bukan tanpa latar belakang. Dalam wawancara dengan mingguan The Atlantic Maret silam, Obama mengritik sekutu AS di Timur Tengah yang "bersikeras menyeret AS dalam konflik sektarian yang terkadang tidak ada hubungannya dengan kepentingan kami." Lagi-lagi yang ia maksud adalah Arab Saudi.
Maka Riyadh melakukan apa yang biasa dilakukan sebuah negara sekutu yang sedang bersitegang dengan penguasa di Washington: Mereka menunggu pemilu kepresidenan. "Obama tidak lagi berguna atau relevan untuk negara-negara Teluk," tulis harian Saudi, Al-Hayat. Hal senada ditulis Al-Arab al-Alamiyah, bahwa isu-isu utama antara kedua negara "akan diwariskan ke pemerintahan AS selanjutnya."
Lini Masa Pertikaian Arab Saudi dan Iran
Bukan kali pertama Iran dan Arab Saudi bersitegang. Sepanjang sejarahnya, hubungan kedua negara acap mengalami pasang surut menyusul konflik politik atau agama. Inilah sejarah modern permusuhan dua ideologi dalam Islam
Foto: DW Montage
Damai berbayang kecurigaan
Hubungan Iran dan Arab Saudi baru tumbuh sejak kekuasaan Syah Reza Pahlevi dan Raja Khalid. Kedua negara sebelumnya sering direcoki rasa saling curiga, antara lain karena tindakan Riyadh menutup tempat-tempat ziarah kaum Syiah di Mekkah dan Madinah. Perseteruan yang awalnya berbasis agama itu berubah menjadi politis seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan Revolusi Islam 1979.
Foto: picture alliance/AP Images
Pendekatan usai Revolusi Islam
Raja Khalid sempat melayangkan ucapan selamat kepada Ayatollah Khomeini atas keberhasilan Revolusi Islam 1979. Tapi hubungan kedua negara memburuk menyusul perang Iran-Irak dan kisruh Haji 1987. Puncaknya, Riyadh memutuskan hubungan pada 1987, ketika Khomeini mengecam penguasa Saudi sebagai "Wahabi yang tidak berperikemanusiaan, ibarat belati yang menusuk jantung kaum Muslim dari belakang."
Foto: Getty Images/Afp
Keberpihakan dalam Perang Iran-Irak 1980
Saat berkobar perang Iran-Irak, Arab Saudi sejak dini menyatakan dukungan terhadap rejim Saddam Hussein di Baghdad. Riyadh memberikan dana sumbangan sebesar 25 milyar US Dollar dan mendesak negara-negara Teluk lain untuk ikut mengisi pundi perang buat Irak. Demi menanggung biaya perang, Arab Saudi menggenjot produksi minyak yang kemudian mengakibatkan runtuhnya harga minyak di pasar dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Kisruh Haji 1987
Mengikuti ajakan Ayatollah Khomeini, jemaah Iran setiap tahun berdemonstrasi di Mekkah dan Madinah menentang Israel. Tradisi sejak 1981 itu tidak pernah diperkarakan, kecuali pada 1987, ketika polisi memblokade jalan menuju Masjid al-Haram. Akibat bentrokan, 402 jemaah Iran tewas dan 649 luka-luka. Setelah kedutaannya di Teheran diserbu massa, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Foto: farhangnews
Kontroversi program nuklir Iran
Arab Saudi sejak awal menolak program nuklir Teheran. Sikap itu tidak berubah bahkan setelah tercapainya Perjanjian Nuklir di Vienna tahun 2015. Riyadh menilai kesepakatan tersebut "sangat berbahaya." Desakan kepada Iran untuk bekerja sama dengan pengawas nuklir PBB juga disampaikan Saudi pada awal 2023.
Foto: Irna
Pemberontakan Houthi di Yaman, 2004
Hubungan Iran dan Arab Saudi kembali menegang setelah kelompok Syiah Zaidiyah di Yaman mengobarkan pemberontakan. Riyadh menuding Teheran mengompori perang bersaudara dan mencampuri urusan dalam negeri Yaman dengan memasok senjata. Iran sebaliknya menuding Arab Saudi menghkhianati perannya sebagai mediator konflik dengan membombardir minoritas Houthi di utara Yaman.
Foto: picture alliance/Y. Arhab
Perang proksi di Suriah, 2011
Dukungan Iran atas rejim Bashar Assad di Suriah sejak lama dianggap duri dalam daging oleh Arab Saudi. Sejak 2011, Riyadh aktif memasok senjata buat oposisi Sunni di Suriah. Kerajaan di Riyadh juga menjadi yang pertama kali mengecam Assad seputar "tindakan represif pemerintahannya terhadap demonstrasi anti pemerintah," ujar Raja Abdullah saat itu.
Foto: picture-alliance/AP/Vadim Ghirda
Tragedi Mina 2015
Bencana memayungi ibadah Haji 2015 ketika lebih dari 400 jemaah Iran meninggal dunia di terowongan Mina akibat panik massa. Iran menuding pemerintah Arab Saudi ikut bertanggungjawab. Riyadh sebaliknya menyelipkan isu bahwa tragedi itu disebabkan jemaah haji Iran yang tak mau diatur. Kisruh memuncak saat pangeran Arab Saudi, Khalid bin Abdullah, mendesak agar Riyadh melarang masuk jemaah haji Iran.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Eksekusi Mati Al-Nimr 2016
Sehari setelah pergantian tahun Arab Saudi mengeksekusi mati 46 terpidana, antara lain Syeikh Nimr al-Nimr, seorang ulama yang aktif membela hak-hak minoritas Syiah yang kerap mengalami represi dan diskriminasi di Arab Saudi. Al-Nimr didakwa terlibat dalam terorisme. Sebagai reaksi Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei melayangkan ancaman, bahwa Saudi akan mendapat "pembalasan tuhan."
Foto: picture alliance/dpa/Y. Arhab
Drama di Lebanon
Pada November 2017 Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengumumkan pengunduran diri dari Riyadh, Arab Saudi, dan menyalahkan Iran terkait kebuntuan politik di Beirut. Langkah itu diyakini bagian dari manuver Arab Saudi untuk memprovokasi perang antara Iran dan Hizbullah dengan Israel. Saudi dan Iran berebut pengaruh di Lebanon pasca penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/Lebanese Official Government/D. Nohra
Narasi damai di awal 2023
Menyusul mediasi Cina, pemerintah Arab Saudi sepakat memulihkan hubungan dengan Ira pada Maret 2023. Kesepakatan tersebut disusul pembukaan kembali relasi dengan Suriah dan perundingan damai dengan pemberontak Houthi di Yaman. Sebelumnya, negara-negara Teluk juga sepakat mengakhiri perpecahan dengan Katar, sekutu dekat Iran di Teluk Persia.